Oleh: Mandhalika Cantikarahma, Mahasiswa KKN-PPM UGM 2025
Di tengah laju urbanisasi yang kian pesat, muncul sebuah ruang sosial unik yang dikenal sebagai kawasan peri-urban atau semi-kota. Wilayah ini bukanlah desa yang sepenuhnya agraris, namun juga belum menjelma menjadi kota yang sepenuhnya industrial dan individualistis. Ia adalah zona transisi, tempat di mana nilai-nilai tradisional berdialog dengan arus modernitas. Padukuhan Juwangen, yang terletak di Kelurahan Purwomartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, adalah representasi sempurna dari fenomena ini. Sebagai sebuah laboratorium sosial yang hidup, Juwangen menunjukkan bagaimana sebuah komunitas mampu mengelola heterogenitas dan perubahan zaman, tidak dengan konflik, melainkan dengan harmoni yang mengakar.
Letaknya yang strategis, diapit oleh denyut kehidupan perkotaan Yogyakarta dan sisa-sisa lanskap pedesaan, menjadikan Juwangen sebagai titik temu berbagai pengaruh. Modernisasi tak terelakkan merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan warganya. Gawai pintar bukan lagi barang mewah, melainkan alat komunikasi utama yang menghubungkan warga melalui grup WhatsApp untuk koordinasi kegiatan kampung, penyebaran informasi, hingga transaksi jual beli. Layanan ojek dan taksi daring dengan mudah ditemui berlalu-lalang, mengantarkan pesanan makanan atau mengantar warga beraktivitas. Fenomena ini menandakan bahwa masyarakat Juwangen telah beradaptasi dan menjadi bagian dari ekosistem digital yang lebih luas, sebuah ciri khas yang identik dengan masyarakat kota.
Meski demikian, modernisasi tersebut tidak serta-merta menghapus identitas sosial khas Juwangen. Justru, di tengah derasnya arus informasi dan gaya hidup urban, nilai-nilai komunal tetap dijaga sebagai fondasi. Dalam keseharian, suasana gotong royong masih terasa kental. Warga tanpa ragu akan turun tangan saat ada kerja bakti membersihkan lingkungan. Ketika seorang warga menggelar hajatan, tetangga sekitar secara sukarela menawarkan bantuan, mulai dari mendirikan tenda hingga membantu di dapur. Interaksi sosial atau srawung tidak terbatas pada pertemuan formal, tetapi terjalin secara organik di warung, pos ronda, atau sekadar obrolan santai di teras rumah. Nilai-nilai kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, serta kepedulian sosial ini menjadi semacam penyeimbang yang menjaga kehangatan dan keutuhan sosial di tengah dunia yang kian individualistis.
Kekuatan Juwangen terletak pada kemampuannya merawat harmoni di tengah heterogenitas yang semakin kompleks. Komunitas ini adalah sebuah mozaik sosial yang kaya warna. Di wilayah ini kita masih dapat menemui warga dari berbagai latar belakang profesi yang hidup berdampingan, seperti petani yang masih tekun menggarap sawah, pegawai kantoran yang setiap pagi bergegas menuju pusat kota, pekerja seni yang menemukan inspirasi di lingkungan yang tenang, hingga pengusaha muda yang menjalankan toko daring dari rumah mereka. Perbedaan gaya hidup, jam kerja, dan bahkan pandangan politik adalah sebuah keniscayaan.
Namun, yang menarik, perbedaan ini tidak menjadi sumber perpecahan. Sebaliknya, ia menjelma menjadi ruang dialog yang dinamis. Ada transfer pengetahuan tak langsung antara generasi tua yang memegang teguh kearifan lokal dengan generasi muda yang melek teknologi. Ada saling pengertian antara warga yang bekerja di sektor formal dengan mereka yang berkecimpung di ekonomi kreatif. Keberagaman ini diterima sebagai sebuah kekayaan, bukan ancaman. Inilah wajah sejati masyarakat semi-kota, yakni sebuah komunitas yang tidak terjebak dalam dikotomi kaku antara desa dan kota, melainkan berhasil membentuk sebuah identitas baru yang hibrida dan inklusif.
Dalam perspektif yang lebih luas, Juwangen menawarkan potret ideal tentang bagaimana transformasi sosial dapat berlangsung secara berimbang. Di satu sisi, ada dorongan kuat untuk maju, berpikir kritis, dan terhubung dengan dunia luar. Warganya terbuka terhadap inovasi dan tidak anti-perubahan. Di sisi lain, ada kesadaran kolektif untuk tidak tercerabut dari akar budaya dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan. Modernitas dan tradisi tidak diposisikan sebagai dua kutub yang berlawanan, melainkan sebagai dua sayap yang memungkinkan komunitas ini untuk "terbang" lebih tinggi. Ini adalah bukti nyata bahwa pembangunan sosial tidak harus selalu mengorbankan identitas. Menjadi modern bukan berarti harus menjadi asing di tanah sendiri.
Maka dari itu, Padukuhan Juwangen lebih dari sekadar unit administrasi pemerintahan. Ia adalah sebuah teladan tentang bagaimana sebuah kawasan pinggiran mampu mengelola dinamika heterogenitasnya dengan penuh kearifan. Dalam ruang sosial yang terus bergerak dan berubah, warga Juwangen memilih untuk tumbuh bersama, bukan saling meniadakan. Mereka membuktikan bahwa di tengah kompleksitas zaman, harmoni bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah pilihan sadar yang menjadi kekuatan utama. Kekuatan inilah yang menjadikan Juwangen sebagai komunitas yang unik, tangguh, dan inspiratif bagi wilayah lain yang tengah menghadapi tantangan serupa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI