Mohon tunggu...
Kenes Muni Iswara
Kenes Muni Iswara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kenes Muni Iswara adalah nama pena dari Reni Lestari. Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten yang hobi menulis, membaca dan mengkhayal sekaligus. KMI lahir di Solo dan menempuh pendidikan sekolah dasar disana. masa SMP dan SMA nya dihabiskan di kota hujan, Bogor. saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di kota Serang sambil sesekali merindukan kampung halamannya yang hanya bisa dikunjungi setahun sekali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Untuk Kovach

27 Desember 2013   08:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:27 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Yang Terhormat Mr. Bill Kovach,

Saya ragu apakah sembilan elemen jurnalisme yang anda gagas dapat diterapkan di Indonesia, atau di negara berkembang lain. Saya tahu anda pernah berkunjung kemari, melakukan roadshow peluncuran buku sambil berbagi cerita. Sayang, saya bahkan belum mengenal nama besar anda waktu itu. Satu Desember 2003, saya masih duduk di bangku sekolah dasar.

Sekarang saya adalah mahasiswi jurnalistik di sebuah kampus negeri di ujung Pulau Jawa. Menurut saya jurnalisme adalah dunia yang menyenangkan, menyajikan tantangan, kerja keras dan pengorbanan dalam satu paket. Di sini saya mempelajari jurnalisme dan idealitasnya. Saya diajari bagaimana menjadi jurnalis yang memiliki idealisme. Tetapi tahukah anda, saya punya sedikit cerita untuk menggambarkan ironi dunia jurnalisme di Indonesia.

Seorang teman baik, di sela waktu sengganggnya datang pada saya dengan muka agak masam. Hari itu adalah hari liburnya untuk magang kerja yang tengah ia jalani sebulan terakhir. Sebuah stasiun televisi swasta nasional menyetujui permohonan magangnya untuk memenuhi formalitas akademik. Suatu kali, dia berbincang dengan beberapa crew TV dan menyebutkan sesuatu tentang idealisme – saya tidak ingat tepatnya – yang tentu sudah jamak diketahui mahasiswa jurnalistik mana pun. Dan mereka tertawa, kecuali teman saya itu.

Nggak usahbicara idealisme di tempat ini,” kata salah seorang crew.

Itu terjadi berulang kali. Dan bagaimana teman saya tampak bodoh ketika membincangkan idealisme diantara para awak media adalah sesuatu yang mengherankan buat saya. Saya telah mendengar dan membaca dari banyak sumber tentang apa yang salah dalam dunia jurnalisme di negeri ini. Tetapi mendengar orang terdekat saya mengalaminya langsung, menjadi sesuatu yang mengejutkan.

Saya ingin menjadi seorang wartawan, Mr. Kovach. Maksud saya, wartawan yang terhormat, seperti anda. Orang mungkin akan mengatakan saya berlebihan ketika berkata jurnalisme adalah satu-satunya jalan buat saya untuk bisa mengabdi pada bangsa yang besar ini. Tetapi itulah kebenarannya. Namun pastinya anda juga tahu, dalam dunia informasi, selalu ada “raksasa” yang tidak ingin kebenaran terungkap dan tidak ingin sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Selalu ada kerikil, bahkan batu gunung yang menjulang. Sesuatu yang tidak cukup dihadapi dengan idealisme.

Saya ingin tahu bagaimana anda menjawabnya ketika kita bertemu. Mudah-mudahan akan ada waktu untuk segelas teh.

Salam,

***

Saya membaca buku Sembilan Elemen Jurnalisme yang ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel beberapa waktu lalu, dan mendapat gambaran tentang idealisme seorang wartawan. Siapa pun yang membicarakan idealitas akan merasa seperti diatas awan, merasa segalanya bisa diatasi dengan teori, teori dan teori. Buku lain membuat saya seperti ‘tersungkur ke tanah’. Membuat saya menyadari betapa jauhnya realitas dengan idealitas. “A9ama Saya Adalah Jurnalisme” ditulis oleh Andreas Harsono, wartawan Majalah Pantau yang menjadikan Bill Kovach sebagai panutannya dalam hal idealisme.

Ada satu kutipan menarik yang patut dibaca siapa saja yang berniat jadi wartawan.

Tanggungjawab kita kini sebagai wartawan memang sedang berat-beratnya. Kita bisa disalahmengerti. Kita bisa dituduh macam-macam. Tapi bagi seorang wartawan, dia harus mendahulukan jurnalisme. Agamanya, kewarganegaraannya, kebangsaannya, ideologinya, latar belakang sosial, etnik dan sebagainya, harus dia tinggalkan di rumah begitu dia keluar pintu dan jadi wartawan.

Buku yang baik adalah buku yang bisa membuat pembacanya merenung. Dan saya merenung setelah menutup buku itu. Banyak tanya muncul. Tidak untuk siapa pun tetapi untuk diri saya sendiri. Satu yang paling penting adalah, mampukah saya jadi wartawan? Memikul tanggungjawab itu?

Tetapi di atas semua hal, pertanyaan semacam itu dengan mudah terjawab. Dalam sistem yang buruk, kita selalu butuh orang yang baik. Dalam politik yang kotor, kita butuh orang yang bersih. Dalam dunia jurnalisme yang kacau-balau, bangsa ini tidak hanya butuh jurnalis yang punya pikiran jernih, tetapi juga siap melakukan pengorbanan.Mengenai sembilan elemen jurnalisme-nya Bill Kovach, itu adalah idealitas. Generasi wartawan Indonesia saat ini mungkin belum sanggup memikulnya. Hanya soal waktu, generasi mendatang bisa memakai sembilan elemen ini.

Seorang dosen pernah berkata “Kalau ingin kaya, jangan jadi jurnalis. Jadilah pengusaha. Menjadi jurnalis hanya akan membuat kamu ‘cukup’ “.

Saya kira pernyataan di atas adalah jawaban dari pergulatan isu “amplop” dalam dunia jurnalisme kita. Terlalu rumit mungkin membincangkan hal itu diantara himpitan kepentingan dan kebutuhan. Kita sering lupa bahwa wartawan juga punya “periuk nasi” untuk diisi. Tetapi wartawan yang baik selalu tahu, kemana harus mengarahkan pekerjaannya.

Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga –Bill Kovach.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun