Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adakah yang Mampu Mengalahkan dan Merendahkan?

16 Desember 2017   09:41 Diperbarui: 16 Desember 2017   15:03 3763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di status Facebook Gobind Vashdev menulis kata-kata:

"Belajarlah mengalah  sampai tidak ada seorang pun yg bisa mengalahkanmu. Belajarlah merendah sampai tak satu pun yg bisa merendahkanmu."

Zaman now disuruh mengalah? Sudah tidak zaman lagi mengalah. Kalau sering-sering mengalah nanti malah ditelan zaman. Mengalah itu adalah kebodohan. Begitu prinsip yang dipegang pada zaman now.

Demi untuk tidak mengalah saling sikat dan sikut. Seruduk sana seruduk sini. Main curang terang-terangan bukan hal yang bikin heran.

Semua sibuk berdebat, agar jadi pemenang. Memutarbalikkan fakta dan kata-kata kasar meluntur jadi senjata untuk saling mengalahkan. Ego yang paling di depan. Soal mengalah sudah urusan ke sekian.

Sekarang anak-anak  yang diajarkan menjadi pemenang tidak peduli dalam hal yang positif atau negatif. Kalau anak mengalah malah dikatai bodoh.

Kalaupun bisa mengalah tak lebih karena takut atau tidak mau banyak urusan. Bisa juga mengalah karena memandang status seseorang atau karena rasa segan.

Sama halnya dalam urusan merendah _rendah hati_ susahnya minta ampun. Semua maunya menonjolkan diri. Semua merasa dirinya yang paling berjasa.

Bila ada keberhasilan semua unjuk diri. Namun bila kegagalan semua sembunyi. Bagaimana ceritanya mau belajar rendah hati? Kalau ada, seperti saya ini, paling hanya bisa merasa rendah hati. Padahal sebenarnya rendah diri.

Jadi bagi saya pribadi, kata-kata pembuka di atas walaupun terbaca sederhana, namun berharga bagaikan mutiara. Mencermati perilaku diri, memang sudah saatnya untuk berbalik arah. Belajar mengalah dan rendah hati seperti layaknya anak TK yang baru mulai belajar di sekolah kehidupan.

Mengalah sampai tidak ada yang bisa mengalahkan. Sederhana tetapi tidak sesederhana dalam pemahaman.

Hari-hari kekinian banyak pertikaian,pertengkaran dan kekacauan dalam segala aspek kehidupan lebih karena tidak ada yang mau mengalah. Gengsi. Namun sebenarnya karena lemahnya pengendalian diri.

Tombol ego atau emosi mudah tertekan. Mana ingat lagi kalau sudah emosi urusan mengalah?

Memahami hal ini jadi sebenarnya yang harus dikalahkan itu adalah ego. Bila ego sudah besar, hal kecil saja sudah membuat emosi setinggi langit.

Yang perlu diubah juga adalah persepsi tentang mengalah itu sendiri. Selalu ingat diri bahwa mengalah itu bukanlah kekalahan dan kelemahan.Sebaliknya bisa mengalah itu adalah kekuatan.

Ketika kekuatan itu sudah menjadi karakter tentu tidak ada lagi orang atau keadaan yang bisa mengalahkan. Memang wajib belajar ilmu mengalah ini, sehingga menjadi landasan kehidupan. Ketika ambisi untuk selalu menjadi pemenang sebagai rebutan, maka akan melihat semua itu dalam senyuman di dalam hati yang mengalah.

Dalam urusan rendah hati bisa sungguh-sungguh merendah itu adalah ketulusan yang memerlukan ilmu tinggi. Kenyataannya benih-benih kesombongan tumbuh di dasar hati yang sewaktu-waktu akan berkembang.

Ada pengajaran yang bagus sekali untuk melatih diri memiliki kerendahan hati. Memahami bahwa segala kebaikan dan keberhasilan yang kita lakukan semata-mata karena berkat dan karunia Tuhan.

Setiap kali ada yang memuji atau mengucapkan terima kasih merasa sungkan untuk menerima sambil mengucapkan,"Semua berkat karunia Tuhan Yang Mahamengasihi."

Ini adalah salah satu cara mengikis benih-benih keangkuhan yang mudah tumbuh di dalam diri yang menjadi penghalang berkembangnya benih kerendahan hati.

Adakah yang masih mampu merendahkan bila sudah mampu untuk selalu berada di kerendahan hati? Penghinaan tak akan lagi membuat melakukan kehinaan.

Pesimis? Bukankah Tuhan sudah mengkaruniakan semua benih kebaikan di dalam diri setiap insan ciptaan-Nya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun