Mohon tunggu...
Kayla Maharani
Kayla Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswi

Hanya seorang pemudi yang sangat tertarik dengan psikologi manusia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Awareness Sebagai Alat Peraih Kebebasan Emosional

13 Februari 2025   10:00 Diperbarui: 13 Februari 2025   09:28 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

       Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dari luar. Berinteraksi merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi demi memajukan peradaban serta menggapai kesejahteraan dalam hidup berkelompok. Namun, sebagai makhluk sosial yang sangat bergantung pada manusia lainnya, tidak jarang kita dihadapkan dengan berbagai masalah yang ada, entah berasal dari diri sendiri ataupun orang lain. Ketika dihadapkan dengan masalah, manusia perlu mengambil keputusan. Manusia, sebagaimana makhluk cerdas pada umumnya, memiliki sebuah aspek penting yang konon dapat memberikan pengaruh besar dalam upaya pengambilan keputusan terhadap persoalan tertentu. Aspek ini sering kita sebut sebagai emosi.


       Mengutip dari situs Kemenkeu, emosi adalah pola reaksi kompleks yang melibatkan pengalaman, perilaku dan fisiologis, yang digunakan untuk menangani masalah atau peristiwa penting yang dialami seorang individu. Dalam kata lain, emosi merupakan pola-pola tersembunyi yang lahir dari campuran pengalaman masa lalu, pemahaman akan masa kini dan ketidaktahuan otak kita terhadap masa depan. Tiga hal ini membentuk jarak antara kecerdasan emosional. Setiap individu memiliki tingkat kedalaman emosional yang berbeda-beda, dengan spektrum yang berbeda pula. Namun, apa itu kecerdasan emosional? Apakah definisi dari konsep ini cenderung sama bagi kebanyakan orang? Atau bahkan, pengertian ini pun juga dapat dicampuri oleh budaya, lingkungan atau pengalaman masing-masing individu?


       Kecerdasan emosional menurut Goleman ialah kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri dan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik pada diri serta hubungan orang lain. Dalam buku karangannya yang berjudul "Why Can It Matter More Than IQ?", Goleman menyebutkan 5 indeks kecerdasan emosional, di antara lain adalah: Self awareness, self regulation, self motivation, empathy dan social skills. Uniknya, pada buku ini, self awareness disebutkan terlebih dahulu dibandingkan dengan keempat indikator lainnya. Hal ini menandakan bahwa self awareness merupakan akar untuk membangun kecerdasan emosional, yang nantinya diharapkan mampu memicu empat indeks setelahnya. Bukan berarti tidak penting, namun, ini menunjukkan betapa mendasarnya self awareness tersebut, sehingga kemunculannya pun dapat menjadi langkah awal untuk mencapai kebebasan emosional.


       Lalu, seberapa penting bagi manusia sebagai makhluk yang kaya akan emosi untuk memiliki kesadaran diri? Kesadaran diri adalah sebuah keadaan dimana kita mampu menyelami perasaan dan pikiran. Namun, menurut pengalaman penulis, awareness dapat diartikan lebih daripada itu. Awareness tertinggi tidak hanya didapatkan dari menyadari perasaan dan pikiran, tetapi juga mengetahui pola-pola tersembunyi yang tersimpan rapat pada alam bawah sadar, yang telah tanpa sadar membentuk rutinitas, pola berpikir serta kemampuan dalam melakukan sesuatu. Peristiwa di masa lalu membentuk pemahaman yang terbatas akan dunia, sementara otak manusia yang canggih akan menyesuaikan sistem pertahanan diri yang cocok untuk tubuh inangnya di masa kini, serta menenangkan kecemasan kita terhadap ketidaktahuan kita akan hari esok. Dengan kata lain, perilaku adalah proses tubuh untuk menyesuaikan diri dari berbagai ancaman yang ada dan merupakan cara untuk bertahan hidup. Kemampuan survival ini telah lestari sejak zaman nenek moyang.

