Di berbagai forum ilmiah semacam seminar nasional dan konferensi internasional, maupun forum diskusi terbatas seperti focus group discussion (FGD), orang-orang terus beradu argumen tentang bagaimana menyelamatkan lingkungan. Seluruh perangkat ilmu pengetahuan telah dikeluarkan demi menemukan jawaban atas perubahan iklim yang terus menggerus bumi. Berbagai teori dan pendekatan serta hasil riset dipresentasikan guna menemukan solusi atas problema bumi yang terasa kian rentan dengan bencana.
Dari kejauhan di bagian tenggara Pulau Sulawesi, tepatnya di daerah Wakatobi, masyarakat sedang resah. Atol yang merupakan salah satu kawasan yang dijadikan sebagai zona perlindungan bahari dan zona pemanfaatan lokal sedang terancam oleh ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Entah darimana datangnya, dari luar daerah atau penduduk lokal sendiri. Mereka melakukan penangkapan melalui cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Roundup yang sejatinya digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan rumput justru digunakan untuk meracuni ikan. Bagaimana ceritanya? Mereka menyelam ke dasar laut, lalu cairan roundup itu disemprotkan ke karang. Setelah itu mereka naik ke perahu menunggu reaksi dari apa yang telah dilakukan. Tidak lama berselang, ikan-ikan mulai bergelimpangan, mati keracunan. Bukan hanya ikan besar, ikan kecil, bahkan karang yang merupakan rumah bagi biota laut ikut rusak karenanya.
Tidak cukup dengan penyalahgunaan roundup, oknum-oknum ini melakukan pengeboman serta menggunakan potasium sianida untuk menangkap dan mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya. Potas yang berbentuk padatan butiran putih itu dilarutkan dalam air laut. Tujuannya jelas, untuk meracuni ikan dan ikan pun mati. Dari ukuran besar sampai yang kecil, bahkan karang ikut "mati". Padahal karang adalah rumah bagi ikan, tempat bertelur dan beranak pinak.
Perlunya Penyadaran Berbasis Kolaboratif
Di perairan laut Wakatobi, ada 8 (delapan) atol, yaitu Atol Pasia Roka, Kapota, Kahedupa, Oti Olo, Tomia, Koromaha, Runduma, dan Koko. Atol Kahedupa menjadi salah satu atol terluas di dunia dengan luas 48 km. Atol-atol ini merupakan perwakilan ekoregion Laut Banda-Flores, tempat migrasi larva ikan dari laut Flores, tempat berkembang, dewasa, bertelur, lalu larva ikan menyebar kembali ke Laut Banda dan sekitarnya. Setiap tahun, perikanan atol berkontribusi pada nilai transaksi lebih kurang 30 miliar rupiah. Bahkan kekayaan hayati dan sea scape atoll telah menjadi daya tarik ekowisata Wakatobi (Saleh Hanan, 2025).
Dalam kehidupan sehari-hari orang Wakatobi, atol dan pulau merupakan tanah air kembar, tempat hidup sekaligus mencari kehidupan. Keseluruhan atol adalah rumah yang paling aman dan nyaman bagi ikan dan biota laut. Inilah faktor utama mengapa hasil laut daerah ini sangat melimpah. Tetapi hadirnya para perusak itu pelan-pelan merubah segalanya. Hasil laut yang semula melimpah mulai terasa "tidak seperti dulu lagi".
Menyadari keadaan ini, masyarakat dan kelompok nelayan tidak tinggal diam. Mereka terus berusaha menjaga karang dan laut agar tetap lestari. Komunitas nelayan memang tidak pernah membaca jurnal ilmiah, juga jarang bersentuhan dengan berbagai teori ekologi. Tapi mereka terus merawat pengetahuan tentang lingkungan bahari dimana mereka hidup. Berkurangnya hasil tangkapan serta rusaknya karang adalah situasi yang tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Bagi mereka, laut dan karang ibarat tubuh dan nafas. Ketika laut tercemar dan karang rusak, mereka hanya bisa berkata "matai nekita" (matilah kita). Karena mereka tahu resiko yang akan menimpah.
Nampaknya, kegelisahan masyarakat dan kelompok nelayan tadi telah menjadi kegelisahan bersama. Balai Taman Nasional (BTN) Wakatobi juga sudah lama gelisah atas persoalan tersebut, namun tidak berdaya karena keterbatasan personil dan sarana pendukung serta luasnya kawasan konservasi. Hal demikian juga dialami oleh instansi terkait di daerah seperti Dinas Perikanan dan Dinas Lingkungan Hidup, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat. Kelompok aktivis pegiat lingkungan memandang bahwa menyelesaikan persoalan ini membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Tidak bisa hanya diserahkan kepada satu lembaga semacam Balai Taman Nasional Wakatobi. Dibutuhkan gerakan penyadaran berbasis kolaboratif (collaborative-based awareness), upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan dengan melibatkan semua pihak. Seperti kata tokoh pemerhati lingkungan, Richard Rogers, "satu-satunya jalan ke depan, jika kita ingin meningkatkan kualitas lingkungan adalah melibatkan semua orang".
Mereka tahu bahwa para perusak itu bekerja dalam kelompok dan terorganisir dengan persiapan yang matang. Kecepatan perahu diatas rata-rata dan siap dengan segala resiko. Kawasan atol yang sangat luas, serta perlengkapan yang sangat sederhana, menyadarkan kelompok nelayan dan aktivis lingkungan untuk tidak bergerak sendiri. Mereka juga memahami bahwa mereka yang merusak karang disebabkan kurangnya kesadaran tentang pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Maka langkah tepat adalah menyadarkan, bukan menghentikan. Menangkap dan memenjarakan berarti menghentikan. Sementara oknum-oknum perusak itu memiliki keluarga yang setiap saat butuh makan untuk hidup. Menyadarkan berarti merubah mindset, merubah cara pandang tentang etika penangkapan ikan dengan metode yang ramah lingkungan. Maka jalan terbaik adalah berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Balai Taman Nasional Wakatobi, Dinas Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup, Lembaga Swadaya Masyarakat, aktivis lingkungan dan budaya, serta pegiat media sosial.
Ikhtiar Pelestarian Karang
Melalui inisiatif Saleh Hanan, seorang aktivis lingkungan, segera di deklarasikan gerakan penyadaran berbasis kolaboratif yang disebutnya "Kampanye Atoll Day Wakatobi 2025". Aktivis yang satu ini sangat peduli pada lingkungan, semasa mahasiswa mulai terlibat dalam aksi-aksi pelestarian lingkungan dengan bergabung di WALHI (Wahana Lingkunan Hidup). Setelah tamat kuliah, ia tidak memilih PNS sebagaimana pilihan lazim teman-temannya. Ia juga tidak memilih jalan politisi sebagaimana kebanyakan pilihan para mantan aktivis. Ia tetap konsisten dengan dunia konservasi yang telah ia geluti dengan bergabung bersama WWF (World Wide Fund for Nature) dan TNC (The Nature Conservancy). Bahkan hingga kini, ketika kontraknya dengan kedua lembaga tersebut berakhir, ia tetap memilih dunianya, memilih jalan pelestarian lingkungan dan budaya. Sebuah pilihan yang jarang orang memilihnya.