Mohon tunggu...
Ken Satryowibowo
Ken Satryowibowo Mohon Tunggu... Freelancer - Covid Bukan Canda

Pencari pola. Penyuka sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

1.000 Bocor Prabowo Cukup Ditambal Jokowi 12 Kali

15 Februari 2019   14:27 Diperbarui: 15 Februari 2019   16:01 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews/Muhammad Fadhullah

Diskursus anggaran bocor yang disponsori oleh Capres 02 Prabowo Subianto tidak lagi menarik sebagai diskusi publik. Disebut tidak menarik karena betul-betul diucapkan semata-mata demi mendulang marjin elektoral. Bukan perdebatan teknokratik dan jernih terkait pengelolaan keuangan negara.

Berapa kali Prabowo mengucapkan kata 'bocor' selama menekuni pekerjaan sebagai politisi? Tampaknya belum ada yang menghitung secara presisi. Tapi hampir semua orang tahu, obsesinya terhadap kata 'bocor' sudah berlangsung lama, bahkan sebelum Pilpres 2014 silam. Dalam satu momen debat capres ketiga lima tahun lalu saja, tercatat 10 kali Prabowo mengucapkan kata tersebut.

Menyebut Prabowo telah mengucapkan 1.000 kali kata 'bocor' tentu tidak berasal dari hitungan kalkulator. Melainkan sebuah abstraksi yang menyajikan pemahaman betapa Prabowo sangat terobsesi menjatuhkan reputasi petahana dengan cerita tentang keuangan negara. Yang paling anyar, Capres 02 ini menyebut anggaran negara bocor 25% atau sekira Rp500 triliun.

Pendapatan dan belanja pemerintah dituding bocor Rp500 triliun setahun, Presiden Jokowi menantang balik Prabowo. Jika ada bukti, kata Jokowi, maka Prabowo dipersilakan lapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pesan kunci ucapan Presiden adalah Prabowo jangan asal tuduh tanpa bukti.

Versi jenaka dari kontra narasi anggaran negara bocor dilontarkan Jokowi saat menghadiri deklarasi alumni SMA se-Jakarta, belum lama ini. Dengan nada sedikit meledek, Jokowi mengucapkan kata 'bocor' hingga 12 kali tanpa henti. Sontak audiens riuh gemuruh bertepuk tangan sembari tertawa terbahak-bahak.

Melarat Substansi

Bahwa kritik terhadap pemerintah, utamanya menyangkut tata kelola keuangan negara, jelas-jelas sangat dibutuhkan. Tanpa kontrol dari publik, lebih khusus oposisi, haluan pemerintah dimungkinkan melenceng. Lebih-lebih di negara demokratis dan serba transparan seperti Indonesia, kritik tajam merupakan instrumen paling efektif dalam mengontrol kebijakan publik.

Tapi, selaku oposisi dan penantang petahana, apakah Prabowo mempersembahkan kritik berkualitas dalam hal anggaran bocor? Tampaknya tidak. Apa yang dituduhkan itu lebih menonjol sebagai retorika. Begitu melarat substansi. Karena tidak disertai riset, kalkulasi, apalagi bukti-bukti konkret yang bisa diuji.

Bahwa ada pejabat negara yang masih korupsi, itu benar terjadi. Dibuktikan dengan penangkapan oleh KPK. Tapi mengatakan Rp500 triliun uang negara bocor, itu dari mana dasarnya? Kecuali asal ucap, boleh jadi angka itu berasal dari halusinasi.

Bila yang bersangkutan punya keyakinan bahwa sangkaannya punya dasar kuat lalu melaporkannya ke KPK, maka bukankah Prabowo justru akan panen simpati publik? Sebaliknya, bukankah ketidakberaniannya melapor ke penegak hukum secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa narasi anggaran bocor Rp500 triliun hanya fitnah belaka?

Prabowo dan tim suksesnya mestinya sudah menyadari, praktik 'Propaganda 'Rusia' dengan cara menyemburkan virus dusta, hoaks, dan fitnah tidak akan pernah mempan di Indonesia. Di negara lain boleh jadi manjur. Masyarakat di negeri ini masih punya akal sehat.

Lelucon Tak Lucu

Sekali lagi, publik rindu pada perdebatan berbobot tentang tata kelola negara. Narasi anggaran bocor sejatinya adalah pintu masuk mencuatnya dialektika bermutu dalam pengelolaan fiskal Indonesia. Syaratnya hanya satu: gunakan data dan argumentasi yang kredibel.

Sebaliknya, bila yang muncul hanya tuduhan 'bocor' lalu yang mengucapkannya pergi begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban data, maka tidak salah publik menilainya sebagai badut politik. Melempar batu sembunyi tangan. Semacam lelucon yang tak lucu.

Selain Jokowi, Prabowo merupakan sumber berita kelas satu bagi pers dan media sosial di republik ini. Narasi sensasi minus substansi mungkin saja digemari pemburu berita. Menggoreng suatu diksi yang mengandung pesan ketakutan mungkin juga laris manis sebagai dagangan politik.

Namun, mengungkapkan kritik berdasarkan data adalah wujud nyata edukasi publik. Mengungkapkan argumentasi yang kokoh dan bertanggung jawab merupakan bagian penting dari mencerdaskan bangsa. Keduanya menjadi tugas setiap politisi.

Apalagi, Prabowo diakui sebagai orator ulung. Kemampuannya beretorika tak usah dibantah. Adalah sangat tidak elok bila kemampuan itu digunakan untuk menciptakan kecemasan dalam panorama politik negeri.

Justru sebaliknya, kemampuan tersebut semestinya digunakan sebesar-besarnya untuk memberi pencerahan kepada publik dengan narasi yang berbobot dan bertanggung jawab.

Prabowo punya kesempatan itu. Tapi apakah dimanfaatkan? Ah, sudahlah....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun