Mohon tunggu...
Humaniora

Semangat Belajar Anak Pencari Kayu Bakar

17 April 2017   13:39 Diperbarui: 17 April 2017   23:00 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    Udin mengaku senang karena anaknya bisa bersekolah, hampir tanpa biaya, berkat program-program subsidi pemerintah. "Dulu di zaman saya, sekolah itu harus bayar. Dan sekolahnya jauh. Bapak saya tidak punya biaya untuk menyekolahkan saya ke SMP. Bapak juga tak bisa belikan saya sepeda," tutur Udin.

    Di perkampungan seperti di Kecamatan Cikaum, sampai kini tak ada angkutan umum yang bisa ditumpangi anak-anak ke sekolah. Padahal, menurut Udin, untuk bersekolah ke SMP pada zamannya, jarak yang harus ditempuh sekitar 12 kilometer karena SMP terdekat hanya ada di ibukota kecamatan lama, Purwadadi. Sedangkan sekolah dasar (SD) kala itu hanya ada di dekat balai desa yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumah Udin.

    "Sekarang SD sudah ada di kampung sini. SMP walaupun masih jauh, masih mendingan karena jalanannya sekarang sudah lebih bagus. Dulu jalannya masih jalan tanah, kalau musim hujan licin dan berlumpur," tutur Udin lagi.

    Yang membuat Udin senang, pemerintah kini telah membebaskan iuran sekolah. "Sekarang saya cuma memikirkan uang jajannya dan baju seragamnya saja," kata Udin. Ia mengungkapkan bahwa tiap hari, anaknya biasa dibekali uang saku Rp 4.000 sampai Rp 6.000 saja, plus bekal nasi timbel yang dibawa dari rumah untuk sarapan atau makan siangnya.

    Bagi sebagian orang tua murid, uang jajan itu tentu sangat kecil sekali. Tapi Udin tak bisa memberinya lebih. Ia mengaku hidupnya paspasan. Pekerjaannya serabutan. Apa saja ia kerjakan asal menghasilkan uang, mulai dari mencangkul di sawah orang lain, membantu tukang bangunan, sampai menjadi kuli bongkar muat di pangkalan pasir.

    Kalau sedang sepi pekerjaan Udin rutin mencari kayu bakar ke hutan-hutan kecil di tepi Sungai Ciasem, memunguti ranting kering yang patah, atau cabang pohon yang runtuh, lalu dijual kepada tukang soto atau tukang kue surabi yang biasa menggunakannya untuk memasak dagangannya.

    Engkus pun biasa mencari kayu bakar sepulang sekolah atau pada hari libur. Seikat kayu bakar, kira-kira selingkaran pinggang, biasanya laku Rp 2.000. Kalau dapat lima ikat, cukuplah untuk bekal sekolahnya selama dua hari. Tapi Engkus anak yang hemat. "Seringkali uang sakunya ditabung sebagian. Ia sering tidak jajan karena bawa nasi dari rumah," tutur Udin.

    Istri Udin, ibunda Engkus, ikut berusaha dengan membuka warung kecil di rumahnya yang mungil -yang masih berdinding bilik bambu. Selain itu, Udin juga memelihara kambing di belakang rumahnya.

    Engkus pun sering membantu bapaknya mencarikan rumput untuk kambing-kambingnya. "Sekarang kambingnya tinggal dua. Yang satu sudah dijual untuk beli seragam sekolah Engkus," kata Udin. Seekor kambing berharga sekitar Rp 800.000 sampai Rp 1 juta.

Hampir Tak Bisa Makan

    Udin bertutur, suatu waktu ia tak bisa bekerja karena sakit. Modal warungnya habis untuk berobat. Warungnya tutup dan Engkus berangkat ke sekolah tanpa uang jajan, tanpa bekal sarapan pula. "Saya minta Engkus tidak sekolah dulu, takut dia sakit. Tapi dia maksa. Anak itu semangat sekolahnya tinggi," cerita Udin. Engkus pun berangkat ke sekolah setengah berpuasa. Untunglah, kata Udin, ada tetangga yang menolongnya meminjamkan uang dan beras, sehingga keluarganya bisa makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun