Mohon tunggu...
Frengky Keban
Frengky Keban Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Penulis Jalanan.... Putra Solor-NTT Tinggal Di Sumba Facebook : Frengky Keban IG. :keban_engky

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mahasiswa: Dua Wajah Berbeda Dalam Satu Panggung

15 Oktober 2019   15:47 Diperbarui: 15 Oktober 2019   16:11 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot dari media voxntt.com


(Menilik Realitas Dibalik Bentrok Mahasiswa Undana)

Menjadi mahasiswa adalah impian setiap orang. Bukan sekedar karena gelar sarjana yang disematkan di belakang namanya, tapi lebih dari itu predikat mahasiswa membuat seseorang begitu dihormati. Kenapa demikian? Jawabannya tentu beragam, mulai dari peran mahasiswa yang dianggap vital dalam pembangunan sebuah daerah hingga anggapan yang menyebut mahasiswa adalah maha tahu dan maha pintar karena dibekali pemikiran yang kritis, logis dan sitematis.

Tidak heran jika kemudian dengan semua 'maha' yang dimiliki mahasiswa dianggap 'punya potensi' untuk mengubah arah kebijakan pemerintahan yang dinilai kebanyakan masyarakat tidak lagi berpihak pada kepentingan masyarakat umum. Tengoklah nasib RKUHP dan Revisi UU KPK yang hingga kini dipending oleh Pemerintahan Jokowi-JK.  Padahal sebelumnya, sebagian besar DPR RI sudah terlebih dahulu sumbringah dan memastikan UU itu akan menjadi 'mahakarya indah' yang akan ditinggalkan buat anak cucu pemilik Bangsa dan Negara ini.

Mereka (baca:DPR RI) keok di tengah kepercayaan masyarakat masih tinggi terhadap mahasiswa walaupun di sana sini masih ada cibiran bernada sinis terhadap gerakan mahasiswa yang penulis sebut sebagai gerakan pembuktian tersebut. iya mereka (baca: mahasiswa) telah membuktikan bahwa idealisme mereka belum mati seturut perkataan Tan Malaka "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seorang pemuda."

Bagaimana dengan di NTT? Sudahkah mahasiswa NTT menjadi maha diantara orang berpendidikan? Relatif. Kok Bisa? Realitas yang dikemukakan penulis diatas adalah sebagian dari keberhasilan mahasiswa menjadi pioner/penerus tonggak pembangunan Bangsa Indonesia, selebihnya adalah fatamorgana yang perlu juga ditilik kembali. Peristiwa tawuran dua fakultas, FST dan FKIP di Universitas Nusa Cendana-Kupang yang terjadi pada Jumad lalu dan kembali terulang pada Senin (Pos Kupang, 2019, https://www.google.com/amp/s/kupang.tribunnews.com/amp/2019/10/14/breaking-news-tawuran-antar-mahasiswa-di-kupang-kembali-pecah) adalah buktinya.

Peristiwa ini hadir meruntuhkan wajah intelek yang dimiliki mahasiswa NTT setelah sebelumnya mendapat apresiasi dari berbagai kalangan atas tindakan terpuji menciptakan aksi demo damai bersama Aliansi Mahasiswa Kupang beberapa waktu silam. Dan tulisan ini hadir ke permukaan untuk membaca realitas pelik tersebut dengan berpedoman pada teori Dramaturgi milik Erving Goffman.

Dua Wajah Yang Berbeda (Intelek VS Beringas)

Screenshot dari media voxntt.com
Screenshot dari media voxntt.com
Erving Goffman dalam buku Egi Santoso (2010:47) menyebut bahwa Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Erving mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai panggung sandiwara dengan membaginya dalam dua bagian yakni bagian depan (front) dan bagian belakang (back).

Bagian depan meliputi setting, penampilan diri, dan peralatan untuk mengekspresikan diri, sedangkan bagian belakang berhubungan dengan the self yang berkaitan dengan kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada bagian depan. sederhananya, teori ini menyiratkan dan dua wajah berbeda yang harus dimainkan oleh seorang aktor kehidupan dalam satu panggung, dan dua wajah berbeda ini pun bisa jadi merambat pula pada wajah mahasiswa NTT saat ini.

Di bagian depan (front) seorang mahasiswa telah memastikan dirinya adalah seorang intelek dengan menampilkan dirinya berbeda dengan kaum muda kebanyakan karena sekali-sekali menggunakan istilah-istilah asing, berbicara kritis dan sebagainya (personal front). Namun demikian, realitas itu tidak bisa menghilangkan ciri fisik maupun ciri psikologi mahasiswa itu sendiri yang lekat dengan gejolak kemudaannya atau dengan kata lain kelabilan emosional (panggung bagian belakang).

Walaupun harus diakui di titik tertentu, dramaturgi yang diperankan mahasiswa dalam konteks teori Dramaturgi erving sudah nyaris sempurna jika ditambahkan setting perguruan tinggi sebagai salah satu prasyaratnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun