Mohon tunggu...
Karen Jessica Siahaan
Karen Jessica Siahaan Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa -

Tulisan sederhana dari seorang murid yang masih (baru) belajar, semoga bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Remaja Tulen versus ‘Remaja’ Medsos

8 April 2016   07:45 Diperbarui: 8 April 2016   09:53 2577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia dijamin sangat stres dan terpukul, apalagi sampai Ayah yang ia kasihi meninggal dunia. Saya tidak bermaksud membenarkan perbuatan yang dia lakukan, sebab yang dia lakukan itu tidak benar, karena secara hukum, dia melawan lembaga yang berotoritas, dan secara moral ia melawan orang yang lebih tua. Namun saya ingin mengajak kita berpikir secara objektif, bahwa, bila kita mau jujur, dia hanyalah salah satu pelaku (atau bisa kita katakan korban) diantara ribuan orang lainnya.

Diantara ribuan siswa-siswi yang corat-coret dan konvoi, dia hanya salah satunya. Dia hanyalah salah satu orang yang tersorot menggunakan kata ‘beking’ dan memakai nama orang penting untuk menaikkan harga dirinya.

Terlalu banyak, terlalu banyak orang yang seperti itu diluar sana. Mungkin kita, yang turut mengomentari dia atas perbuatannya itu, pernah atau bahkan sering melakukan hal yang sama esensinya, tapi dalam versi yang berbeda. Kebetulan aja dia sedang ‘apes’ karena kasusnya ini tertangkap media dan langsung disebarluaskan, bahkan masuk LINE News Digest, yaitu fitur Media Sosial LINE yang memuat Headline berita, yang secara jelas langsung meraup perhatian jutaan pengguna medsos ini, yang notabene mayoritasnya adalah anak muda juga.

Karena Kultur, Kebiasaan Lingkungan, dan Sentimen Masyarakat ‘Turut Andil’

Bila kita ingin menyalahkan si gadis ‘malang’ dari Medan itu, kita tidak boleh melepas peristiwa yang terjadi dari konteks kultural dan kebiasaan setempat, dalam hal ini, Kota Medan.

Saya pernah tinggal di Medan, dan selama saya disana, saya familiar sekali dengan kata ‘Beking’. Kultur ‘Beking’ itu sangat kental adanya di kota kelahiran saya itu. Sudah sangat lumrah orang menggunakan nama orang yang berpengaruh yang masih merupakan keluarga atau kerabatnya demi menaikkan harga dirinya atau membela diri.

Mulai dari anggar kehebatan nama bapak di sekolah, sampai ancaman saat minta potongan harga saat proses jual-beli, atau bahkan saat melamar pekerjaan. Dan bila semua teman-teman saya di ibukota geger dan geleng kepala karena perkataan si gadis ini, saya cukup prihatin dan sedih ketika saya menyadari bahwa hal ini sudah menjadi hal yang biasa bila dikaitkan dengan Kota Kuliner tersebut.

Kultur ‘Beking’ yang sangat kita benci itu sudah dapat dikategorikan sebagai salah satu penyebab penyimpangan sosial di Ibukota Sumatra Utara, dan banyak tempat-tempat lainnya, yaitu kategori penyebab penyimpangan sosial karena “subkebudayaan meyimpang”.

Subkebudayaan menyimpang adalah ketika kita sudah menjadi terbiasa akan suatu hal, atau bahkan tindakan, yang sebenarnya sudah menyalahi norma dan nilai umum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena kelompok-kelompok didalam masyarakat menggaungkan dan melakukan hal itu secara terus-menerus, sampai-sampai kita merasa terbiasa dan bahkan kurang peka karena hal itu sudah kita lihat dan kita alami sehari-hari.

Kasus ini saya percaya ‘cuma’ merupakan satu kejadian dari jutaan kejadian terselubung yang serupa yang tak terekspos media.

Belum lagi kebiasaan yang ditanamkan di lingkungan. Sudah bukan rahasia lagi kalau orangtua atau kerabat yang memiliki jabatan pada kelompok profesi tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung, cenderung mengingatkan anak-anak mereka dengan kalimat yang kurang lebih terdengar seperti ini “Nak, kalau ada yang berani ganggu-ganggu kau, bilang kau itu anak ________ (sebutkan nama orang penting) yang dari _______ (sebutkan nama jabatan), supaya orang itu jangan cari masalah sama kau” Awalnya hal ini disampaikan dalam artian defensif, yaitu, secara simpel, biar anaknya tidak diganggu-ganggu orang. Tapi, namanya kurang dewasa, terkadang priviledge kerap disalahartikan sebagai akses kepada kesewenang-wenangan. Akhirnya, keadaan bahaya atau ‘gangguan’ yang disebut orangtuanya tadi jadi dapat diinterpretasi secara unlimited, bahkan ketika sebenarnya si anak melakukan kesalahan, diucapkanlah nama Beking itu sebagai ‘tameng sakti’.

Saya menuliskan ini karena saya sangat menyayangkan hal yang gadis itu lakukan. Saya juga adalah seorang siswi yang sedang bersukacita, sebab pada hari yang sama saya juga telah menyelesaikan Ujian Nasional SMA saya. Namun yang paling saya sayangkan bukanlah saat si gadis menyebut-nyebut nama ‘beking’ dalam membela dirinya (yang pada akhirnya menjadi viral), karena bukan itu sumber masalah dan masalah utama. Justru sumber masalahnya, adalah keputusan kecilnya ketika dia memilih untuk ikut konvoi, untuk coret baju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun