Hari ini, genap sudah 80 (delapan puluh) tahun Indonesia merdeka. Gegap gempita semerbak perayaan kemerdekaan menggema disemua sudut-sudut ruang negeri ini. Tidak hanya di kota, di desa, di darat dan laut, bahkan lingkungan dan lorong pun tidak ketinggalan. Semua merayakan, mengekspresikan rasa haru dan gembira serta bangga atas kemerdekaan yang kita gapai. Kemerdekaaan ini bukan karena hadiah, bukan karena pemberian atau belas kasih. Kemerdekaan bangsa ini dicapai karena perjuangan jiwa dan raga, buah dari pengorbanan tanpa pamrih. Indonesia merdeka karena perjuangan darah dan air mata, harta dan raga mengusir penjajah. Selama ratusan tahun kita dijajah, dibodohi, dipaksa bekerja untuk kompeni tanpa upah, diadu domba antar sesama anak bangsa, banyak juga yang diperbudak. Selama itu, kita diperlihatkan contoh prilaku yang tidak manusiawi, martabat kemanusiaan kita terus direndahkan oleh mereka, kaum imperialis.
Untungnya, ada sekelompok orang, sekelompok anak-anak muda yang sadar akan nasib bangsanya, mereka terus menggelorakan semangat perlawanan. Bahwa kita sebagai bangsa harus berjuang melepaskan diri dari belenggu penjajah. Dari kaum muda inilah digalang semua kekuatan, kelompok bangsawan, alim ulama, wanita, kaum santri, bahkan anak-anak diberikan kesadaran, dibangkitkan semangatnya untuk berjuang merebut kemerdekaan dari bangsa penjajah. Dan seperti yang kita tahu, puncaknya pada 17 agustus 1945, dengan dimotori oleh kamu muda, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mereka dengan lantang menyampaikan  "bahwa sesungguhnya penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".
Sekarang bangsa ini telah merdeka, bebas dari penjajahan bangsa-bangsa lain. Bahwa kita pernah dijajah, direndahkan martabatnya, diberlakukan tidak adil, cukup sebagai kenangan, biarlah menjadi memori kolekif bangsa yang tidak perlu diratapi. Yang perlu ditatap adalah masa depan, bahwa kemerdekaan ini harus dirawat agar ia tetap ada hingga akhir masa. Agar Indonesia ini tetap utuh dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Kita tidak perlu mengangkat senjata atau membawa bambu runcing lalu maju ke medan laga. Juga tidak harus masuk-keluar hutan bergerilya sebagai taktik perang melawan kompeni. Kewajiban generasi sekarang cukup merawat kemerdekaan. Memberikan kontribusi nyata agar semua warga merasakan hikmatnya hidup dalam negara merdeka. Lalu apa yang bisa dilakukan?
Pertama, terus menyebarkan kebaikan. Kebaikan banyak wujudnya, tidak tunggal, demikian pula keburukan. Kebaikan dapat berwujud amal ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, sedekah. Dapat juga dalam wujud amal sosial, seperti donor darah, bakti sosial, bersihkan lingkungan, dan lain sebagainya. Menyebarkan kebaikan berarti mendistribusi kebaikan kepada semua tanpa membeda-bedakan, tanpa diskriminasi. Tidak seperti penjajah, yang hanya tahu kebaikan untuk mereka. Sementara pada warga pribumi terus dibebankan penderitaaan yang tiada henti. Menyebarkan kebaikan adalah hal sederhana, bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tetapi berkontribusi besar dalam merawat kemerdekaan.
Kedua, membangun tradisi saling bantu, kerjasama alias kooperatif. Mengapa kita dijajah sampai ratusan tahun lamanya. Karena tidak ada persatuan, tidak ada tradisi saling tolong dan saling bantu. Pattimura berjuang bersama pasukannya di Maluku, Sultan Haerun berjuang di Ternate bersama pasukannya. Demikian pula Pangeran Antasari di Banjarmasin, Hasanuddin di Sulawesi Selatan, dan lain-lain. Mereka semua adalah para jawara yang dengan gagah menantang penjajah. Tetapi perjuangannya sendiri-sendiri tidak saling bantu. Sehingga ketika semua kekuatan penjajah dikerahkan ke Maluku, takluklah Pattimura, demikian pula di daerah-daerah lainnya. Nanti setelah bangsa ini bersatu, saling bantu antara satu daerah dengan daerah lainnya, maka penjajah pun berhasil dipulangkan ke kampung halamannya. Maka mestinya tradisi ini tetap dirawat dan pelihara. Kita bangun tradisi saling bantu dan kerjasama, belajar meringankan beban orang lain, itulah cara baik merawat kemerdekaan.
Ketiga, memperkokoh kualitas persaudaraan diantara sesama warga bangsa. Sebelum kita merdeka, rasa persaudaraan kita sangat kurang. Yang dominan adalah semangat primordialisme, semangat kedaerahan dan kelompok. Itulah sebabnya kita sangat mudah dipecah belah oleh Belanda dengan taktiknya yang disebut "devide et impera" (pecah dan berkuasa). Antara sesama warga bangsa diadu domba lalu saling bertikai. Nanti setelah semangat kedaerahan pelan-pelan memudar dan diganti dengan rasa persaudaraan yang kuat, serta semangat nasionalisme, rasa cinta pada bangsa dan negara, maka mulailah persatuan dapat diwujudkan. Setelah persatuan terwujud maka kemerdekaan pun dapat diraih.
Pada suatu kesempatan, Rasulullah Muhammad SAW menyerukan "laa yukminu ahadukum hatta yuhibbu li akhiyhi kama yuhibbu linafsih" (tidak beriman diantara kamu sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri). Bahkan kualitas keimanan diukur dengan kuatnya rasa persaudaraan kepada sesama. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi kita untuk saling benci, karena kita semua bersaudara. Bersaudara seiman (sesama muslim), bersaudara sebangsa (sesama warga negara Indonesia) dan bersaudara sesama manusia (sesama anak cucu Adam). Semoga tiga hal tersebut dapat diwujudkan sebagai cara kita merawat kemerdekaan. Wallahu a'lam bish-shawab
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI