Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengembang Rentan Dikriminalisasi

7 April 2016   05:08 Diperbarui: 7 April 2016   06:26 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usaha pengembang seperti PT. Agung Podomoro Land pada dasarnya penghasilannya sangat tergantung dari tanda tangan pejabat, tanpa tangan pejabat masalah hukum akan dihadapi dengan para pembeli. Apalagi tanah, tanah merupakan komoditas yang berharga, ketika pemerintah membangun infrastruktur lingkungan, sudah pasti harga tanah akan meningkat yang artinya mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya.

Seperti PT. Agung Podomoro Land, adalah sebuah keharusan memiliki kedekatan dengan pejabat untuk menjaga investasinya, tanpa hubungan baik, akan menemui hambatan dalam legalitas yang harus dipenuhi menyangkut keabsahan kepemilikan oleh para pembeli.  Artinya, untuk mengamankan investasi dan dari tuntutan hukum, semua persyaratan harus clear. Tapa kelengkapan persyaratan yang harus dipenuhi, alamat usaha akan terganggu.

Bagi masyarakat awam, tentu sulit mebayangkan darimana modal yang begitu besar didapatkan, yang dipahami menjadi seorang pengembang memiliki uang berlimpah melihat asset yang nilainya begitu besar. Sebagai sebuah pengalaman, jika seorang terjun dalam dunia ini sesungguhnya tidak begitu rumit karena menjadi rutinitas. Namun, karena begitu banyaknya peraturan, pengembang rentan membuat kesalahan yang berujung dengan damai ditempat atau berlanjut pada masalah hukum. Kasus PT. Agung Podomoro tak lain adalah fenomena damai ditempat yang sudah membudaya itu.

Pada dasarnya, pengembang harus mengerti peraturan tata ruang wilayah yang memang sudah diplot peruntukannya agar tidak menyalahi aturan. Terkait dengan izin reklamasi yang diberikan untuk tujuan membangun properti syarat yang harus dipenuhi adalah menyangkut analisis dampak lingkungan karena harus berhadapan dengan masyarakat. Syarat itu jelas harus dipenuhi yang merupakan syarat izin lokasi dan IMB Induk.  Persayaratan ini baru awal, BPN mengharuskan dilakukan splitzing sertifikat seluruh areal yang tentunya memerlukan biaya yang tidak kecil.  Ketika kita menurunkan alat berat, akan datang lagi dari dinans pertambangan menanyakan izin tambang golongan C. Ketika membuat laporan pajak, petugas pajak datang memeriksa biaya pengolahan lahan yang masuk objeck pajak PPN, padahal pengembang baru mempersiapkan lahan. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pengembang sebetulnya tidak masalah, sebab semua dihitung kedalam harga jual tanah, artinya biaya itu menjadi tanggungan rakyat juga.

Rumah adalah kebutuhan primer masyarakat, namun budaya gengsi juga mempengaruhi pilihan masyarakat, makin mahal harga tanah makin bergengsi yang menunjukkan status sosial dan lingkup pergaulan. Ciri budaya feodal dalam masyarakat tentunya tidak dapat dikesampingkan yang juga merambah pada dunia kekuasaan yang mendorong transaksi jabatan termasuk dalam dunia hukum.

Transaksi jabatan juga masuk dalam dunia perbankan, dengan menguasai jaminan pinjaman dapat juga melakukan tindakan melawan hukum. Dan seperti itu harus saya hadapi yang berujung pada putusan yang konyol, betapa tidak hukum memutuskan hutang perseroan yang saya dirikan,  seluruh hutang  perseroan harus dibayar pihak lain karena saya mengindikasikan asset perseroan dijadikan alat untuk membobol bank, padahal saya yang dilaporkan karena disetting perseroan sudah saya jual sehingga tidak dapat menuntut perbankan.

Adalah anggaran dasar perseroan yang tidak dipahami oleh penegak hukum bahwa anggaran dasar tersebut merupakan permohonan saya kepada Menteri Hukum dan Ham. Anggaran dasar perseroan, sangat mungkin tidak ada yang sama karena didalamnya berisi aturan atas permintaan pendiri perseroan yang kemudian disahkan oleh Menteri Hukum dan Ham dengan pertimbangan undang-undang dan peraturan yang berlaku.

Permohonan yang saya ajukan antara lain dari modal perseroan sebanyak 250.000 lembar saham agar ditempatkan sebanyak 25 % atau 62.500 lembar sedangkan sebanyak 187.500 lembar masih tersimpan. Dalam anggaran dasar tersebut juga diatur tatacara pelepasan saham dimana saya sebagai pendiri memiliki hak prioritas yang artinya merupakan proteksi untuk penguasaan perseroan ada tetap pada saya.

Setting hukum, agar tidak ada pelanggaran perbankan  pengalihan saham sebesar 62.500 lembar adalah bukti kepemilikan perseroan dan menyatakan sebagai pertimbangan hukum ( bukan putusan ) perseroan sudah saya jual. Melihat pertimbangan hukum yang demikian, awalnya saya marah, karena saya merasa "dirampok", perusahaan beralih secara gratisan. Namun, setelah saya pelajari, aparatur hukum entah disengaja atau memang tidak memahami, bukti kepemilikan saham memang untuk kepemilikan saham, setelah saya teliti, anggaran dasar perseroan "disembunyikan", tidak ada dalam barang bukti perkara.

Anggaran dasar inilah yang saya gunakan untuk memblokir asset perseroan di BPN. Akibatnya, hutang perseroan lunas dengan dengan sendirinya, asset tidak dapat dialihkan tanpa persetujuan saya. Meluruskan hukum harus menempuh jalan panjang, suatu saat diadakan perdamaian, sejumlah uang saya terima, namun ketika saya katakan bahwa pertimbangan hukum menyatakan perseroan bukan milik saya, perdamaian bubar dengan sendirinya, saya menolak menanda tangani apapun kecuali pertimbangan hukum tersebut diperbaiki. Hukum beralasan bukan salahnya karena pendapat hukum berdasarkan bukti dan kesaksian walaupun bukti itu tidak lengkap sekalipun yang merubah makna.

Dari pengalaman saya tersebut, terkait OTT KPK, hukum dapat dilokasir hanya sampai pengembang dan anggota DPRD DKI. Kasus hukum yang berawal karena ketidak tegasan kewenangan ( bisa menjadi alasan hukum ) menjadi permasalahan hukum tidak ada yang bersalah kecuali yang tertangkap tangan. Jika pengembang mengungkap permasalah ada dihulunya, bukan tidak mungkin pengembang terkena lagi, mungkin perbuatan menyuap yang menjadi perkara lain. Dalam posisi demikian, pengembang berada pada posisi maju kena mundur kena, mengungkap secara jujur sangat mungkin menambah perkara, tidak mengungkap sudah terjaring OTT KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun