Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Olok-olok Menjadi Kekuatan

13 Desember 2011   13:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:21 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Orang yang berpikiran positif dan berjiwa besar, pasti bisa menemukan sebuah kekuatan dibalik olok-olok yang datang padanya.

#
Tentu olok-olok berbeda dengan kritikan. Karena olok-olok memang tujuannya untuk meremehkan atau menghina. Selain itu olok-olok juga bertujuan untuk mempermalukan.

Olok-olok memang menyakitkan bila kita tidak kuat mental menghadapinya. Bahkan olok-olok dapat membuat kita kehilangan muka, gairah, dan dendam.

Khususnya dalam dunia menulis. Apakah kita pernah diolok-olok? Saat pertama kali menulis dengan penuh semangat dan segala kemampuan yang ada. Dalam angan sudah terbayang pujian akan datang.

Namun apa yang terjadi? Ternyata hanya olok-olok yang ada. "Tulisan apaan ini? Gak ada bagusnya. Cocoknya buang ke tong sampah tuh!"

"Bagus sih tulisannya. Kalau yang baca monyet!"

"Kayak tulisan anak TK aja!"

"Tulisan gak ada isinya!"

Apa reaksi kita bila menerima olok-olok seperti di atas? Langsung terprovokasi dan berhenti menuliskah? Bila itu terjadi, kita akan menjadi gagal sebelumnya.

Terhadap olok-olok seharusnya kita tertantang untuk membuktikan. Bukannya termakan. Bahwa kita tidak seperti yang dikatakan.

Olok-olok adakalanya memang menyakitkan. Tetapi lebih menyakitkan lagi. Bila olok-olok itu menyakiti hati kita dan berhenti menulis.

Saat awal-awal menulis di Kompasiana. Saya diolok-olok menulis seperti minum obat saja. Sempat juga membaca olok-olok bahwa saya getol menulis demi untuk menjadi kompasianer teraktif. Dengan demikian bisa nampang terus di halaman depan Kompasiana ketika itu.

Padahal saat itu terpikirkan pun tidak untuk menjadi yang teraktif. Olok-olok itu kemudian tidak terbukti, justru menjadi kekuatan untuk terus menulis. Bahkan pada saat kolom penulis teraktif ditiadakan.

Gairah menulis tidak terpengaruh sama sekali saat kolom penulis tidak diaktifkan lagi di halaman depan Kompasiana.

Sebuah olok-olok yang dilontarkan orang yang iri atau tidak bertanggung jawab. Bisa menjadi racun mematikan bila disikapi secara negatif. Tetapi olok-olok bisa menjadi kekuatan bagi kita bila disikapi dengan positif.

Di dunia menulis. Apalagi diterbitkan di media online. Semestinya kita menyiapkan mental yang bisa menerima segala keadaan seburuk apapun. Dari kritikan pedas, olok-olok sampai caci-maki,

Sebab semua itu bisa membuat kita lebih tertantang dan melahirkan kekuatan untuk menulis semakin baik berkembang lagi.

Jadi, mengapa harus takut terhadap olok-olok? Teruslah menulis sebaik yang bisa kita lakukan adalah pilihan terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun