"In criminalibus probantiones bedent esse luce clariore"
"Dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya". Ungkapan klasik tersebut mengingatkan kita bahwa dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana, standar pembuktian haruslah sangat tinggi. Sebab kesalahan dalam menghukum bukan hanya mencederai suatu individu, tetapi juga meruntuhkan marwah negara sebagai penegak keadilan.
Dalam hukum pidana, menghukum orang yang tidak bersalah adalah kesalahan fatal. Mengapa demikian? Karena berlaku asas
“In dubio pro reo”
yang berarti “dalam hal terjadi keraguan, berpihaklah pada terdakwa.” Asas tersebut menekankan bahwa jika terdapat keraguan dalam pembuktian kesalahan terdakwa, keputusan harus diambil yang menguntungkan terdakwa, yaitu dengan membebaskannya.
Asas tersebut ada dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kesalahan penghukuman terhadap individu yang mungkin tidak bersalah. Oleh karena itu, standar pembuktian yang tinggi sangat diperlukan untuk meminimalkan risiko tersebut. Hukuman pidana tidak hanya berdampak pada kebebasan fisik (seperti hukuman penjara), tetapi juga pada reputasi, pekerjaan, dan kehidupan sosial terdakwa. Mempertimbangkan konsekuensi tersebut, penting agar suatu putusan pengadilan benar-benar didasarkan pada bukti yang terang dan meyakinkan.
Dari Dokumen Fisik ke Jejak Digital
Dalam konteks perpajakan, tantangan untuk mewujudkan “terangnya” suatu perkara pidana pajak semakin kompleks di era digital. Jika dulu bukti dapat berupa dokumen fisik, laporan akuntansi tradisional, atau saksi, kini transaksi lebih banyak yang berbentuk elektronik seperti contohnya faktur elektronik, log server, sampai catatan percakapan daring. Tanpa kemampuan mengelola bukti digital yang cukup, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berisiko “buta” di tengah derasnya arus transaksi digital di zaman modern ini.
Dalam sistem hukum Indonesia, alat bukti yang sah dalam pengadilan diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa."
Namun, perkembangan hukum telah membuka ruang bagi bukti elektronik untuk masuk dalam kategori tersebut. Army (2020) menyebutkan bahwa bukti elektronik dapat diakui sebagai surat, petunjuk, atau keterangan ahli, asalkan diperoleh dengan cara yang sah dan dapat diautentikasi.
Dengan demikian, rekaman percakapan aplikasi pesan, e-mail, SMS, log GPS, notula rapat, hingga informasi berupa metadata dapat berfungsi sebagai bukti hukum. Namun ada syarat penting, bukti tersebut harus dijaga integritasnya sejak ditemukan hingga dipresentasikan di pengadilan, sebab tanpa prosedur yang benar, data digital mudah diragukan atau ditolak. Inilah titik krusial yang menuntut hadirnya disiplin forensik digital.
Forensik digital, menurut Heriyanto (2016), adalah penerapan metode ilmiah untuk mengidentifikasi, mengamankan, dan menganalisis data elektronik sehingga dapat diterima dan dipercaya di pengadilan.
Dalam dunia ini tidak ada kejahatan yang benar-benar terjadi tanpa adanya suatu jejak. Locard principle menyatakan bahwa setiap tindakan akan meninggalkan “residu”. Seluruh data elektronik yang ada merupakan “sidik jari” modern yang bisa mengungkap adanya manipulasi laporan atau penggelapan pajak. Bagi DJP, jejak digital inilah yang akan menjadi senjata sekaligus peluru untuk menelusuri, membongkar, dan menjerat pelaku tindak pidana perpajakan.
Setidaknya ada dua manfaat utama forensik digital yang dapat menjadi alasan krusial mengapa penting bagi DJP untuk memperkuatnya.
Forensik Digital: Menyelam ke Dasar Gunung Es Data
Pertama, forensik digital dapat menolong DJP melihat apa yang selama ini tersembunyi.
Konsep gunung es menjadi analogi yang sangat tepat, sebab data yang DJP lihat sehari-hari mungkin hanyalah puncaknya saja. Di balik itu, tersimpan informasi yang jauh lebih besar yang tidak tampak di permukaan. Tanpa pendekatan forensik, informasi ini hanya akan mengendap dan nyaris tak tersentuh. Tetapi dengan metode ilmiah, tim forensik digital DJP akan mampu “menyelam” lebih dalam, menemukan pola, koneksi, dan jejak-jejak yang bisa mengubah arah penyidikan.
Dari Data yang Mentah menjadi Bukti Kokoh
Kedua, forensik digital dapat membantu DJP mengubah data mentah menjadi bukti yang sah dan kokoh di pengadilan.
Inilah tantangan terbesarnya. Data digital mudah sekali dipertanyakan keasliannya. Maka setiap tahapan, mulai dari saat data ditemukan hingga dipresentasikan, harus tercatat dengan rapi. Dokumentasi yang menyeluruh atau chain of custody menjadi sangat penting dan bukan hanya sekadar prosedur birokratis, melainkan suatu upaya untuk menjamin integritas bukti digital. Dengan itu, bukti digital tidak hanya sekadar “ada” tetapi benar-benar dapat dipercaya oleh hakim di pengadilan.
Jika setiap prosedur itu dapat dijalankan, DJP bisa berdiri tegak di pengadilan. Tidak lagi hanya bersandar pada asumsi atau dokumen yang mudah digugat, melainkan membawa bukti digital yang kuat dan sah. Asas “Incriminalibus…” pada akhirnya dapat benar-benar diwujudkan. Hal itu menjadi bukti bahwa DJP mampu memenangkan suatu perkara dengan membawa bukti yang “lebih terang dari cahaya”. Inilah yang akan menjaga marwah DJP ke depannya—bahwa negara tidak sekadar memungut pajak, tapi juga menegakkan hukum dengan wibawa.
“We are now living in the digital world”. Kita hidup di era digital di mana teknologi memainkan peran penting dalam hampir setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pengelolaan perpajakan. Hal ini membuat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghadapi tantangan baru dalam memastikan tercapainya target kepatuhan wajib pajak dan mendeteksi berbagai potensi pelanggaran perpajakan. Dalam konteks tersebut, forensik digital menjadi solusi yang sangat relevan. Kegiatan forensik digital dapat membantu DJP mengungkap bukti-bukti digital dan memberikan analisis atas suatu kasus demi terangnya sebuah perkara. Dengan kesadaran akan hal tersebut, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa forensik digital dapat menjadi kunci keberhasilan dalam penegakan hukum perpajakan yang adil dan transparan di era digital dewasa ini. Melalui forensik digital, DJP tidak hanya dapat menanggulangi manipulasi data dan penggelapan pajak, tetapi juga mendukung transparansi dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.
Strategi DJP Memperkuat Forensik Digital
Menurut saya, untuk memaksimalkan potensi forensik digital dalam meningkatkan kepatuhan pajak dan penerimaan negara, DJP dapat menerapkan beberapa strategi sebagai berikut:
1. Meningkatkan Concern Pimpinan: Demi tercapainya kegiatan forensik digital yang optimal, sangat diperlukan perhatian dan concern yang mendalam dari pimpinan DJP terhadap pentingnya peran forensik digital dalam mendukung penegakan hukum perpajakan. Penting untuk membangun pola pikir bahwa kegiatan forensik digital tidak hanya tentang kegiatan pengumpulan bukti “kejahatan”, dll, tetapi juga memainkan peran krusial dalam mengungkapkan kebenaran dalam perkara pidana perpajakan. Tanpa adanya dukungan dan pemahaman yang jelas dari pimpinan, proses penguatan kegiatan forensik digital tidak akan berjalan maksimal.
2. Menormalisasi Istilah Forensik Digital: Khan dkk (2022) menjelaskan bahwa istilah "forensik" seringkali diasosiasikan dengan penyelidikan kriminal yang menakutkan, yang dapat menghalangi penerimaan dan implementasi forensik digital di berbagai sektor. Oleh karena itu penting untuk mengubah pandangan ini agar forensik digital dipahami sebagai alat yang sah dan bermanfaat untuk penyelidikan yang objektif, bukan hanya untuk tujuan kriminal.
3. Penguatan Regulasi: Penelitian oleh Darono (2019) menekankan pentingnya penguatan regulasi dalam implementasi forensik digital perpajakan. Sampai tulisan ini dibuat—sependek pengetahuan penulis—regulasi yang selama ini mengatur kegiatan forensik digital bentuknya masih terbatas hanya pada surat edaran saja, kegiatan forensik digital di atur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-36/PJ/2017 tentang Pedoman Forensik Digital untuk Kepentingan Perpajakan. Belum ada dukungan regulasi yang kuat yang memberikan landasan hukum yang jelas bagi DJP dalam melaksanakan kegiatan forensik digital (baik dalam bentuk PMK maupun apalagi Undang-Undang) dan memastikan bahwa bukti-bukti yang ada dapat diterima di pengadilan.
4. Peningkatan Keterampilan Tim Forensik Digital: Menurut Darono (2019) peningkatan keterampilan SDM forensik digital sangat penting. Pelatihan dan sertifikasi dalam forensik digital akan membekali para petugas dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis bukti digital secara lebih efektif sehingga berbagai pelanggaran perpajakan dapat dideteksi dan dicegah dengan lebih baik.
Lebih dari Sekadar Menang di Pengadilan
Pada akhirnya, keberhasilan DJP dalam memperkuat forensik digital bukan hanya soal memenangkan perkara di pengadilan, tetapi juga berkaitan langsung dengan masa depan penerimaan negara. Setiap rupiah yang lolos dari penggelapan pajak sama artinya dengan hilangnya dana pembangunan yang seharusnya kembali ke masyarakat dalam bentuk infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik. Forensik digital dapat menutup celah-celah kebocoran tersebut dengan cara memastikan bahwa manipulasi data dan transaksi ilegal dapat terdeteksi sejak awal. Dengan begitu, DJP tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai penjaga utama arus kas negara.
Lebih dari itu, kemampuan DJP dalam menghadirkan bukti digital yang sahih di pengadilan akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Wajib pajak yang melihat pemerintah mampu menindak pelanggaran secara adil dan berbasis bukti kuat akan lebih terdorong untuk patuh. Kepercayaan ini adalah modal sosial yang tak ternilai; tanpa kepercayaan, kepatuhan sukarela sulit tercapai. Oleh karena itu, forensik digital bukan hanya instrumen teknis, melainkan fondasi strategis yang akan menentukan bagaimana penerimaan negara Indonesia dapat terus tumbuh secara berkelanjutan di era digital.
Sumber:
Agung Darono (2019). Forensik Digital Perpajakan: Kajian Strukturasi Teknologi. Prosiding KRA VI Tahun 2019.
Army, E. (2020). Bukti Elektronik Dalam Praktik Peradilan. Sinar Grafika.
Heriyanto, A. P. (2016). Mobile Phone Forensics: Theory: Mobile Phone Forensics dan Security Series. Penerbit Andi.
Khan, A. A., Shaikh, A. A., Laghari, A. A., Dootio, M. A., Rind, M. M., & Awan, S. A. (2022). Digital forensics and cyber forensics investigation: security challenges, limitations, open issues, and future direction. International Journal of Electronic Security and Digital Forensics, 14(2), 124-150.
Lubis, A. (2023) In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariore “Pembuktian Harus Lebih Terang dari Sinar Matahari.” Blog Dosen Fakultas Hukum . https://ansor.blog.uma.ac.id/2023/10/09/in-criminalibus-probantiones-bedent-esse-luce-clariore-pembuktian-harus-lebih-terang-dari-sinar-matahari/
Subdit Forensik dan Barang Bukti, Direktorat Jenderal Pajak. 2024. Pengantar Forensik Digital Perpajakan [Presentasi Power Point]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI