Kejahatan Kerah putih (White-Collar Crime) merujuk pada tindakan kriminal yang dilakukan oleh individu yang memiliki status sosial tinggi dalam dunia profesional atau bisnis. Kejahatan ini tidak melibatkan kekerasan fisik, melainkan penipuan, penggelapan, dan manipulasi lainnya yang merugikan ekonomi masyarakat dan menciptakan ketidakadilan. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939, seorang sosiolog, yang menganggap bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan oleh individu dengan latar belakang sosial rendah, tetapi juga oleh mereka yang berstatus tinggi dalam masyarakat.
Teori ini berfokus pada kejahatan yang dilakukan oleh individu-individu berstatus sosial tinggi dalam konteks pekerjaan atau bisnis profesional mereka. Kejahatan kerah putih mencakup tindakan yang melibatkan penipuan, penyalahgunaan kepercayaan, atau pelanggaran etika untuk keuntungan finansial atau profesional.
Apa itu Kejahatan Kerah Putih? - Pada dasarnya, istilah ‘White collar crime’ mempunyai pengertian kejahatan kerah putih. Kerah putih merupakan simbol dari jabatan. Pada kemunculannya, kejahatan kerah putih dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan, berpakaian rapi (dengan jas dan kerah putih), sehingga “kerah putih” disimbolkan sebagai jabatan yang melekat oleh orang tersebut.
Albert Morris (1935) Penjahat kelas atas adalah kelompok penjahat yang tidak pernah secara jelas teridentifikasi karena posisi sosial, intelegensia dan teknik kejahatannya membolehkannya untuk dapat bergerak bebas di antara warga masyarakat lainnya, yang tak pelak lagi luput dari sorotan dan punishment sebagai penjahat. Antara masyarakat dan penjahat kelas atas tidak terdapat jurang perbedaan, hanya ada wilayah abu-abu yang membentuk bayangan ketidaksadaran, perbedaan antara hitam dan putih. Di wilayah bayangan tersebut terdapat orang-orang bukan penjahat tetapi yang standar etikanya diragukan. Diantara Mereka juga terdapat orang- orang yang nyaris dapat disebut sebagai penjahat, yang walaupun selalu tunduk hukum, bekerja dengan cara-cara yang menyebabkan penderitaan seperti para pelaku kejahatan konvensional (misalnya: pencopet dan rampok).
Menurut perspektif hukum di indonesia, definisi korupsi secara rinci telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Kerugian keuangan negara
- Suap-menyuap
- Penggelapan dalam jabatan
- Pemerasan
- Perbuatan curang
- Benturan kepentingan dalam pengadaan
- Gratifikasi
faktor penyebab Kejahatan Kerah putih - sebelum masuk pada penyebab kejahatan kerah puthi, terlebih dahulu dibahas mengenai karakteristik kejahatan kerah putih, yakni:
- Dilakukan oleh individu berstatus tinggi, pelaku biasanya adalah individu yang memiliki kedudukan sosial, profesional, atau ekonomi yang tinggi, seperti eksekutif perusahaan, politisi, atau pejabat publik.
- Tidak melibatkan kekerasan fisik, kejahatan ini lebih mengarah pada penipuan atau manipulasi informasi daripada kekerasan fisik.
- Konteks profesional dan bisnis, kejahatan ini terjadi dalam dunia profesional dan bisnis, seperti korupsi, penggelapan, atau penipuan finansial.
- Pelanggaran hukum administrative, hukuman bagi pelaku sering kali berupa denda atau hukuman ringan, bukan penjara, karena biasanya lebih berfokus pada kesalahan administratif.
Teori asosiasi diferensial dari Sutherland menyatakan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi sosial. Dalam konteks kejahatan kerah putih, pelaku sering terpengaruh oleh norma-norma yang ada dalam lingkungan mereka, yang menganggap penyimpangan dari aturan adalah cara untuk mencapai kesuksesan profesional. Selain itu, tekanan untuk meraih keuntungan finansial atau pencapaian target perusahaan juga menjadi faktor pendorong terjadinya kejahatan ini.
Berdasarkan kajian kriminologi, ada 3 penyebab terjadinya kejahatan kerah putih. Penyebab pertama dari segi sejarah, berdasarkan fakta sejarah masa penjajahan Belanda pada era VOC telah terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme besar-besaran. Serikat dagang VOC menjadi bubar karena perilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Perilaku dan situasi KKN pada masa VOC secara tidak langsung mendidik mental bangsa Indonesia ke arah KKN. Teori Differential Association dari Shuterland (1955) menjelaskan bahwa kejahatan itu dapat dipengaruhi oleh lingkungan melalui proses pembelajaran. Suatu ruang lingkup lingkungan yang berbeda (secara norma) membuat suatu kebiasaan baru. Anggota VOC dianggap sebagai orang yang mempunyai jabatan, sehingga dikategorikan sebagai ‘White Collar Crime’.
Penyebab kedua, dari segi budaya. Mantan Wakil Presiden, Moh. Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Seiring dengan perkembangan, budaya korupsi dalam birokrasi juga merambah pada korporasi. Budaya senang memberi, pada salah satu budaya Indonesia menjadi disalahgunakan. Pada era modern, budaya senang memberi ini cenderung mengarah pada suap. Perbuatan suap adalah pemberian sesuatu, baik itu berupa uang atau barang untuk melancarkan tujuan seseorang. Tujuan dari suatu perkumpulan atau persekutuan pada hakikatnya mempunyai landasan filosofis dan ideal. Pada praktiknya, upaya untuk mencapai tujuan itu ternyata dipenuhi banyak kepentingan yang menyebabkan adanya KKN.[3] Masing-masing persekutuan, apapun bentuknya pasti mempunyai tujuan, sebab suatu persekutuan pasti mempunyai visi, misi dan tujuan. Berdasarkan Teori Clinard dan Yeager dengan bertambah luasnya struktur organisasi, maka penyimpangan yang terjadi akan semakin besar. Pada organisasi, orang-orang yang melakukan penyimpangan ini disebut dengan oknum. Oknum dapat berada pada organisasi swasta maupun pemerintah. Kejahatan kerah putih menjadikan penjahat mampu bergerak lebih leluasa daripada penjahat konvensional. Keleluasaan ini dapat dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu sebagai kebebasan melakukan kejahatan dan kekuasaan.