Saya takzim, saat meresapi lirik lagu milik Idgitaf yang berjudul Takut. Per hari ini, sudah belasan kali ia memutar di telinga.
Kemudian, saya kembali mengingat tulisan pada buku harian tentang "Sekolah Impian". Diperkuat karena baru saja mendengar beberapa curahan hati para pelajar dan mahasiswa tentang perjuangan di garis waktunya masing-masing.
Menjadi dewasa memaksa untuk melihat sesuatu dari banyak sisi. "Pelabelan Sekolah Bagus dan Tidak", menjadi salah satu alasan terbesar kenapa berkhayal dan menaruh mimpi untuk pendidikan Indonesia terus diperlukan, bagi saya. Meskipun sulit digapai dan menjadi topik bahasan membosankan.
Dua hari lalu, saya mengobrol dengan salah satu orangtua murid. Iya meminta maaf karena anaknya sering absen dalam pembelajaran daring.
Namun, saya menemui fakta bahwa anak ini ternyata mengalami trauma akibat proses belajar yang kurang menyenangkan di jenjang TK.
Kemarin, saya diskusi dengan beberapa rekanan. Kami membahas program sosial dan SDGs untuk pelajar. Lalu, kami menemui tantangan.
"Bagaimana cara efektif membuat program berdampak ya? Contohnya angkat isu kemiskinan dengan sasaran siswa yang memiliki privilege yang wah. Apa indikator yang bisa pastikan mereka benar-benar peduli terhadap isunya?"
Saya bersyukur, sempat menemui kondisi dan komparasi ini. Jika tidak, mungkin pikiran saya masih sesempit lima tahun lalu---yang memandang pendidikan sekadar soal ketimpangan ekonomi saja.
Setahun menjadi guru, saya banyak menemukan sekolah dengan sistem dan kurikulum yang bagus.