Selain dampak lingkungan, sampah makanan juga membawa kerugian ekonomi yang besar. FAO memperkirakan bahwa pada tahun 2012, nilai ekonomi dari sampah makanan secara global mencapai 936 juta dolar Amerika, jumlah yang setara dengan pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia.Â
Di sisi lain, jika sampah makanan dapat dikelola dengan lebih baik, sumber daya ini bisa dialokasikan untuk membantu masyarakat yang mengalami krisis pangan. Sebagai gambaran, sekitar 3 (tiga) ton makanan yang terbuang setiap tahunnya dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kelaparan bagi jutaan orang.
Jika berkaca dari pengalaman, pentingnya pengelolaan sampah makanan memang harus lebih ditekankan setelah kejadian bencana ekologi di Leuwigajah. Tragedi longsor sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat pada tahun 2005 yang menewaskan lebih dari 140 orang menjadi bukti nyata bahwa sistem pengelolaan sampah yang buruk dapat mengakibatkan bencana. Peristiwa ini pun menjadi latar belakang peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) setiap tanggal 21 Februari.
Untuk mengurangi dampak buruk dari sampah makanan, berbagai langkah dapat dilakukan. Salah satunya adalah penerapan sistem komposting untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk atau biogas. Dengan metode ini, emisi gas metana dapat ditekan dan sisa makanan dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan.
Komposting adalah proses penguraian bahan organik (seperti sisa makanan, daun kering, dan limbah pertanian) menjadi pupuk kompos yang kaya nutrisi untuk tanah. Proses ini terjadi dengan bantuan mikroorganisme (bakteri, jamur, dan cacing tanah) yang menguraikan bahan organik menjadi humus yang dapat digunakan sebagai pupuk alami.Â
Tetapi kita dapat juga menambahkan bahan berupa EM4 (Effective Microorganism 4). Mikroba dalam EM4 (seperti lactobacillus) membantu mengurai bahan organik, meningkatkan kesuburan tanah, serta mengurangi bau dari limbah organik.
Jenis komposting setidaknya ada 3 (tiga) yaitu: 1.) Komposting Aerob (dengan oksigen). Cirinya menggunakan bakteri aerob yang membutuhkan oksigen, proses lebih cepat (sekitar 3-6 minggu), tidak berbau busuk jika dikelola dengan baik, perlu diaduk rutin untuk memastikan oksigen cukup. Contoh: Komposter padat terbuka, lubang biopori, komposter tumbuk.
2.) Komposting Anaerob (tanpa oksigen). Ciri-cirinya menggunakan bakteri anaerob yang bekerja tanpa oksigen, proses lebih lama (1-3 bulan), bisa menghasilkan bau karena adanya gas seperti metana dan hidrogen sulfide, tidak perlu sering diaduk. Contoh: Fermentasi Bokashi, komposter cair tertutup, pembuatan eco-enzyme.
3.) Vermicomposting (Dengan Cacing). Cirinya menggunakan cacing tanah untuk mempercepat penguraian organic, hasilnya kaya nutrisi dan sangat baik untuk tanaman, perlu kondisi lembab agar cacing tetap hidup. Contoh: Kompos dengan cacing merah (Eisenia fetida).
Dalam penerapannya, terkadang kita menganggap Komposting dengan metode komposter sama dengan metode biopori. Hasil dari biopori dan komposter tidak sepenuhnya sama, meskipun keduanya sama-sama menguraikan sampah organik.