Indonesia merupakan negara yang sangat beragam akan kebudayaannya. Salah satu bentuk dari kebudayaan tersebut adalah pakaian adat. Pakaian adat adalah pakaian yang menjadi ciri khas atau identitas suatu kelompok masyarakat tertentu. Fungsi dari pakaian adat sendiri yaitu sebagai simbol budaya, sebagai penanda status sosial, sebagai pelindung tubuh, sebagai penghubung sesama anggota kaum, sebagai penanda perayaan hari besar, dan sebagai penanda pada acara pernikahan (Simbolon, 2023).
Pakaian adat merupakan salah satu bagian dari koleksi yang ada di Museum Sri Baduga yang berlokasi di Jl. BKR No. 185, Kota Bandung. Museum Sri Baduga sendiri telah berdiri sejak tahun 1974, dan diresmikan tanggal 5 Juni tahun 1980. Sri Baduga adalah seorang raja dari Kerajaan Padjajaran.
Alasan saya memilih pakaian adat sebagai tema artikel ini karena mayoritas baju adat hanya digunakan di waktu-waktu tertentu. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa salah satu fungsi dari pakaian adat adalah sebagai penanda perayaan hari besar dan penanda pada acara pernikahan. Selain itu pakaian adat juga memiliki filosofi atau arti dari model, corak, motif, atau warna yang dipilih.
Mengingat pakaian adat yang hanya digunakan di waktu-waktu tertentu, dan tidak setiap hari masyarakat Indonesia menggunakan baju adat dari daerahnya masing-masing, bagaimana caranya agar berbagai pakaian adat yang ada di Indonesia tidak punah seiring dengan perkembangan zaman? Apakah lama kelamaan masyarakat Indonesia lebih memilih menggunakan busana fashion kebarat-baratan?
Manfaat dari pembuatan artikel ini adalah untuk menambah pengetahuan serta wawasan para pembaca mengenai salah satu kebudayaan Indonesia yaitu pakaian adat khususnya Budaya Pengantin Cirebon. Dan juga meningkatan awareness masyarakat Indonesia untuk bangga menggunakan pakaian adat yang sangat beragam dari berbagai daerah. Busana Pengantin Cirebon menjadi objek yang akan saya bahas dalam artikel ini. Busana ini juga menjadi salah satu koleksi yang ada di Museum Sri Baduga Bandung.
Busana Pengantin Cirebon dibagi menjadi dua jenis yaitu Pengantin Kebesaran dan Kepangeranan. Yang akan saya bahas adalah Busana Pengantin Kebesaran. Busana Pengantin Cirebon berwarna hijau yang divariasi dengan kuning yang memiliki arti sebagai lambang kesuburan dan kebesaran.
Pengantin pria menggunakan mahkota Drawarawati berbentuk mahkota Prabu Kresna. Mahkota ini sebagai simbol status sosial, karena dengan menggunakan mahkota ini menunjukkan pengantin pria berasal dari kalangan ningrat atau bangsawan. Sedangkan pengantin Wanita menggunakan siger atau mahkota yang bertatahkan permata yaitu aba-aba suri. Suri memiliki makna yaitu nasehat. Siger ini juga dilengkapi oleh jarot asem yaitu konde berbentuk buah dan daun asem. Aba-aba suri menjadi simbol status sosial sama halnya dengan mahkota Drawarawati, aba-aba suri menjadi simbol bahwa pengantin Wanita adalah seorang ratu.
Selain itu tata rias rambut pengantin wanita disanggul berbentuk bokor tengkurep  terletak di bagian kepala. Di tengah sanggulan dipasang dapros yaitu untaian bunga melati membentuk harnet yang disebut harnet melati. Model tata rias rambut pengantin wanita berfungsi praktis, simbolis, dan juga estetika. (Abdulhadi, Dra, Hidayat, & Mulyati, 1996)
Tubuh bagian atas pengantin pria dan wanita menggunakan busana yang bernama trate. Busana ini dinamakan trate karena menyerupai kelopak bunga teratai. Terbuat dari kain beludru berwarna hijau dan diberikan motif bunga labu. Trate yang digunakan oleh pengantin memiliki fungsi estetis dan praktis untuk mempercantik penampilan. Serta memiliki makna kesucian hati yang berarti seorang istri yang mencintai suami dengan sepenuh hati dan juga sebaliknya.
Untuk busana bagian bawah pengantin wanita menggunakan kain dengan motif Singa Barong. Satu helai kain dilipat-lipat sebanyak lima lipatan, lalu dijepit sehingga membentuk seperti kipas. Lembar kain yang lain dibentuk dodot Cirebonan. Kedua ujung kanan dan kiri kain dikerut ke atas, yang akan membentuk seperti buah labu. Dodot digunakan pada bagian pinggang hingga di bawah lutut. Busana ini memiliki fungsi estetis dan mengandung simbolis, yang berarti dengan menjalani kehidupan rumah tangga berarti mereka telah memasuki tahap kesempurnaan hidup, yaitu sepenuhnya menjadi anggota masyarakat.
Sedangkan busana bagian bawah pengantin pria menggunakan celana panjang dengan kain buludru hijau. Bagian pinggir bawah celana dihias dengan sulaman benang gim warna kuning emas yang bermotif bunga labu. Lalu celana Panjang tersebut dilapisi oleh dodot Cirebonan yang bermotif Singa Barong. Untuk alas kaki, pengantin wanita menggunakan selop berhak tinggi dari bahan buludru hijau yang disulam dengan benang gim warna kuning emas bermotif bunga tanjung dan bunga labu. Untuk pengantin pria sama dengan wanita namun yang membedakan pengantin pria menggunakan selop berhak pendek. Warna hijau pada alas kaki berfungsi simbolis yang memiliki makna kesuburan dan kebesaran, dimana kehidupan rumah tangganya berlimpah rejeki.