Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bila Merasa Repot, Bertobatlah!

8 Juni 2021   12:40 Diperbarui: 8 Juni 2021   17:14 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: diolah dari postwrap dan cartoonpictures

Katedrarajawen  _Bila ada anak yang merasa repot harus merawat orangtuanya, ini anak kurang ajar namanya. Saya mengatakan hal ini dalam kondisi sadar. Kalau sedang tidak sadar, bisa jadi saya adalah salah satu anak yang kurang ajar itu.

Hari ini saya mendapat berkah yang luar biasa. Kondisi Papa yang lemah karena berbagai masalah penyakit hanya bisa tertidur sehingga dipakaikan pamper agar tidak repot ketika kencing dan berak. 

Namun apa yang terjadi? Sewaktu pagi saya membuka pamper mendapatkan berkah itu. Pamper sudah penuh kotoran. Air kencing dan tahi sudah bercampur. Maaf, bila ada yang merasa jijik. Namun saya tidak harus merasa jijik mengatakan hal ini. 

Saya menarik napas melihat kenyataan. Apakah saya jijik membersihkan? Saya malah tidak sempat untuk merasa jijik. Ketika membersihkan pun tanpa memakai sarung tangan plastik atau karet. Saya lakukan tangan kosong. Saya anggap ini berkah. 

Yang ada muncul rasa penasaran. Kenapa Papa masih betah memakai pamper dalam kondisi ini? 

Saya juga merasa bersalah karena tidak mengecek. Padahal selama menemani saya sudah mengurangi interaksi dunia maya yang biasanya cukup menyita waktu. 

Mungkin saya berpikir selama menemani Papa jarang makan dan minum. Tentu akan jarang pula buang air kecil dan besar. 

Setelah tenang baru saya mulai membersihkan. Mungkin juga Papa tidak begitu sadar sehingga tangannya ikut membersihkan. Hal ini justru semakin merepotkan karena tangannya terkena kotoran cukup banyak.

Untuk  membersihkan saya sampai butuh berlembar-lembar tisu basah. Satu bungkus ukuran besar hampir habis. Benar-benar perlu telaten. 

Kenapa tidak meminta bantuan suster. Ada rasa tidak ingin  merepotkan, selain para suster juga sangat sibuk dengan menangani begitu banyak pasien yang datang silih berganti. 

Pasien penuh sampai di lorong rumah sakit. Papa saya pun terpaksa dirawat di ruang IGD sambil menunggu ruang kamar yang tersedia ketika ada pasien yang pulang. 

Kerepotan belum berhenti. Nah, ini tandanya saya sedang tidak sadar menulis kata "repot". Sudah berapa kali? Sungguh anak kurang ajar. 

Siang hari Papa kembali berak. Saya berpikir pasti tidak akan separah pagi kondisinya. Namun tetap penasaran dengan kenyataan yang ada. Pamper penuh kotoran, padahal sejak pagi Papa hanya makan  bubur kacang hijau dan roti tawar dengan porsi mini. 

Kali ini saya yang berusaha meminta Papa tenang dan diam agar membiarkan  saya yang membersihkan kotoran yang hitam dan lengket yang bila dipandang sekilas sangat jijik. 

Saya berusaha melap dengan pelan sampai bersih seluruh bagian pantat dan bagian sekitar alat vitalnya dalam kondisi telanjang. 

Seperti saya bilang saya tidak sempat berpikir jijik atau geli. Saya pikir ini malah berkah. Kapan lagi punya kesempatan seperti ini?

Saya jadi ingat seorang teman yang sampai sekarang masih menitikkan air mata menyesal tidak bisa menemani dan merawat Papanya di rumah sakit karena terkena Covid-19. 

Oleh sebab itu waktu saya menceritakan hal ini ia mengatakan saya harus bersyukur bisa melakukan apa yang tidak bisa ia lakukan. 

Berkah itu kembali hadir saat menjelang malam. Belajar dari yang sudah terjadi dua kali sebelumnya kali ini saya lebih cepat membersihkan. 

Di saat membersihkan saya mendengar Papa mengatakan  bahwa kondisinya jadi bikin repot. 

Kata-kata yang diucapkan sangat pelan, tetapi demikian tajam menusuk hati. Diam-diam saya bertanya pada diri sendiri. 

"Apanya yang repot?  bertanya balik saya dan menambahkan, "kalau Papa mau berak ya berak aja. Gak ada masalah. "

Saya berusaha bersikap kembali ke jalan yang benar. 

Saya pikir dalam urusan merawat orangtua sebagai anak memang tidak selayaknya merasa repot. Tidak pantas.

Saya harus mengatakan bila saat ini ada anak yang sampai  merasa repot harus mengurus orangtua karena kondisi fisik atau sakit, bertobatlah dan kembali ke jalan yang benar.

Tak apa bila ada yang menghujat  saya sok bijak, tetapi paling tidak kata-kata yang saya tulis ini  telah  menusuk hati saya sehingga mengalirkan air mata. 

@cermindiri 08 Juni 2021 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun