Terik mentari musim panas menukik pas di ubun-ubun. Panas bumi membuat meleleh plastik-plastik yang berserakan. Peluh mengalir bagai singai musim hujan.Â
Am Kolo bersandar pada pohon beringin di batas kebun. Usianya yang telah lama merangkak naik tidak lagi berlama-lama di bawah sengatan matahari. Bukan seperti dulu lagi. Biar hujan deras pun panas membara, semangat kerjanya tak kendor.Â
Alam itu seperti hidup manusia. Gumamnya dalam hati sambil menarik napas panjang. Hidup dan perlu dihidupi. Dirawat dan diberi makan agar ia bertumbuh subur.
Nasihat orang tua dulu tidak sia-sia. Berbagai tanaman dari buah tangan dan keringatnya kini membuahkan hasil, bahkan untuk kelanjutan hidup anak cucunya.Â
Cuma pikirannya tak tenang. Gundah memikirkan anak-anak sekarang. Kata-kata nasehat tak lagi mempan. "Tanam dan tanam" seperti angin berlalu.Â
Kalau saja ia tidak menanam bagiamana mungkin ia bisa beristirahat di bawah rindang pohon beringin saat panas terik seperti ini?Â
Am Kolo merasakan banyak perubahan pada alam. Seperti manusia, rupanya ia lagi sakit. Sialnya, banyak yang tak peduli untuk memperhatikan kesehatannya dengan merawat atau mengobati.Â
Am Kolo tertidur di bawah rindang pohon beringin, sementara panas terus membakar wajah bumi.Â