       Manusia lebih cepat belajar dari pengalaman pahit yang membekas di kehidupan mereka. Lalu, jika otak berusaha untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi, apakah itu berarti otak kita salah? Apakah otak hanya ingin menyiksa kita dengan terus menerus mengingat pengalaman pahit tersebut? Apakah selama ini kita hidup dalam ilusi bernama trauma dan ketakutan? Tidak. Seluruh prosedur ini telah bekerja sama dengan sangat baik selama berabad-abad dan merupakan cara alami bagi manusia untuk bertahan. Tanpa adanya kemampuan tersebut, manusia tidak akan bisa berkembang atau bahkan lebih parah lagi: dapat mengalami kepunahan. Manusia dianugerahi sebuah alat yang sangat canggih bernama otak, sehingga kita tidak perlu repot-repot memprogram ulang cara untuk bertahan hidup setelah dihadapkan dengan trauma yang berat. Dan oleh karena itu, di sinilah peran self awareness muncul, yaitu untuk memutus rantai pola perilaku yang tidak lagi dapat melayani kita di masa kini.


       Seluruh patterns yang ada pada kehidupan kita, entah itu adalah bagaimana cara kita membangun relasi dengan teman, menghabiskan sebagian waktu atau merespon terhadap kritik merupakan "produk" yang telah diracik sedemikian rupa oleh kognitif kita. Kognitif adalah kemampuan manusia untuk menilai, berpikir dan mempertimbangkan suatu fenomena sebelum akhirnya mewujudkannya menjadi aksi. Awareness membantu kita masuk ke dalam ranah ini dan menyesuaikan pola mana yang harus dibuang serta pola mana yang harus dipertahankan. Misalnya, jika kamu merasa bahwa seluruh orang berpakaian rapi adalah orang yang sudah pasti baik, maka ini adalah hasil daripada pemikiran kognitif. Mungkin saja, dulu ada orang dengan setelan rapi yang selalu memperlakukan kamu dengan baik. Padahal, belum tentu mereka semua memiliki sifat yang sama. Demikian pula jika kamu merasa bahwa seluruh orang dengan penampilan preman adalah orang jahat. Ini juga adalah buah pemikiran kognitif. Mungkin saja, kamu memiliki pengalaman pahit dengan ciri-ciri tersebut, sehingga kamu memiliki reaksi ini. Padahal, pemikiran ini bisa saja salah, tetapi bisa juga benar. Tergantung dengan situasi dan kondisi.


       Sebenarnya, seluruh pemikiran tersebut adalah hal yang wajar, bahkan sangat lazim. Tidak ada yang salah dengan cara kita berpikir. Seluruh pemikiran kita lahir dari percampuran budaya, pengalaman, keluarga dan lingkungan. Tidak jarang juga, pola toxic ini lahir sebagai bentuk pertahanan diri yang cukup efektif bagi kehidupan personal kita. Namun, sebagai manusia dewasa, penting untuk bijak dalam menilai pola seperti apa yang benar-benar melayani kita: mana yang harus diganti dan mana yang tidak. Setelah menguasai kemampuan ini, tanyakanlah pada diri sendiri, apakah seluruh pikiran yang datang di kepala kita harus diubah menjadi aksi? Atau cukup disimpan di dalam kepala saja? Demikian tips-tips ini akan membawa kita kepada kebebasan emosional yang mendalam. Latihlah dan lakukan langkah kecil seperti menulis di jurnal, melakukan refleksi mendalam atau berdiskusi dengan orang terdekat.


       Kesimpulannya adalah, mungkin saja pada saat ini, kita tidak atau belum memiliki kebebasan emosional. Akan tetapi, skill ini bersifat learnable atau mampu dipelajari oleh siapa saja. Pada dasarnya, memang tidak akan ada manusia yang sempurna. Secara alami, hati dan otak kita diciptakan untuk menemukan kecacatan dari suatu sistem. Ini bukanlah suatu hal yang mutlak bersifat buruk, tetapi dapat membawa manfaat jika terus dilatih secara objektif. Banyak karya dan revolusi mental yang tercipta akibat kecanggihan program pada otak kita dalam melihat sebuah kebobrokan dan itu adalah bentuk anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, manfaatkanlah rahmat ini sebagai kelebihan dan jangan jerumuskan akal kita dalam kesesatan. Jangan pula membenci diri sendiri jika kamu merasa pikiranmu penuh dengan ide-ide yang jahat. Selama kamu memiliki kontrol penuh akan dirimu, maka kamu bukanlah orang jahat, melainkan orang dewasa yang bertanggung jawab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun