AKU sering pulang agak larut, beberapa waktu ini. Menyesap udara dingin. Berkendara menyusuri jalanan pinggiran kota. Gerimis jatuh, keadaan relatif tenang, dan orang-orang nampak ramah. Aku berhenti di salah satu angkringan, memesan secangkir kopi susu panas.
Beberapa orang datang lalu duduk di samping, di atas kursi panjang kayu. Mereka juga memesan kopi susu. Sambil menyalakan kretek yang masih sisa, aku menyapa mereka: Seorang pemuda kuliahan dan bapak-bapak berjaket Ojol.
Kami mengobrol ngalur-ngidul, membincangkan bermacam topik yang mengemuka belakangan ini. Mulai langkanya gas 3 kiloan, kebijakan makan bergizi gratis, cancel culture, hingga riuhnya tagar Kabur Aja Dulu.
Pada saat obrolan mengalir, aku terdiam sesaat, beberapa detik. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyergap pikiran. Perasaan sedih, terancam dan kesepian. Aku merasa tidak terhubung dengan orang lain. Orang-orang terasa asing.
Segera aku bangkit dari tempat duduk, membayar kopi susu lalu berpamitan kepada orang-orang. Begitu kendaraan melaju, suasana dingin kembali menyergap. Mataku dipenuhi bias kilatan lampu mercury. Ah, kenapa aku merasa kesepian? Kenapa kita tidak bahagia?
Makna yang Membusuk
Apa itu kebahagiaan? “Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dicari secara langsung, melainkan muncul sebagai hasil sampingan dari menemukan makna dalam hidup,” ujar Frankl.
Frankl mungkin akan mengatakan bahwa kita tidak bahagia karena kita kehilangan makna dalam hidup kita. Jika kita hanya mencari kebahagiaan demi kebahagiaan itu sendiri, tanpa tujuan yang lebih besar, maka kita akan terus merasa kosong.
Dalam bukunya “Man’s Search for Meaning”, Victor Frankl berpendapat bahwa manusia bisa tetap merasa utuh dan bahkan menemukan kebahagiaan, meskipun dalam penderitaan, selama mereka memiliki makna yang lebih besar untuk dipegang.
Neurolog Austria ini menyebut 3 (tiga) sumber makna dalam hidup, yaitu mencintai orang lain, menciptakan sesuatu dan mengambil sikap atas penderitaan.
Mungkin yang dimaksud makna menurut Frankl adalah ketika kita bisa berbuat atau bermanfaat bagi orang lain. Alih-alih meratapi penderitaan, kita dapat memilih membantu sesama. Satu saja kebaikan kecil atau amal sederhana yang kita lakukan, jika itu ikhlas, serta bermanfaat bagi orang lain, akan memicu kebaikan-kebaikan yang lainnya, yang pada akhirnya menyalakan makna dalam batin kita.