Mohon tunggu...
Kayla Gea Azzahra
Kayla Gea Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Mahasiswa Ilmu Komunikasi dari Universitas Ahmad Dahlan yang sedang belajar membuat karya artikel

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

menakar program makan bergizi gratis

14 Oktober 2025   10:17 Diperbarui: 14 Oktober 2025   10:15 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi salah satu agenda nasional yang paling banyak diperbincangkan publik. Tujuan awalnya sederhana namun fundamental, yaitu memastikan setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali, mendapatkan asupan gizi yang layak untuk tumbuh sehat dan cerdas. Namun dalam perjalanan, program ini tak luput dari sorotan dan kritik masyarakat. Berbagai aduan publik muncul, mulai dari kualitas makanan yang tidak konsisten hingga dapur penyedia yang belum memenuhi standar.

Di tengah dinamika itu, menarik jika program MBG dilihat bukan sekadar sebagai kebijakan teknis, melainkan juga dari sisi filsafat ilmu, melalui tiga dimensi: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pendekatan ini membantu kita memahami hakikat, pengetahuan, dan nilai yang terkandung dalam program MBG.

Program MBG hadir sebagai wujud nyata dari tanggung jawab negara terhadap pemenuhan gizi rakyatnya, terutama bagi anak sekolah dan ibu hamil. Esensi keberadaannya bukan hanya pada makanan yang dibagikan, tetapi juga pada sistem besar yang menopangnya: dapur penyedia, pengawasan mutu, serta kerja sama lintas lembaga seperti Kementerian Kesehatan, BPOM, dan Badan Gizi Nasional.

Pemerintah berupaya memaksimalkan kualitas dengan menerapkan sejumlah syarat ketat. Setiap dapur MBG, misalnya, wajib memiliki sertifikat halal, memenuhi standar SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi), dan memastikan bahan makanan selalu segar dan layak konsumsi setiap hari. Ini menunjukkan bahwa "ada"-nya MBG bukan sekadar dalam bentuk fisik piring nasi, tetapi juga dalam sistem jaminan mutu yang kompleks.

Namun, di ranah ontologis pula muncul persoalan baru: sejauh mana realitas ideal itu benar-benar terwujud di lapangan? Banyak laporan menunjukkan bahwa dalam praktiknya, tidak semua makanan sampai ke siswa dalam keadaan layak. Ada dapur yang kesulitan memenuhi standar, keterlambatan distribusi, hingga kualitas bahan yang menurun karena rantai pasok yang panjang. Maka, ontologi MBG mencerminkan dua sisi: niat luhur negara untuk menghadirkan gizi merata, dan kenyataan empiris yang menantang di lapangan.

MBG menekankan bahwa makan bergizi bukan hanya soal kenyang, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan gizi dan keamanan pangan diterapkan secara konkret. Program ini dibangun di atas kesadaran ilmiah bahwa makanan yang baik bukan hanya lezat, tetapi juga aman, bergizi, dan dikonsumsi dalam waktu yang tepat.

Dalam praktiknya, mitra penyedia MBG harus memastikan bahwa setiap makanan yang dikirim ke sekolah tidak boleh dikonsumsi lebih dari dua jam setelah proses produksi. Bila lewat dari batas waktu tersebut, pihak sekolah wajib melapor agar makanan baru segera disiapkan. Ini sejalan dengan ilmu gizi dan keamanan pangan yang menyebutkan bahwa makanan yang dibiarkan pada suhu ruang lebih dari dua jam berpotensi menjadi sarang pertumbuhan bakteri.

Untuk itu, mitra MBG juga menetapkan standar ketat: proses pengantaran maksimal 30 menit, dengan jarak tidak lebih dari 5 kilometer dari dapur ke sekolah.. Artinya, epistemologi MBG tak hanya bicara tentang teori gizi, tetapi tentang bagaimana pengetahuan ilmiah diterjemahkan menjadi sistem operasional yang bisa diukur dan diawasi.

Namun, di sinilah letak tantangannya. Bagaimana memastikan bahwa semua mitra dan sekolah memahami serta menerapkan standar itu dengan konsisten? Apakah pelaporan benar-benar akurat, dan bagaimana mekanisme verifikasi di lapangan dilakukan? 

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bagian dari dinamika epistemologis MBG --- sejauh mana kebenaran pengetahuan dalam kebijakan publik bisa diuji dalam realitas sosial.

MBG adalah pengejawantahan dari nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Ia berangkat dari niat baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak usia dini. Anak-anak yang cukup gizi diharapkan tumbuh sehat, cerdas, dan produktif --- menjadi modal masa depan bangsa.

Namun dalam ranah nilai pula muncul ujian. Program besar seperti MBG tak lepas dari kritik publik, terutama ketika muncul persoalan kualitas dapur, distribusi yang terlambat, atau laporan makanan yang basi. Justru di sinilah nilai moral dan etika kebijakan diuji. Pemerintah perlu menunjukkan tanggung jawab, transparansi, dan akuntabilitas agar kepercayaan publik tidak luntur.

Sebagai respon, pemerintah terus melakukan perbaikan: memperketat pengawasan dapur, menambah jumlah tenaga kerja, memperluas jaringan dapur, dan bahkan mempertimbangkan agar mobil pengangkut MBG masuk dalam kategori kendaraan prioritas. Langkah-langkah ini menegaskan bahwa nilai utama MBG bukan sekadar memberi makan, melainkan memastikan setiap suapan membawa rasa aman dan bermakna bagi penerimanya.

Pada akhirnya, MBG adalah cermin dari upaya besar negara untuk menghadirkan kesejahteraan lewat jalur paling dasar: gizi. Secara ontologis, ia adalah realitas kebijakan yang kompleks; secara epistemologis, ia berdiri di atas ilmu dan standar yang ketat; dan secara aksiologis, ia memancarkan nilai moral yang menuntun arah kebijakan publik.

Namun keberhasilan MBG tidak akan ditentukan oleh seberapa besar anggarannya, melainkan seberapa dalam niat baik itu diterjemahkan menjadi tindakan yang nyata dan berkelanjutan. Program ini mengingatkan kita bahwa memberi makan bukan hanya urusan logistik --- tetapi soal keadilan, cinta kasih, dan tanggung jawab bersama untuk membangun generasi yang sehat dan bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun