Krisis moral yang melanda para pemimpin bangsa telah menciptakan ketimpangan dalam penegakan hukum dan menumbuhkan rasa tidak percaya di tengah masyarakat.
Dalam artikelnya “Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu,” F. Rahardi menyingkap sebuah ironi yang menggambarkan kondisi bangsa ini. Tulisannya bukan sekadar kritik, melainkan sindiran tajam terhadap perilaku masyarakat dan pemimpinnya. Melalui analogi fobia terhadap ulat bulu, Rahardi menyoroti ketakutan irasional yang berkembang menjadi penyakit sosial dan politik. Fobia tersebut melambangkan ketakutan para pemimpin kehilangan kekuasaan, sekaligus ketidakberanian rakyat untuk menegakkan kebenaran.
Lebih jauh, Rahardi menilai bahwa persoalan besar seperti kekacauan politik, kerusakan lingkungan, dan krisis ekonomi justru dianggap sepele. Ia menyebutnya sebagai dagelan—sebuah lelucon tragis. Ketika anggota parlemen tertangkap menonton video porno saat sidang, hal itu seharusnya menjadi cerminan kejatuhan moral, bukan bahan tertawaan. Istilah “negeri hantu” pun menggambarkan keadaan bangsa yang hidup dalam kabut ketakutan dan ilusi—tempat di mana masalah utama disembunyikan dan hanya berubah bentuk menjadi “hantu” baru yang menakutkan. Selama kita terus menutupi persoalan dan sibuk dengan drama politik, bangsa ini akan terus tertahan oleh ketakutan-ketakutan ciptaan sendiri.
Sementara itu, Editorial Tempo berjudul “Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal” memperlihatkan bagaimana hukum di negeri ini sering kali hanya menjadi pertunjukan. Kasus yang sebenarnya mudah diselesaikan karena bukti dan saksi melimpah justru dibuat berlarut-larut tanpa kejelasan. Keadaan tersebut menimbulkan dugaan kuat bahwa ada kepentingan tersembunyi di baliknya.
Istilah sandiwara sangat tepat menggambarkan situasi itu—proses hukum hanya menjadi panggung teater, di mana setiap aktor memainkan perannya tanpa niat sungguh-sungguh menegakkan keadilan. Lembaga penegak hukum, mulai dari Kementerian Kelautan hingga Kepolisian, justru tampak berupaya melindungi para pelaku dan menutupi kebenaran. Hukum pun berubah menjadi alat permainan bagi mereka yang berkuasa.
Kondisi ini sejalan dengan pandangan Budiman Tanuredjo dalam tulisannya “Ketika Sumpah dan Etika hanya Menjadi Teks Mati.” Ia menyoroti pudarnya etika dan hilangnya makna sumpah jabatan di kalangan pejabat publik. Janji dan nilai moral hanya tinggal kata-kata kosong tanpa tindakan nyata. Keteladanan pemimpin, yang seharusnya menjadi fondasi moral bangsa, kini memudar. Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan hukum semakin terkikis, dan cita-cita Reformasi 1998—yang menuntut keadilan, keteladanan, serta integritas—semakin jauh dari kenyataan.
Isu yang diangkat dalam ketiga artikel tersebut tidak muncul secara terpisah, melainkan saling berkaitan dan membentuk sebuah rantai panjang yang menimbulkan kegagalan sistem secara menyeluruh.
Ketiga artikel tersebut sesungguhnya saling terhubung dalam satu benang merah: rusaknya moral dan matinya sistem hukum di negeri ini. Masyarakat dan pemimpin terlalu sibuk mempertontonkan drama politik sementara persoalan besar bangsa terus dibiarkan. Dalam situasi seperti ini, para pelaku korupsi dan kejahatan bisa terus berlindung di balik kabut hukum yang penuh kepentingan.
Ketika integritas pemimpin telah sirna, hukum kehilangan maknanya. Sumpah jabatan menjadi sekadar formalitas, dan pelayanan kepada rakyat tergantikan oleh kepentingan pribadi. Hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan kini berubah menjadi alat untuk melindungi kekuasaan.
Proses hukum yang panjang dan penuh ketidakjelasan pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Rakyat melihat bahwa keadilan hanya berpihak kepada mereka yang beruang dan berkuasa. Jika hal ini terus dibiarkan, perpecahan sosial tak terelakkan, dan bangsa ini akan terus terjebak dalam lingkaran krisis moral serta sandiwara hukum yang tak berkesudahan.
Krisis moral di kalangan para pemimpin telah menciptakan ketidakadilan dan menumbuhkan ketidakpercayaan yang mendalam. Selama kita tidak berani menghadapi kebenaran dan memulihkan moralitas, harapan reformasi akan tetap menjadi janji kosong yang tidak pernah menjadi nyata.
Sumber artikel 1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu (F. Rahardi, Kompas.com), 2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo), 3. Ketika Sumpah dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI