Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Keresahan SBY

23 April 2018   00:40 Diperbarui: 23 April 2018   01:25 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: kompas.com

Kita tengok kebijakan Suharto dalam percepatan pembangunan di Indonesia dengan berhutang namun Suharto secara politik menyebut bantuan negara sahabat boleh dikatakan sama dengan pemerintahan saat ini. 

Suharto pada waktu itu mendapat gelar bapak pembangunan untuk mengukuhkan kekuasaanya yang tanpa batas waktu karena undang2 dasar Indonesia masih memungkinkan.

Pada era Jokowi, pembangunan dari berhutang ini menjadi jargon kampanye dua periode, namun berhutangnya tak diungkap, yang diungkap hanya pembangunanya. Seperti itulah yang tercermin dalam membangun citra keberhasilan untuk meraih simpati pemilih.

Kebijakan Suharto mempercepat pembangunan dari berhutang itu seperti kita tahu berujung pada krisis moneter yang menjadi pemicu ambruknya ekonomi  Indonesia dan memaksa menjadi anak susuan IMF. Indonesia kehilangan kedaulatan keuangan ditangan IMF karena terikat MOU yang berisi apa yang disebut langkah perbaikan ekonomi. 

Sederhenanya, jika kita ingin mengajukan pinjaman di bank, bank akan melakukan bank Checking, jika kita masih terikat pinjaman dengan bank lain, kemungkinan pengajuan pinjaman kita ditolak. Hal seperti ini juga dialami oleh Indonesia yang harus mendapat persetujuan IMF untuk mengadakan pinjaman luar negeri sehingga semua proyek yang sudah dijadual dengan dana pinjaman luar negeri dilakukan moratorium.

Pada era menjelang akhir pemerintahan Megawati, pemerintah memutuskan tidak akan memperpanjang kerjasama dengan IMF, dalam bahasa politiknya seperti ini. Sebab, menghentikan kerjasama dengan IMF maka Indoesia harus melunasi hutang IMF. Keputusan pemerintah tidak melanjutkan kerjasama dengan IMF menjadi tanggung jawab pemerintahan berikut dimana SBY tahun 2004 berhasil memenangi pilpres.

Pemerintahan SBY  terfokus pada pelunasan hutang hingga pada peerintahannya rasio utang luar negeri berada pada titik terendah sebesar 24,7% pasca krisisi moneter  dibanding PDRB. Konsekwensinya, pemerintahan SBY harus membuat skala prioritas dalam pembangunan. Pada era SBY, Indonesia berhasil melunasi utang kepada IMF dan sekaligus Indonesia memiliki kebebasan untuk berhutang ke luar negeri.

Kebebasan inilah yang dimanfaatkan pemerintahan saat ini dengan memacu pembangunan dari berhutang luar negeri sehingga dalam kurun waktu menjelang empat tahun pemerintahan saat ini hutang Indonesia tembus angka tertinggi dalam sejarah sekitar Rp 4.915 triliun (kurs Rp 13.750 per dollar AS) atau USD 357,5 milyar. Sedangkan rasio hutang Indonesia terhadap PDRB saat ini 29,2 % atau naik 4,5 % dibanding tahun 2014.

Jika dicermati rasio utang pemerintah sepanjang 2017 adalah 29,2%  terhadap produk  domestik regional  bruto (PDRB). Rasio tersebut oleh Menkeu  seperti disampaikan dalam berbagai kesempatan dianggap masih aman  karena, bila  mengacu UU 17/2013 tentang Keuangan Negara memperbolehkan  rasio utang  hingga menyentuh 60% dari PDRB. Namun jika dilihat  utang  tersebut dari mata uang,  ambang batas 60 % dari PDRB menjadi tidak  relevan sebab masih dipengaruhi  oleh  gejolak nilai rupiah yang selama  ini terjadi seperti halnya pada tahun 1998. Kurs konversi rupiah terhadap US $ terus mengalami depresiasi, ini akan menjadi resiko ekonomi sebab setiap point penurunan rupiah akan menjadi penggelembungan utang.

Mungkin inilah salah faktor yang menimbulkan keresahan SBY, namun publik menilai selama 10 tahun  pemerintahan SBY tak berbuat apa apa untuk bangsa ini dibanding Jokowi yang dalam waktu singkat mampu memacu pembangunan.

 Piye, enak zamanku tho? Sebuah kalimat  politik mengingat masa manisnya madu berhutang pada zaman Suharto yang berujung krisis ekonomi. Menjelang Pilpres 2019, marak lagi jargon kampanye keberhasilan membangun jalan tol oleh pemerintahan Jokowi, namun dibalik itu tak banyak yang tau ada sebuah resiko pengulangan krisis ekonomi 1998 jika depresiasi rupiah tak terkendali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun