Diskursus ini seharusnya tidak hanya berkisar pada aspek efisiensi anggaran, tetapi juga pada bagaimana memastikan bahwa setiap keputusan kebijakan tetap memperkuat hak-hak demokratis masyarakat Indonesia.
Menguji Legitimasi Melalui Teori Demokrasi
Untuk lebih memahami kompleksitas isu ini, kita perlu merujuk pada teori demokrasi yang mendasari pemilihan kepala daerah.Â
Robert Dahl, dalam bukunya Democracy and Its Critics (1989), menekankan bahwa demokrasi sejati tidak hanya melibatkan partisipasi politik, tetapi juga hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat. Pilkada langsung memberikan rakyat hak untuk memilih pemimpinnya, meningkatkan legitimasi politik, dan memperkuat hubungan antara pemimpin dan masyarakat.Â
Sebaliknya, pemilihan melalui DPRD cenderung mengurangi rasa keterlibatan langsung rakyat, yang dapat mengurangi legitimasi pemerintahan.
Max Weber (1922) juga menyatakan bahwa legitimasi politik bergantung pada cara pemimpin terpilih.Â
Pemilihan langsung memungkinkan masyarakat memilih pemimpin yang benar-benar mereka inginkan, sementara pemilihan melalui DPRD bisa menimbulkan perasaan bahwa pemimpin terpilih lebih didasarkan pada kesepakatan politik elite daripada kehendak masyarakat. Ini bisa mengurangi kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya.
Efisiensi Biaya vs Kualitas Demokrasi
Salah satu alasan yang sering dikemukakan untuk mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah efisiensi biaya. Memang, pemilihan langsung memerlukan biaya yang signifikan, baik untuk kampanye politik, logistik, maupun administrasi pemilu.Â
Namun, dalam menilai biaya ini, perlu diingat bahwa bukan hanya pengeluaran yang harus diperhitungkan, tetapi juga kualitas demokrasi yang dihasilkan dari proses tersebut.
Mancur Olson (1965) berpendapat bahwa meskipun biaya politik tinggi, investasi ini dapat menghasilkan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.Â