Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Alasan Mengapa Laki-laki Wajib Memiliki Penghasilan Sebelum Menikah

13 September 2021   07:03 Diperbarui: 23 September 2021   21:30 1778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laki-laki dan puan berbeda menyikapi superior-inferior dalam hal berpenghasilan. (Sumber: Pexel | Pavel Danilyuk) 

Parahnya tak sedikit yang berpenghasilan pas-pasan—dan pasangannya sudah pula ikut membantu penyokongan kebutuhan—namun tetap enggan memberi perhatian dengan berbagi beban (baca: urusan domestik rumah tangga dalam pernikahan);
saya sering menemukan secara nyata orang-orang di sekitar saya—laki-laki yang berlaku seperti ini terhadap pasangannya. 

Laki-laki dan puan berbeda menyikapi superior-inferior dalam hal berpenghasilan. (Sumber: Pexel | Pavel Danilyuk) 
Laki-laki dan puan berbeda menyikapi superior-inferior dalam hal berpenghasilan. (Sumber: Pexel | Pavel Danilyuk) 

Lebih sedikit melebar, menurut saya, ada alasan konkret mengapa para puan condong memilih laki-laki yang berpenghasilan lebih tinggi dari dirinya sebelum menikah—sekali lagi—saya tidak membahas jumlah nominal. 

Dan tentu saja tak sesederhana kita memaknai secara harfiah kata "matre" atau "realistis"—melainkan ada alasan yang patut dikatakan tidak sembarangan yakni para puan tidak ingin berlagak dikira superior; karena tak semua laki-laki "sudi" mengakui "kelebihan" seorang puan meski penghasilannya nyatanya memang di bawah seorang puan.

Di sini letak bedanya: laki-laki dan puan berbeda memaknai pemaknaan antara superior-inferior.

Pada simpulannya, dengan berpenghasilan tidak lebih tinggi dari pasangannya bagi para puan adalah sebagai "kontrol" untuk tidak menunjukkan superioritas-nya, terlebih lagi jika seandainya si puan berasal dari latarbelakang keluarga yang memiliki pengaruh atau memiliki intelektual yang mumpuni (baca: dengan kata lain calon pasangannya diharapkan setidaknya lebih tinggi penghasilannya dari dirinya)—sementara bagi kebanyakan laki-laki memiliki penghasilan lebih tinggi justeru digunakan sebagai "senjata" terhadap sosok—yang sudah bisa dia pastikan—inferior, yang dalam hal ini pasangannya.

Namun, pada kesudahannya, yang ingin saya katakan adalah dengan memiliki penghasilannya sendiri, laki-laki memiliki modal awal untuk "dihargai" sebagai figur panutan yang bertanggung jawab—alih-alih menunjukkan superioritas.

Sekali lagi—dalam artikel ini—saya tidak menyasar berapa jumlah nominal penghasilan yang harus seorang laki-laki dapatkan sebelum menikah, melainkan lebih menekankan (baca: jika tidak ingin disebut mewajibkan) laki-laki tersebut HARUS memiliki penghasilan.

Memang benar, terkadang semakin tinggi kualitas seseorang maka semakin tinggi pula standar yang dimilikinya—dan pada akhirnya tawar-menawar dalam bentuk negosiasi lah yang akan dilakukan.

Semoga tak kian bertambah anak muda yang kebelet nikah seperti laki-laki muda tadi, yang minim tanggungjawab dasar—bahkan sekadar untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. 

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun