Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tokoh Lintas Agama Lupa Diri ?

19 Januari 2011   18:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:23 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Serangan balik dari pendukung pemerintah kepada sejumlah tokoh lintas agama dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan. Terlebih, jika pemerintah tidak merealisasikan janji yang dituntut tokoh lintas agama, maka massa akan termobilisasi dalam jumlah yang lebih besar. Benarkah demikian ?. Agaknya pendapat seperti ini terlalu berlebih sebab masyarakat yang mempunyai kesibukan tentunya akan lebih fokus pada kesibukannya ketimbang turun kejalan.  Sedangkan yang tidak punya kesibukan juga tentunya berpikir untuk mengeluarkan uang untuk transport atau makan selama turun di jalan.  Mengapa kita semua tidak bersikap fair saja, dewasa ini tumbuh subur bisnis demo,tinggal pesan kepada koordinator, sekian kepala dan disiapkan asalkan harganya cocok.  Yang tidak ada interest  pada uang  jika sudah menyangkut harga diri dan gengsi, yang seperti ini lebih demonstratif unjuk kekuatan, bukan unjuk rasa, saling pukul saling lempar yang tak lagi menghiraukan kepentingan masyarakat lain.

Seperti halnya serangan poster terhadap Din Syamsudin, tidaklah dapat dikatakan sebagai serangan kepada tokoh lintas agama sebab Din Syamsudin adalah tokoh ormas, walaupun ormas islam tetapi tidaklah dapat dikatakan mewakili kelompok Islam. Demikian juga pembuktian hukum terbalik yang dituntut oleh Din Syamsudin yang tidak ditanggapi oleh SBY yang tetap berpegang pada mekanisme hukum yang berlaku. Pembuktian terbalik masih bersifat pro kontra  walaupun banyak kalangan yang meyakini cara tersebut akan sangat efektive untuk melawan korupsi. Pembuktian hukum seperti itu memerlukan aparatur hukum yang bersih sementara petinggi institusi hukum sendiri masih mengakui  sulit menangani aparat hukum yang nakal.

Sebetulnya, yang diperlukan saat ini adalah pembangunan karakter manusia Indonesia, karakter manusia yang berlandaskan norma agama. Madat, main, madon adalah prinsip 3 M yang harus dihindar sebagaimana kita kenal dalam falsafah jawa, namun  hal ini justru menjadi budaya kesaharian yang kita jumpai. Walaupun sudah ada sangsi berat samapai hukuman mati, pengedar narkoba  tetap meraja lela karena banyak peminatnya, demikian juga prostitusi yang bertebaran disegala sudut penjuru tanah air disamping perjudian yang sulit diberantas.  Mestinya, jika pendidikan moral bangsa ini berhasil, paling tidak prostitusi dan segala perbuatan yang melanggar norma agama ditekan. Sesungguhnya disinilah fokus peran tokoh agama, membina mental bangsa agar memahami dan taat pada norma agama.

Gagalnya pemuka agama yang mestinya mengarahkan bangsa ini menjadi manusia yang jujur  memang tidak ada konsekwensinya, baik moral maupun hukum. Padahal, dalam anggaran pemerintahan selalu diadakan dana pembangunan mental ini, hasilnya ?. Manusia Indonesia yang seperti kita kenal karakternya saat ini, korupsi bukanlah hal yang tabu dan memalukan.  Dan semua itu berawal dari kebiasaan menunjuk hidung kambing hitam, menyalah tehnologi, menyalahkan miyabi, menyalahkan budaya barat. Wajar saja jika kebijakan selalu menyalahkan pornografi sebagai perusak mental bangsa, bukannya dilakukan penelitian mengapa pornografi lebih disukai ketimbang kitab agama. Inilah seharusnya yang mesti menjadi prioritas para tokoh lintas agama, sebab pemerintah hanyalah wadah, isinya tetap manusia yang katanya beragama tetapi prilakunya jauh dari norma agama, suka korupsi, suka selingkuh. DPR sebagai  representasi citra masyarakat Indonesia otaknya masih  terkontaminasi kebiasaannya, spa pun menjadi fasilitas yang harus ada.

Tokoh politik, tokoh lintas agama,  atau tokoh apa saja pada dasarnya sama saja, suka melempar kesalahan pada orang lain  dan merasa paling benar sendiri. Tidak usah jauh2, didalam perdebatan kompasiana saja sudah terlihat, kita tidak membenci bangsa Yahudi saja sudah dianggap dosa, tidak sepaham bisa berubah menjai tuduhan melecehkan agama. Sibuk berdebat akhirnya kita kalah dengan negera tetangga, kita marah disebut negara miskin, miskin akhlak miskin harta, banyak koruptor, banyak yang cari kerja keluar negeri mencari nafkah.   Nasib lebih baik walaupun di bandara diberikan jalur khusus, manusia khusus yang sering kena dikerjai dari pada pulang dalam peti mati.

Ibarat sebuah lingkaran setan, satu sama lain saling menyalahkan, apakah tidak ada cara lain untuk mengatasi kemelut bangsa ini hanya dengan saling menyalahkan ?. Tokoh lintas agama yang seharusnya melihat hasil ketokohannya untuk menciptakan manusia Indonesia yang bersih, kini ikut2an menyalahkan pemerintah. Pemerintah hanyalah kumpulan orang yang berasal dari umat meraka juga, ada Islam, Budha, Katholik, Protestan. Mestinya para tokoh agama merasa malu dengan hasil didikan agama yang masih banyak menciptakan koruptor sebab koruptor adalah bagian dari umat tokoh lintas agama itu juga.   Blunder tokoh Agama, mungkin mereka lupa dengan kewajiban yang harus dilakukan untuk menanamkan ajaran agamanya, langsung menuding pemerintah telah berbuat kebohongan. Padahal yang melakukan kebohongan tersebut adalah manusia2nya yang beragama dan inilah hasil ketokohan para tokoh lintas agama yang anti kritik serta merasa paling benar. Dan kitapun harus memaklumi, sikap manusia yang ada dipemerintahan juga meniru tokoh agamanya, anti kritik dan merasa paling benar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun