Cerita senada pun terjadi di Kuba, dimana negeri ini tanaman tembakau menjadi salah satu sumber pendapatan utama rakyat serta pemerintah. Siapa yang tidak kenal dengan cerutu Kuba, bahkan Che Guevara pejuang kemerdekaan Kuba yang juga seorang dokter tidak pernah lepas tangan dan mulutnya dari gulungan tembakau asli sebesar jempol orang dewasa.
Bahkan pemerintah Kuba dan warganya menolak dengan keras jika dikatakan bahwa cerutu yang mereka hisap adalah rokok, "Cigar (cerutu) Â is not Cigarette (cerutu bukan/berbeda dari rokok) " kata orang Kuba.Â
Cerutu berasal dari daun tembakau murni yang langsung digulung tanpa proses atau penambahan zat apapun, jadi memiliki kandungan aktioksidan yang tinggi atau dengan kata lain cerutu adalah produk herbal bukan kimia.
Upaya pembedaan ini pun tampaknya berhasil dilakukan oleh Kuba, terbukti banyak orang yang mengonsumsi cerutu, namun tidak merokok sama sekali. Banyak orang yang mengonsumsi cerutu dan menggandengnya dengan wine (anggur).
Kalau Kuba berhasil dengan 'gerakan' pembedaan ini dan meraup banyak keuntungan dari propaganda ini, mengapa Indonesia tidak melakukan langkah dan gerakan serupa.
Indonesia harus mampu berteriak ke luar negeri bahwa "Kretek Bukan/Berbeda dari Rokok", tujuannya jelas untuk lebih meningkatkan perolehan devisa dari luar negeri dari industri kretek.
Ironisnya, Indonesia dalam percaturan diplomasi internasional khusus tembakau harus selalu kalah argumen dari negara lain yang berupaya untuk mengontrol peredaran tembakau secara internasional. Padahal banyak agenda "tersembunyi" yang dilakukan oleh negara lain terhadap komoditas tembakau. (lihat juga).
Selain tembakau, negara-negara seperti Amerika Serikat dan sekutunya juga melancarkan gerakan baru yaitu pencantuman label "Palm Oil Free" (POF) dalam setiap kemasan makanan, minuman dan produk kosmetik.
Pencantuman ini jelas untuk menyingkirkan negara-negara penghasil sawit seperti Indonesia dan menggantikannya dengan produk sejenis dari bunga matahari dan minyak hewani yang menurut  mereka lebih ramah lingkungan.
Rencana menaikkan tarif cukai sebesar 23% yang berdampak pada naiknya harga jual produk kretek sebesar 35%, jelas membebani para petani. Dimana dengan kenaikkan ini, para pengepul komoditas tembakau dapat dipastikan bakal menekan petani untuk menjual produknya dengan murah. Buntutnya, Kretek tak lagi berbunyi tek...tek...tek. (karena rokok tembakau dan vape tidak berbunyi)
#kretekbukanrokok, #savepetanitembakau, #saveindonesia
Kentos Artoko