Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Adakah yang "Kutu Loncat" seperti Saya?

26 November 2019   09:04 Diperbarui: 26 November 2019   21:23 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerjaan. Sumber: Pixabay.com

Terus terang, saya mungkin bisa dikatakan 'kutu loncat', yakni orang yang gonta-ganti pekerjaan. Pada dasarnya saya menyukai loyalitas, namun ternyata terbentur suatu halangan yang menyebabkan saya memilih keluar kerja dan mencari lainnya. Bukannya jika tidak cocok mending keluar? Keluar ya keluar saja, ko repot.

*

Pekerjaan A.
Ada advertising (perusahaan iklan) yang saat ini telah tutup. Selama 3 bulan saya di perusahaan yang berada di dekat Plaza Marina tersebut, hasil karya desain saya belum tidak pernah tembus untuk dieksekusi ke dalam benda atau grafis final sebenarnya. Misalnya logo, desain gapura dsb. Karena itu saya mundur dan memilih mencari peluang lain dari segi teknis.

Pekerjaan B.
Saya lalu ditawari kerja oleh seorang teman sekelas kuliah saat sama2 keluar dari perkuliahan terkendala biaya. Diawali di sebuah digital printing di pusat Surabaya, lalu dipindah ke Malang disebabkan kekurangan tenaga (hanya satu orang—tidak seperti beberapa tahun terakhir ini yang punya 4 operator komputer/desain).

Di Malang ternyata jam kerjanya lebih tinggi, lebih ngoyo karena biasanya konsumen suka semaunya saja (maksudnya berubah pikiran), tapi dengan gaji lebih sedikit karena kebutuhan orang sana tidak banyak. Macam Indomie, satu kurang dua kebanyakan. Masa satu setengah?

Saya memilih keluar disebabkan ingin melanjutkan kuliah hingga lulus, jadi balik ke Surabaya.

Pekerjaan C.
Saya mendapat pekerjaan yang lumayan karena kebaikan seorang atasan yang saya ingat hingga kini; pekerjaan tersebut di developer perumahan.

Sebetulnya pekerjaannya tak terlalu sulit dan ada waktu buat pengembangan diri. Saya satu-satunya etnis Jawa di lantai 1 sedangkan lainnya Tionghoa. Tapi hal ini tidak lantas membuat saya merasa terintimidasi. Hanya... ada hal yang membuat saya terpaksa keluar: saya terserang depresi.

Ceritanya, saya mengenal seseorang sejak pertemuan di Malang. Saat pindah Surabaya, saya nyatain. Ditolak. Patah hati dong. Hal ini mungkin agak membuat down.

Tapi yang membuat seperti telah jatuh tertimpa tangga adalah adanya keributan di keluarga. Saya bentrok hebat dengan kakak saya. Begitu pula situasi keluarga tidak dalam ketenangan.

Saya juga masih dalam rangka down serta berusaha bangkit sejak puisi saya lenyap gara-gara harddisk yang terformat. Jadi belum sempat bangun oleh hal ini, ada dua hal di atas yang terakumulasi hebat. Umpama saya mengenal program macam Recuva saat itu mungkin tak terlalu dalam terpuruk.

Saya tak bisa berpikir dan blank 3 bulan sejak itu. Dan memutuskan resign karena otak saya mati. Berusaha tegar tapi seperti tak ada sesuatu yang melintas di kepala saya untuk menjadi inspirasi melanjutkan hidup.

Atasan dari atasan saya, pak sebastian menyesalkan saya harus keluar. Karena beliau yang memilih saya dibanding pesaing saya saat masuk. Saya tak bisa bilang apa-apa lagi.

2 tahun kemudian, saya kebetulan ketemu pimpinan puncak perusahaan developer tersebut di bandara. Saya mengetahuinya saat dikenalkan pertama kali, juga dari acara kebaktian tiap senin khusus karyawan Kristen. Saya minta maaf karena saya resign 2 tahun lalu.

Saya bilang, ini bukan kesalahan pak Sebastian waktu memilih saya gabung. Saya mempunyai problem pribadi dan keluarga. Pak pucuk pimpinan tak bilang apapun lalu saya beranjak dari situ.

Pekerjaan D.
Mendapat pekerjaan di industri jamu kecil. Inilah boss berpenyakit psikis serta megalomania dimana saya menaruh dendam hingga saat ini karena trauma yang dalam membekas hingga membuat saya tak percaya siapapun.

Pekerjaan E.
Sebuah cabang broker yang membutuhkan layouter dan editor untuk foto-foto rumah yang dijualnya.

Jadi hari pertama saya mulai mengambil foto bersama seorang cewek di lapangan. Hari berikutnya, ada pameran yang diselenggarakan di Bandara Juanda (lihat persinggungannya dengan Pekerjaan C—saat itulah saya bertemu pucuk pimpinan perusahaan C). 

Yang dibilang pameran ini juga aneh. Teman saya bilang si boss akan datang ke Bandara tersebut juga, tapi tidak datang. Ditelepon sejak pagi tidak bisa, dan karyawan harus jalan sendiri. Bahkan yang dikata pameran tadi hanya modal XBanner plus beberapa pelengkap macam brosur. Saya lupa pastinya.

Setelah capek seharian, si boss terlihat di kantor tanpa merasa ada yang tidak beres. Saya merasa si boss wanita ini tak bisa 'dipegang'. Jadi keesokan harinya saya tak ingin masuk kerja lagi dan menelepon jika saya mundur.

Pekerjaan F.
Seperti tipikal perusahaan percetakan lainnya yang bergaji rendah. Saya mencobanya karena dekat dengan rumah.

Tak ada masalah hingga saatnya gajian. Keterangan si boss terbalik-balik dan jumlah gajiannya juga. Ada tulisan sejuta pada amplopnya waktu itu, namun berbeda dengan keterangan si boss laki awalnya (ada suami-istri).

Saya disuruh membuka saat itu. Namun saya mengatakan akan membukanya di rumah saja. Pegawai cuma segelintir pastinya juga telah bolak-balik dicek dan hitung. Pas dibuka, dari tulisan sejuta di amplop tadi ternyata hanya berisi 800ribu. Saya emosi dan menelepon mundur keesokan harinya tanpa masuk lagi.

Pekerjaan G.
Katanya, jobdesk pekerjaan sebagai copy/content writer dan desain untuk semacam buletin. Tapi setelah melihat tempat kerja... ternyata sangat jauh dari lokasi awal interview, padahal saya telah menyetujui gaji yang ditawarkan.

Dan yang memprihatinkan... komputer seperti bekas terserang malware, atau virus berbahaya. HDD berlabel 500GB cuma terdeteksi 5GB pada sistem. WTF. Mana perlu pembenahan di segala lini dari sisi hardware dan software. Internet nggak jalan juga.

Sudah bilang permasalahannya ke supervisor, si supervisor melemparnya ke bos. Si supervisor tak bisa memutuskan karena UUD-ujung-ujungnya duit karena butuh pembenahan dan butuh biaya service kalau bukan beli baru.

Ndilalah, si bos melempar lagi ke supervisor. Drama ini berlangsung beberapa kali selama beberapa hari sebelum saya keluar. Jadi saya mikir, nih bos menyebutkan diri sebagai pembicara (di kartu namanya) tapi masa cuma bisa bicara saja tanpa ada solusi. Gimana sih?

Di tengah kebingungan dan situasi nggak jelas... eh dunia lain tolol juga berjibaku: ada kuntilanak tertawa keras, nyaring dan garing ke sela-sela headphone saat menikmati musik. Saya yang tadinya tiduran langsung terjaga, bersiaga keluar ruangan.

Tak terlihat apapun. Umpama terlihat saya juga nggak segan melemparnya dengan sesuatu yang saya pegang atau ada di dekat saya. Beberapa hari kemudian, eh ada suara kuntilanak lagi.

Iseng mengganggu dengan tawanya tapi nggak kelihatan. Saya jadi curiga apakah kuntilanak ini juga piaraan si bos guna membuat karyawannya tidak betah. 

Masa bodo. Cabut aja. Toh keluhan tentang perangkat kerja juga tidak ditanggapi baik. Bagaimana bisa kerja?

Jauh sebelum Mario Anu si Silver Ways terkena kasus dan dicibir publik, saya telah memandang negatif profesi pembicara gegara perusahaan satu ini.

Pekerjaan H.

Saya kerja di perusahaan film offset untuk keperluan cetak, mesin utama pada perusahaan tersebut bukan mesin terbaru jadi nggak ada otomatisasinya. Jika mesin terbaru mungkin pas lembar filmnya keluar bisa langsung pake disebabkan telah dicuci di dalam mesin tersebut juga. Tetapi yang ini tidak. Lembarannya dimasukkan wadah semacam pipa untuk dicuci pada wadah berisi bahan kimia di ruang paling belakang bangunan rumah-usaha tadi yang cukup gelap.

Mata saya tidak biasa beralih dari terang (lingkup ruang komputer dan lorong) ke ruang gelap secara cepat itu tadi. Di sisi lain, para senior yang dua-duanya wanita sangat pelit ilmu ketika saya berusaha kerja praktis dan efisien menurut ritme kerja di tempat itu. Mungkin mereka takut digantikan yang lebih muda ya (macam saya saat itu contohnya).

Jadi setelah mengalami banyak kesalahan kerja selama sebulan di situ karena beberapa hal yang saya sebutkan, saya pun dikeluarkan

Pekerjaan I.
Perusahaan tersebut masih baru merintis. Punya mesin cetak ukuran A3+ mahal: diatas 1M. Dan satu-satunya yang ada di Surabaya Timur saat itu sedangkan perusahaan Digital Printing umumnya ada di Surabaya Pusat. Katanya, yang mempunyai mesin mahal tersebut hanya ada 2 untuk merek Canon: satu di Surabaya, satu di Jogja.

Masa2 awal masih agak sepi. Dan ramai menjelang awal tahun kedua. Gaji saya cukup banyak disitu meski jam kerja hampir selalu 14 jam perharinya. Dapat makan juga.

Perjalanan dari rumah ke tempat kerja lumayan panjang: 1 jam perjalanan lewat MERR yang baru saja jadi. Namun tanggung jawabnya kemudian bertambah berat. Desainer dan tugas komputer sekaligus finishing dan tak lama kemudian ada fotokopi juga. 

Pekerjaan disanalah yang membuat saya terserang kekalutan dan depresi lagi. Juga karena teringat boss keparat dari pekerjaan D. Pernah, satu hari kerja dimulai dari jam 09.00-04.00 pagi keesokannya; dalam rangka anak desain Univ Petra mencetak tugas semesteran dan tugas akhir.

Keesokannya saya diminta masuk kerja jam 12.00 sedangkan biasanya jam 09.00. Sehari setelah kerja hingga pukul 04.00 pagi tadi, saya keliru print 100 lembar lebih karena konsentrasi dan energi terkuras sehari sebelumnya. Bolak-balik pula. Jika buat percetakan offset itu jumlah kecil karena biasanya ada sekian lembar untuk 'margin error', buat digital printing itu jumlah yang besar.

Bos saya lulusan Petra, jadi posisinya ibarat kakak kelas membantu adik kelas. Tapi pada hari-hari biasa seringnya saya pulang jam 12 malam padahal jam kerja dimulai jam 09 pagi. Tak sempat kemana-mana sesudahnya. Bila banyak orang kerja untuk hidup, kondisi saya mirip 'hidup untuk kerja'.

Saya adalah satu-satunya karyawan yang bertahan 1 tahunan lebih sejak awal merintis. Lainnya resign dengan alasan macam-macam. Saya kabur saat kalut dan depresi tadi, tau-tau tidak masuk kerja beberapa hari. Saya tidak bilang apapun saat bos menelepon saya. Saya mendengarkannya, lalu menutupnya; saya hanya merasa tidak kuat... tak bisa berpikir dan bicara.

Pekerjaan J.
Mencoba peruntungan di bidang pengajaran. Alias jadi guru di lembaga kursus. Tapi gaji malah dicicil. Saya tak melihat masa depan dari gaji yang dicicil ini jika terus bersamanya. Entah apakah lembaga kursus sekarang terkena imbas tutorial yang tersebar di youtube? 

Saya juga malah tekor karena buku dipinjam siswa tidak balik. Dua buah. Belum lagi siswa sering membatalkan saat saya dalam perjalanan. Pulang-pergi butuh biaya man! Sementara gaji tak pernah utuh sekali pemberian.

Pemberian gaji kedua lebih lama tenggangnya dari bulan ke bulan. Seorang guru kursus wanita, berhijab yang mengajar bidang lain mengingatkan saya: "kamu itu cowok, masa bertahan di pekerjaan 'kecil' begini. Apalagi gaji dicicil pula..."

Pekerjaan K.
Saya mencoba melamar di sebuah lembaga pendidikan yang bekerjasama memasok guru komputer di Sekolah Menengah swasta di Surabaya.

Setelah beberapa bulan pengajaran, akhirnya saya terpaksa dikeluarkan disebabkan bukan lulusan S1 dan perkuliahan saya yang tidak sempat lulus. Dari sini saya melihat kurikulum pelajaran komputer siswa SMP Negeri di depan rumah malah lebih bagus dengan materi yang tidak membingungkan.

Saya pikir saya bekerja di sana karena pernah pengalaman mengajar, tapi ternyata tidak. Entah apa yang membuat saya dipanggil. Dari sini pun saya melihat ada kekurangan pasokan guru komputer, selain keanehan di dunia pengajaran: lulusan psikologi pun bisa menjadi guru komputer.

Pekerjaan L.
Mungkin hanya 2 bulanan saya berada di perusahaan pembuat undangan mewah ini. Benar desain undangannya mewah, tapi secara gaji dan kerumitan jauh dari pekerjaan sebelumnya.

Saya tidak merasa cocok dengan tim marketing-nya dan setelah menimbang-nimbang, saya melompat ke pekerjaan L.

Pekerjaan M.
Lumayan sih. Si bos nampaknya mengapresiasi kerja saya. Saya dapat makan, juga tak banyak orang disana. Praktis, satu tempat kerja cuma ada saya, dan seorang programmer bentukan si bos karena dia teman gerejanya. 

'Bentukan' ini karena awalnya si dia nggak bisa memprogram. Si bos cerita jika awalnya si programmer ini diberi tugas desain, ternyata nggak bakat. Jadi disuruh belajar coding. Lumayan bisa katanya. Tapi masih perlu dipoles karena masih membuat cukup banyak bug.

Eh programmer ini terlibat perang dingin dengan si bos (saya menduga begitu). Dia cabut dengan alasan menjaga anaknya, jadi memilih kerja di rumah supaya bisa menjaga anaknya. Tetapi si programmer diketahui menjalin kerjasama dengan saudaranya dan membuat proyek sendiri.

Akhirnya bos menemukan penggantinya: programmer yang rajin sholat dan sembahyang, tapi selalu datang telat dengan alasan macam-macam dengan hasil kerja yang berbeda dengan keinginan si bos.

Idealismenya membuat desain website yang bagus dan minimalis (saya pernah diberitahu hasil kerja pribadinya—cukup keren dan memenuhi impian saya akan sebuah desain website jika saya mempunyai perusahaan yang butuh website), bukan bertujuan untuk theme khusus salesman ala si bos. Si bos memecatnya.

Lalu si bos mencoba orang yang dikatakan akan bisa jadi asisten saya. Dia tak punya pengalaman desain, dan pekerjaan sebelumnya hanya jadi pegawai gudang. Namun ngebet jadi desainer grafis. Bulan 1-2-3 masih dipantau. Tapi selama itu pula tak menghasilkan karya apapun. Jadi istilahnya masih belajar saja. Saya kaget waktu bos ngomong bila dalam 3 bulan lagi tak bisa mengimbangi kerja disitu, dia dikeluarkan.

Terus terang saya agak jengkel dengan adanya 'asisten parasit' ini. Misalnya sama-sama diberi tugas kerja... eh saya harus mengerjakan bagiannya juga disebabkan ketidakcakapannya.

Awalnya saya membantu solusi kerjanya. Tapi kemudian itu malah mengganggu ritme dan penyelesaian pekerjaan saya sendiri. Jadi saya menyuruhnya mencari solusi dari internet dengan gugling. 

Dia enak, masuk kerja pas internet telah tersedia dan bisa diakses oleh seluruh karyawan. Tapi pas awal kerja situ, saya harus meminta gambar ke si bos untuk komposisi dan projeknya. 

Pernah pertanyaannya membuat jengkel: "pak kalau menginstal font bagaimana caranya?" Sudah diberitahu caranya eh besoknya tanya lagi. Diberi tau caranya lagi... eh besoknya tanya juga. Saya mikir: ini anak tanya apa ngetes sih? 

Mulai saat itu saya menyuruhnya gugling buat cari solusi. Di perusahaan lain tak ada staf yang sesabar saya selama saya gabung disana hanya untuk mengajarinya. Semuanya pelit ilmu man!

Hingga bulan keempat dia kerja, dia tak menelurkan satu karya pun secara final untuk diberikan kepada klien. Karena beban saya makin banyak (harus membenahi pekerjaannya supaya terstandar); saya bilang keberatan saya pada si bos. Tau si bos bilang apa? "Lho kamu kan dulu pertama belajar disini juga belajar seperti dia".

Saya murka sungguh pas dengar saya disamakan dengan anak 'kemarin sore' berIQ minus 99 ini. Entah jika dia hanya pura-pura bego.

Saya memang di awal tak langsung bisa menyamai standar yang diinginkan, yang lebih ke pembiasaan; namun secara prosesnya saya hanya butuh waktu kurang dari seminggu karena sebelumnya telah mempunyai pengalaman kerja di bidang itu.

Belum lagi pendidikan yang pernah saya tempuh. Lalu dibandingkan dengan mantan pegawai gudang yang selama 4 bulan masuk di situ hanya untuk 'belajar desain dari awal' itu?

Hanya butuh waktu sehari sejak murka tadi saya menyatakan resign. Si bos tanya apakah itu karena 'asisten' saya itu? Saya tidak bisa berbasa-basi saat bilang Iya. Hampir 3 tahun saya di sini.

Pekerjaan N.
Saya mendapat kerja sebagai desainer grafis sekaligus content writer. Tugas saya adalah membuat banner, membenahi tampilan websitenya dan membuat artikel untuk banyak websitenya sekalian sharing ke media sosial.

Tak ada masalah. Dan pekerjaan inilah yang membuat saya keluar rumah kedua kali untuk kost (setelah pernah juga saat di Malang). Selama kerja di sana, saya pribadi iseng mengikuti kompetisi logo.

Hasilnya, jadi nominasi pemenang dengan bertengger pada 5 besar di branding Jateng dan juga menjadi nominasi dengan masuk 10 besar di Sidoarjo city branding. Keduanya harus datang untuk pengambilan hadiahnya.

Karena dirasa 'agak beruntung' dalam kedua kompetisi tersebut saya lalu diberi tugas mendesain ulang logo merek produk perusahaan. 

Selama beberapa tahun tak ada masalah disebabkan saya pun tak mudah menyerah atas berbagai kesulitan. Permasalahan sebenarnya muncul disebabkan adanya pengembangan usaha di bidang bengkel.

Saya tak menguasai teknis mesin sedangkan kebutuhan artikelnya ada di kisaran mesin otomotif; berbeda dengan usaha rental mobil yang bisa disandingkan dengan banyak bidang: traveling, kuliner, wisata, kebutuhan kantor, media sosial, otomotif, bahan bakar, kebijakan pemerintah, jalan raya dan lain sebagainya.

Jadi, bila dalam dunia rental mobil tersebut saya bisa menelurkan artikel cukup banyak; tidak demikian halnya dengan usaha bengkel.

Saya berpedoman pada tips populer yang ditulis pada berbagai website. Pembuatan artikel mesti bagus supaya dapat menarik pengunjung yang bisa sharing link tanpa diminta, serta berfungsi untuk SEO disebabkan keunikan artikel tersebut.

Hal ini pun bertentangan dengan keinginan bos yang menginginkan artikel yang secara kuantitas lebih banyak namun dengan isi 'ala kadarnya'. Menurutnya hal ini akan membantu jumlah backlink.

Di sisi lain, si bos nampaknya tidak dapat berkomunikasi langsung dengan developer websitenya atas fitur yang dia inginkan supaya bisa ada pada CMS buatannya. Sederhananya saja.

Beberapa waktu lalu saya sempat sharing pada media sosial tentang bagaimana susahnya meng-handle CMS buatan developer tersebut; mulai dari memasukkan video, excerpt (penggalan kata saat sharing di medsos) hingga tak bisa mengetikkan kata kunci (label) secara fleksibel dan pas sesuai isi artikel tadi; misalnya seperti Kompasiana, Wordpress, Blogger dan lainnya. 

Jadi ada menu label terpisah pada dashboard-nya, lalu baru kita ketikkan banyak kata kunci yang ingin kita masukkan. Yang ada pada laman posting artikelnya adalah pilihan label (dengan sistem centang keyword yang telah dibuat) dari banyaknya kata kunci yang diketikkan pada menu CMS tersebut.

Repotnya, bila ada 300 artikel dengan topik berbeda maka akan dibutuhkan minimal 300 kata kunci. Padahal ada artikel yang membutuhkan 3-5 kata kunci berbeda. Apa tidak akan memakan waktu mencermati dan mencentangi satu-satu ketimbang mengetikkan yang paling sesuai?

Sekali waktu, developer-nya mengomel ke saya dengan kalimat yang mirip ini (saya lupa kalimat pasnya): "mas, selama ini CMS saya dipake orang tak ada masalah kenapa sekarang sepeti bermasalah banget?"

Saya tidak bilang sesuatu saat itu; dan fitur itu tadi malah permintaan bos. Saya cuma menyampaikan. Mengapa si bos tidak bilang langsung pada si developer juga tidak jelas secara alasan. Tapi seandainya saya pemilik usahanya, saya tidak akan menggunakan jasanya lagi!

Ok. Jadi singkatnya, saya kurang dapat menulis seputar teknis mesin untuk bahan artikel website bengkelnya. Dan karena blog/websitenya banyak (20+), maka saya pun agak jarang mem-posting ke dalam masing-masing websitenya.

Itu saja saya harus gabung ke situs otomotif. Jangan bayangkan semuanya akan mudah saat saya gabung kesana. Banyak pertanyaan saya yg tak terjawab karena saya tak banyak nimbrung di grup tersebut. Mungkin mereka 'merasa dimanfaatkan' dan berpikir jika 'cuma dekat kalau ada butuhnya saja'.

Lalu perusahaan membuka percabangan usaha lagi di tempat yang sama. Yakni desain interior. Mengingat lagi saat awal kerja di sana, saya ditanyai si bos: "kamu bisa desain interior?"

Saya menggeleng. Si bos pikir saya bisa mendesain interior karena punya background desain grafis. Padahal beda jauh ketika desain interior harus bisa software 3D dan penguasaan bahan (serta hitungan harganya).

Si bos lalu menugasi saya membuat artikel seputar dunia desain interior. Saya yang soal perbengkelan dan mesin saja keteteran apalagi ditambah dengan bidang yang tidak saya kuasai?

Saya mencoba negosiasi dengan boss apalagi desainer interior tersebut banyak menganggurnya (kira-kira 80% jam kerja untuk menonton video dari youtube, dan itu pun window-nya dikecilkan dan dipojokkan supaya tidak terlihat dari CCTV di belakang—bahkan pernah mengakses video porno juga pas jam kerja); tapi istri boss malah menuduh saya iri dan dengki. Sialan.

Ini adalah pekerjaan dimana saya sering terlibat perselisihan juga dengan si bos. Meski saya mencoba bertahan karena ingin 'dianggap loyal' karena sering melompat berganti pekerjaan.

Saya beberapa kali membantu pekerjaannya, tapi tidak sebaliknya (karena ukuran gambar rendering tidak cukup besar untuk dicetak dengan ukuran besar di digital printing, jadi untuk satu motif desain pernah saya buat ulang di Adobe Illustrator). Tak ada imbal-baliknya karena kerepotan saya pun harus 'saya makan' sendiri.

Bisa dikata, pekerjaan ini saya bertahan cukup lama. Hampir 5 tahun. 

Pekerjaan O
Nyemplung digital printing lagi. Dan selain kerjanya hingga tengah malam atau menjelang pagi, gajinya dicicil juga meski tidak besar. Ini yang membuat saya keluar lagi. Khawatir depresi saya kambuh.

Pekerjaan P
Salah satu pekerjaan saya di luar grafis yang pernah dijalani saat saya terpikir apakah bisa bekerja di luar grafis jika fisik saya sudah tidak mendukung (bidang grafis butuh indera mata yang prima dan normal).

Saya berposisi sebagai kurir dari perusahaan ekspedisi, dan harus berutang ke adik saya (uang saya tidak mencukupi pasca sebulan jobless dan melamar kerja sana-sini, selain sebelumnya dipinjam bapak saya sebagai biaya pasca pengobatan) untuk biaya hidup bulan pertama serta kedua.

Bulan pertama masih belum menghapal area dan lingkup kerja, jadi sangat lambat. Itu pun juga karena seminggu dalam suasana Lebaran yang mengakibatkan perhentian truk delivery (untuk jalur prioritas pemudik) dari luar kota. Yang efeknya penurunan paket yang harus diantar. 

Padahal gaji pokok masih belum dihitung karena masih di awal, belum diangkat menjadi sprinter. Jadi secara keseluruhan masih dihitung perpaket.

Di bulan kedua, orangtua bilang ingin saya melanjutkan usaha toko jika saya 'gagal di luar'. Saya tidak mengiyakannya untuk saat itu karena saya masih butuh uang untuk kebutuhan saya, lagipula saya berpikir jika masih mempunyai utang yang belum terbayarkan.

Lalu saya mendapat cerita jika adik saya mempunyai pacar dan bakal menikah tahun depan. Saya kaget, di sisi lain saya dipindah tempat kerja memasuki bulan keempat. Saya anak laki-laki sendiri saat ini, dimana saudara saya dua-duanya perempuan yang saya pikir bakal mengikuti suaminya.

Jadi kemudian saya memutuskan resign dari pekerjaan tersebut (mengikuti apa yang dibilang orangtua) dan berniat meneruskan usaha di rumah, meski di tengah jalan pun ada masalah runyam lain yang baru seorang Kompasianer yang tau...

***

Beberapa minggu lalu ada yang mengingatkan jika jangan keluar/resign semata-mata karena 'emosi'. Tapi masalah saya banyak yang bersumber selain 'emosi'.

Lagipula tulisan ini semua telah saya draft jauh hari sebelum tulisan 'mantan Kompasianer' (karena lebih memilih merawat blog-nya sendiri di luar Kompasiana);

Dan pada intinya, perjalanan kegagalan saya dimulai dari saya harus mengalah saat saya keluar kuliah supaya adik saya bisa lulus karena kekurangan biaya jika harus lulus bersama.

Saya mengalah karena program S1 ekonomi tak akan menjadi apapun jika tak lulus. Berbeda dengan D3 Desain Grafis, masih ada skill manual dan komputer yang bisa digunakan untuk berpenghasilan atau mencari kerja saat awal.

Saya mencoba melanjutkan kuliah yang terputus tetapi terbentur biaya, saat ada biaya malah terbentur waktu karena pekerjaan di dunia ini (apalagi percetakan) sering tak mengenal waktu kerja, dan tak ada kebijakan baku dari Pemerintah.

Saat ada biaya dan waktu, Universitas tempat transfer jurusan dari lembaga tempat saya kuliah sudah menutup program S1 Desain Grafis-nya. Dan belum mencari tau lainnya karena saat ini masalahnya kembali ke soal dana.

Btw, saya tak bermaksud mengeluh soal ini dengan menuliskannya. Tapi sebagaimana tujuan tulisan lain, mungkin ada yang bisa 'mengambil sesuatu' darinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun