Penelitian oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2022) menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih merasa bahwa pilkada langsung memberikan mereka kesempatan untuk memilih pemimpin yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka.Â
Hal ini menegaskan bahwa meskipun biaya yang ditanggung tinggi, pilkada langsung menawarkan nilai lebih dalam hal partisipasi masyarakat yang langsung dan legitimasi politik yang lebih kuat, yang sulit digantikan hanya dengan efisiensi biaya.
Namun, kita tidak dapat mengabaikan bahwa biaya yang tinggi sering kali menjadi beban tidak hanya bagi negara, tetapi juga bagi masyarakat.Â
Terutama bagi kalangan masyarakat kurang mampu, biaya kampanye yang tinggi dapat mengarah pada ketidaksetaraan dalam akses terhadap calon pemimpin dan mendorong munculnya praktik politik uang yang merugikan kualitas demokrasi.Â
Oleh karena itu, penting untuk mencari jalan tengah yang dapat mengurangi biaya tanpa mengorbankan kualitas demokrasi yang sudah ada.
Politik Transaksional dalam Sistem DPRD
Salah satu tantangan utama yang muncul dalam sistem pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah risiko meningkatnya politisasi dan transaksi politik.Â
Dalam sistem ini, kepala daerah kemungkinan besar akan terpilih melalui kesepakatan politik antar partai atau elite lokal, bukan melalui suara langsung rakyat.Â
Hal ini membuka peluang bagi munculnya praktik politik uang dan transaksi politik lainnya, yang dapat mencederai kehendak masyarakat dan mengurangi kualitas demokrasi.
Joseph Schumpeter (1942) berpendapat bahwa kompetisi antar elite politik dalam demokrasi sangat penting, karena memberikan masyarakat kesempatan untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan pilihan mereka.Â
Pilkada langsung, dengan memungkinkan lebih banyak calon dari berbagai latar belakang untuk bersaing, memberikan masyarakat banyak pilihan.Â