Di tengah arus transformasi digital yang semakin deras, pendidikan seharusnya menjadi salah satu sektor yang paling diuntungkan. Namun kenyataannya, digitalisasi justru menciptakan jurang baru, jurang ketimpangan akses pendidikan yang semakin menganga, terutama bagi anak-anak di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Kemajuan teknologi yang semestinya menjembatani kesenjangan justru mempertegas kesenjangan yang telah lama membayangi sistem pendidikan Indonesia.
Pemerintah memang telah berupaya melakukan pemerataan melalui berbagai kebijakan, seperti program digitalisasi sekolah dan integrasi teknologi dalam kurikulum. Namun, implementasi kebijakan tersebut belum sepenuhnya merata. Data menunjukkan sekitar 30% sekolah di wilayah terpencil masih belum memiliki akses internet memadai. Infrastruktur teknologi yang terbatas, perangkat digital yang minim, dan keterbatasan ekonomi keluarga menjadi penghambat utama partisipasi siswa dalam pembelajaran daring.
Bukan hanya itu, kesenjangan literasi digital antara kota dan desa juga memperburuk keadaan. Banyak guru dan siswa di daerah belum terbiasa menggunakan teknologi secara optimal. Akibatnya, program-program seperti kurikulum baru yang memasukkan pelajaran koding dan kecerdasan buatan terasa timpang dan hanya dapat dinikmati segelintir pelajar di kota besar yang memiliki fasilitas lengkap dan guru yang lebih siap.
Masalah ini ternyata lebih dari sekadar soal teknologi. Ia menyentuh ranah keadilan sosial dan hak dasar anak-anak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Ketika sebagian anak bisa belajar dengan tablet dan akses internet tanpa batas, anak-anak lain harus berjalan jauh ke desa sebelah hanya untuk mencari sinyal. Kesenjangan ini bukan hanya menghambat proses belajar, tetapi juga menurunkan semangat dan bahkan menyebabkan banyak anak putus sekolah.
Jika kesenjangan ini dibiarkan, Indonesia tidak hanya akan menghadapi tantangan pembangunan sumber daya manusia yang timpang, tetapi juga ketidakadilan sosial yang mengakar di masa depan. Anak-anak yang tertinggal hari ini akan menjadi generasi yang tersisih besok.
Sudah saatnya pemerintah lebih serius dalam menghadirkan pemerataan akses pendidikan digital. Program bantuan perangkat harus disesuaikan dengan kebutuhan riil di lapangan, bukan hanya sekadar simbol kebijakan. Pelatihan literasi digital untuk guru dan siswa, infrastruktur jaringan internet di wilayah 3T, serta pemantauan pelaksanaan program perlu menjadi prioritas. Tanpa intervensi konkret dan merata, digitalisasi pendidikan justru bisa menjadi alat diskriminasi baru.
Digitalisasi seharusnya menjadi pintu masuk menuju masa depan pendidikan yang lebih inklusif dan adil. Namun untuk itu, kita semua, pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan, harus bersama-sama menjamin bahwa setiap anak Indonesia, di mana pun mereka berada, mendapat kesempatan yang sama untuk belajar dan tumbuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI