Indonesia dikenal sebagai "raja nikel." Sebutan ini berulang kali dicantumkan dalam laporan internasional dan konferensi tingkat dunia, membuktikan bahwa negara ini memegang peranan penting dalam masa depan energi terbarukan. Namun bagi masyarakat yang tinggal di Sulawesi Tengah, terdapat cerita kelam dibalik kejayaan ini. Cerobong dari pabrik peleburan nikel bermunculan di daerah pesisir. Udara penuh dengan debu. Sungai yang semula menjadi sumber perikanan dan pertanian berubah menjadi coklat akibat limbah industri. Tanah yang semula digarap oleh para petani telah dialihfungsikan bagi pemegang izin tambang dan hal ini mengancam mata pencaharian para petani.Tiap unit kendaraan bertenaga baterai listrik yang digunakan di luar negeri menyimpan pengorbanan tersembunyi dari masyarakat Indonesia dalam bentuk: hilangnya air bersih, punahnya hutan dan bahkan penurunan tingkat kesehatan. Hal ini menjadi paradoks dari peningkatan produksi nikel di Indonesia. Secara global, nikel menjanjikan energi terbarukan. Sebaliknya bagi warga lokal, hal ini menyulut ketidakadilan.
Janji dan Kenyataan
Selama bertahun-tahun, pemerintah mempromosikan industri hilir nikel sebagai jalan menuju kemakmuran nasional. Hal ini disederhanakan dengan rumusan : Hentikan  ekspor bijih nikel mentah, bangun peleburan (smelter) nikel di Indonesia yang akan membuka lapangan pekerjaan, dari situ akan terbuka kesempatan untuk meraih rantai nilai global. Dalam ujaran propaganda, hal ini tampaknya menjanjikan. Di atas kertas, strategi ini kelihatanya menjadi bagian dari kebanggan bangsa.
Namun di lapangan, kenyataanya tampak jauh lebih rumit. Laporan ESG Nikel Indonesia 2025 dari CERAH menunjukkan bahwa produksi nikel Indonesia menghasilkan rata-rata 58,6 ton CO untuk setiap ton nikel, yaitu lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan standar BHP Nickel West di Australia. Sangat jauh dari predikat 'hijau', banyak smelter justru masih bergantung pada bahan bakar batu bara. Industri yang digadang-gadang sebagai tulang punggung masa depan energi bersih ini, ironisnya, masih ditopang oleh salah satu sumber energi paling kotor.
Biaya lingkungan yang timbul juga mencengangkan. Konsesi nikel kini tumpang tindih dengan 180,587 hektar kawasan hutan lindung dan produksi, dengan sedikitnya 5,300 hektare hutan tropis di Halmahera yang telah hilang akibat operasi tambang. Penebangan hutan ini tak hanya melemahkan ekosistem, tetapi juga meningkatkan risiko banjir, serta menggerus keanekaragaman hayati.
Dampak terhadap manusia juga tidak kalah seriusnya. Antara tahun 2015 hingga 2023, tercatat  93 kecelakaan kerja di smelter nikel. Pada tahun 2023, sebuah ledakan di PT ITSS, yang beroperasi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park, menewaskan 21 pekerja dan melukai lebih dari 30 orang. Laporan CERAH 2025 juga mencatat bagaimana masyarakat di Wawonii harus menghadapi air yang tercemar dan hasil pertanian yang terus menurun, sementara mata pencaharian masyarakat Bajau di Kabaena terancam akibat kerusakan pesisir.
Ketika Politik Mencerminkan Ketimpangan
Realitas ini turut membentuk wacana publik di daerah yang paling terdampak. Laporan Pilkada 2024 dari CERAH menunjukkan bahwa di Sulawesi Tengah, isu pertambangan mendominasi perdebatan politik dan sosial, mulai dari deforestasi, konflik agraria, hingga kecelakaan kerja di smelter dan lemahnya standar keselamatan. Percakapan di dunia maya mencerminkan intensitas ini: penggunaan kata kunci terkait pertambangan melonjak dari 5 menjadi 114 paparan, atau naik 2,200% dalam periode pemantauan. Salah satu cuitan viral tentang kecelakaan di smelter ITSS Morowali menegaskan bahwa insiden itu terjadi karena "lemahnya pengawasan sistem K3".
Sebaliknya, di Jawa Barat, percakapan publik tampil sangat berbeda. Di sana, politisi lebih banyak berbicara tentang energi terbarukan: proyek PLTS Terapung Cirata, potensi pembangkit tenaga air, dan kerja sama internasional untuk energi bersih. Satu propinsi berbicara soal peluang. Yang lain hidup dalam konsekuensinya.
Kontras yang tajam ini menggambarkan apa yang seharusnya dijawab oleh gagasan "transisi energi berkeadilan." Tanpa keadilan, transisi hanya akan menjadi kesepakatan timpang yang baru: manfaat untuk sebagian pihak, beban untuk pihak lainnya.
Biaya Kemanusiaan dari Ekstraksi