Mohon tunggu...
kelvin ramadhan
kelvin ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Sleepy man

Kaum burjois jogja | Bertekad minimal sekali sebulan menulis di sini | Low-battery human| Email : Kelvinramadhan1712@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Indahnya Persahabatan di Antara Kaum 11 dan 23 Rakaat di Yogyakarta

28 Mei 2019   06:06 Diperbarui: 2 Juni 2019   19:13 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://gotripina.com

Ini hanyalah kesimpulan yang saya dapat dari pengalaman menjalani kehidupan selama 18 tahun di Sidoarjo dan kurang lebih setahun di Yogya

Ramadan kali ini memberikan pelajaran-pelajaran penting bagi hidup saya. Bukan hanya mengenai bulan Ramadan yang pertama kali saya lalui sebagai anak rantau, melainkan saya juga menemukan sebuah suasana tarawih yang sangat adem, guyub nan rukun di antara kaum 11 dan 23 rakaat di Yogya.

Wajar jika saya kagum mengenai hal tersebut karena di kampung halaman saya (Sidoarjo, Jawa Timur), polarisasi di antara kaum 11 dan 23 rakaat sangat kuat sehingga menciptakan tembok tebal yang membuat suasana tarawih terasa kurang mencerminkan persatuan umat. 

Menurut pengetahuan saya yang terbatas ini, polarisasi itu tidak hanya terjadi di Sidoarjo, akan tetapi meliputi juga daerah-daerah di Jawa Timur (Jatim) lainnya. Mungkin bagi kebanyakan orang Jatim, melihat ada masjid yang melaksanakan tarawih dengan ketentuan 11 sekaligus juga 23 rakaat adalah hal yang sangat langka. 

Mayoritas yang ada hanyalah tim 11 rakaat (biasanya warga Muhammadiyah) yang masjidnya menganut ajaran salat sesuai dengan Muhammadiyah ajarkan, semisal bacaan bismillahnya di sir kan, tanpa zikir bersama seusai salat dan tim 23 rakaat (kaum Nahdliyin) juga menganut paham sesuai yang NU ajarkan.

Pemisahan itu pada gilirannya hanya akan memicu dikotomi seusai bulan Ramadan berakhir dengan sebutan masjidnya Muhammadiyah (jika melaksanakan 11 rakaat) dan masjidnya NU (jika 23 rakaat). Sehingga ada rasa yang tertanam di dalam benak bahwa jika saya dulu ketika tarawih itu 11 rakaat maka sebisa mungkin ketika melaksanakan salat fardhu saya akan mencari masjid yang muhammadiyah juga, hal yang sama berlaku dengan kaum Nahdliyin.

Efek jangka panjangnya yang saya takutkan (dan ini sudah terbukti, khususnya di kampung saya) adalah kurang rukunnya hubungan kaum Muhammadiyah dengan Nahdliyin yang disebabkan dengan kurang pluralnya identitas jamaah di setiap masjid (karena jamaahnya dari kelompok itu-itu aja) di Jatim.

Hal seperti itu jarang saya temui di Yogya dan di bulan Ramadan inilah saya mengetahui penyebabnya. Setelah saya cermati lebih dalam, hal itu dipicu karena adanya kerendahhatian kaum muslimin di sini dalam menentukan bilangan salat tarawihnya masing-masing. 

Pengalaman saya berkeliling untuk melaksanakan tarawih di masjid-masjid membuktikan bahwa masjid di sini tidak membeda-bedakan antara yang 11 dan 23 rakaat. 

Masjid-masjid di Yogya kebanyakan (sekali lagi ini menurut pengamatan saya yang terbatas) tarawih dengan ketentuan 11 dan sekaligus juga 23 rakaat. Singkatnya, jamaah diberi pilihan untuk melaksanakan yang 11 atau 23 rakaat di Masjid yang sama. 

Tidak peduli itu masjid yang bacaan bismillahnya bersuara atau tidak. Teknisnya adalah semua jamaah tarawih terlebih dahulu hingga 11 rakaat, setelah mencapai 11 peristiwa indah itu terjadi . 

Kaum 23 rakaat akan dengan rendah hati mundur ke belakang/ke samping untuk memberi kesempatan kaum 11 rakaat melanjutkan salat witir. Setelah kaum 11 rakaat selesai witir barulah kaum 23 rakaat maju ke depan untuk melanjutkan salat dan kaum 11 rakaat bisa bergegas pulang atau melantunkan dzikir. 

Takzim saya bertambah ketika mengetahui bahwa berberapa masjid yang saya jumpai di Yogya ketika tarawih bahkan antara imam dengan takmir masjidnya pun berbeda pendapat perkara jumlah rakaat salat tarawih sehingga takmir hanya menemani imam hingga mencapai 11 rakaat. 

Setelah itu, takmir akan mundur ke belakang bersama kaum 23 rakaat untuk melanjutkan dzikirnya masing-masing dilanjut salat tarawih lagi seusai kaum 11 rakaat selesai witir (sama seperti yang saya uraikan sebelumnya).

Adanya sinergi di antara jamaah inilah yang membuat masjid-masjid di Yogya jarang yang berafiliasi dengan ormas-ormas islam, khususnya Muhammadiyah dan NU karena masjidnya sendiri terdiri dari proporsi yang seimbang antara jamaah dari ormas-ormas tersebut. 

Akibatnya, masjid-masjid di Yogya pun memiliki imam yang alirannya berbeda satu sama lain sehingga terkadang ketika shubuh gaya salatnya mengikuti NU dan ketika Isya' gayanya berubah mengikuti ajaran dari Muhammadiyah. 

Menariknya, disparitas itu menimbulkan beraneka ragam aliran keislaman dengan cara salat yang berbeda menurut kepercayaan masing-masing namun hebatnya mampu bersatu di bawah satu naungan atap masjid yang sama. 

Hal itulah yang sudah seharusnya menjadi pelajaran umat islam di Jatim. Dengan mampu menciptakan suasana tarawih sebagaimana di Yogya, maka polarisasi yang sedemikian kuat di antara kaum 11 dan 23 rakaat bisa dihindari.

Sekali lagi, ini hanyalah kesimpulan yang terbatas oleh pengalaman saya selama ini.

 Salam persatuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun