Hidup bersama orang banyak tentu tidak menutup kemungkinan adanya interaksi dengan manusia lain disekitar kita. Seperti yang kita tahu, manusia adalah makhluk sosial. Jika lapar, ya ke warung. Jika butuh sesuatu, ya beli di toko terdekat. Mustahil jika kita mencukupi segala kebutuhan kita sendiri.
Dalam berinteraksi dengan orang lain inilah, tak jarang tutur kata pedas terlontar keluar. Baik sengaja ataupun tidak, baik berupa nasihat atau sekedar buah bibir, yang pasti jika orang tersebut merasa "tertohok", maka sekali pedas tetaplah pedas.
Belakangan saya sadari, bahwa benda yang paling tajam di dunia bukanlah pisau atau belati. Benda tumpul yang biasa kita sebut lidah-lah setajam-tajamnya eksistensi yang ada dimuka bumi. Lidah ini bahkan bisa mencabik-cabik perasaan orang lain, tak jarang pula sampai menimbulkan dendam kesumat dan pertikaian lahir-batin diantara dua kubu.
Walaupun hanya sekedar kata-kata yang terucap, namun perkataan pedas nyatanya sangat bisa mempengaruhi perasaan seseorang. Apalagi, kalau seseorang itu berhati lunak dan tidak biasa diperlakukan demikian. Atau karena memang pada dasarnya mereka yang bermulut pedaslah yang salah mengerti. Tidak peka, salah tafsir. Akhirnya, emosi jadi campur aduk, bahkan overthinking dan ujung-ujungnya menyalahkan diri sendiri. Sebel deh.
"Apa yang kulakukan salah?"
"Kenapa aku tadi melakukan itu?"
"Aku benci orang itu"
"Aku nggak akan sudi melihat wajahnya lagi"
"Cih, nggak professional banget sama pembeli"
"Lebay banget sih mbak!"
Monolog-monolog pun bertebaran dalam benak. Jauuh keinginan di lubuk hati untuk membungkam nyinyiranyang ada, namun apalah daya takut kalah omongan.