Mohon tunggu...
Katalis Institute
Katalis Institute Mohon Tunggu... Goresan pena lebih tajam dari pisau belati

Belajar membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tanah Kas Desa: Bom Waktu Konflik Agraria di Pedesaan

6 September 2025   20:43 Diperbarui: 6 September 2025   20:43 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Aziz Muslim Haruna 

Desa, sebagai unit pemerintahan terkecil, memegang peran sentral dalam pembangunan nasional. Ia adalah cerminan dari kemandirian dan kesejahteraan masyarakat yang sejati. Namun, di balik potensi yang melimpah, terbentang pula tantangan besar, salah satunya adalah pengelolaan Tanah Kas Desa (TKD). Kekayaan desa yang seharusnya menjadi pilar ekonomi untuk menopang kemandirian, sering kali justru menjadi sumber konflik dan praktik korupsi. Paradoks ini menciptakan krisis tata kelola yang sistemik, di mana TKD, alih-alih melayani kepentingan publik, justru disalahgunakan oleh segelintir elite lokal. Fenomena ini bukan lagi anomali, melainkan gejala dari masalah yang lebih dalam.

Secara harfiah, TKD adalah barang milik desa yang berasal dari kekayaan asli desa. Ini merupakan aset yang dimiliki secara mutlak oleh desa dan memiliki fungsi vital sebagai sumber Pendapatan Asli Desa (PADes) serta untuk kepentingan sosial. Terdapat beragam jenis tanah yang dapat diklasifikasikan sebagai TKD, yang akarnya terentang jauh dalam sejarah tata kelola agraria desa. Dua jenis tanah yang paling sering menjadi perbincangan adalah tanah bengkok dan titisara.

Secara historis, tanah bengkok adalah tanah yang disediakan sebagai kompensasi atau penghasilan bagi Kuwu (Kepala Desa) dan Pamong Desa selama mereka menjabat. Sementara itu, tanah titisara adalah tanah yang hasilnya secara spesifik diperuntukkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan. Perbedaan historis inilah yang menjadi pangkal masalah tata kelola TKD di era modern. Persepsi lama yang menganggap tanah bengkok sebagai hak pribadi atau tunjangan yang melekat pada jabatan perangkat desa masih sangat kuat. Mentalitas "hak" ini, yang bertentangan dengan amanat UU Desa, menciptakan konflik kepentingan dan menjadi pemicu utama praktik penyalahgunaan, seperti penyewaan ilegal atau alih fungsi tanpa persetujuan yang sah.

Untuk mengatasi konflik antara persepsi tradisional dan kebutuhan modern, pemerintah telah menerbitkan dasar hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan turunannya, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Beleid ini secara tegas mengatur bahwa hasil pengelolaan TKD harus dimasukkan ke dalam APBDes sebagai PADes, yang berarti TKD adalah aset publik, bukan milik pribadi perangkat desa.

Regulasi ini terus berkembang. Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 kemudian diubah dengan Permendagri Nomor 3 Tahun 2024. Perubahan ini sangat signifikan karena secara eksplisit mengatur prosedur tukar menukar (land exchange) tanah desa untuk proyek strategis nasional, kepentingan umum, atau bahkan kepentingan desa sendiri. Peraturan ini berupaya mempercepat proses tukar menukar TKD untuk proyek berskala besar. Namun, terdapat celah yang berpotensi disalahgunakan. Nilai penggantian yang "wajar" dan "menguntungkan desa" harus ditentukan oleh penilai independen. Jika proses ini tidak diawasi dengan ketat, manipulasi nilai penggantian dapat terjadi, yang membuka pintu bagi modus korupsi modern. Dengan demikian, regulasi yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan juga dapat menjadi sarana baru bagi penyelewengan jika tidak dibarengi dengan transparansi yang maksimal.

Tanah Kas Desa memiliki peran vital sebagai sumber Pendapatan Asli Desa (PADes), yang memungkinkan desa membiayai pembangunan dan layanan dasar tanpa sepenuhnya bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Ketergantungan kronis pada Dana Desa (DD) yang berasal dari APBN dapat melumpuhkan inisiatif lokal dan kreativitas desa dalam mengelola sumber dayanya sendiri. PADes menjadi indikator utama kemandirian ekonomi suatu desa.

Namun, terdapat kesenjangan drastis antara potensi dan realitas. Data menunjukkan bahwa kontribusi PADes terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) masih sangat minimal, dengan rata-rata di bawah 10%. Ini adalah gambaran masif dari kegagalan tata kelola TKD. Kesenjangan ini menciptakan ketergantungan kronis, yang pada gilirannya mengurangi insentif bagi perangkat desa untuk mengoptimalkan aset mereka. Ketika dana dari pusat sudah mengalir, godaan untuk mengelola TKD secara transparan dan akuntabel menjadi pudar.

Kondisi ini sangat kontras dengan kisah sukses desa yang berhasil. Contohnya adalah Desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang, yang berhasil menyulap aset desa menjadi Desa Wisata dengan mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Melalui inovasi ini, PADes mereka melonjak drastis dari Rp30-40 juta menjadi lebih dari Rp1,3 miliar per tahun. Studi kasus ini membuktikan bahwa TKD dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang kuat, asalkan dikelola dengan visi, akuntabilitas, dan komitmen yang benar-benar berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Modus penyalahgunaan TKD yang paling merugikan adalah alih fungsi dan penjualan ilegal, seperti yang terjadi di sokobanah, Sengketa tukar guling TKD di Dusun Batu Lenger, Desa Bira Tengah melibatkan Kades Martuli dan warga Haryani (ahli waris Mitoek Hadai). Pada 2017 Pengadilan Negeri Sampang memutus lahan seluas sekitar 2,8ha tersebut milik Haryani (ahli waris), dan dinyatakan bersertifikat atas namanya. Namun pada 2019 Kades Martuli dan Plt. Kades Mustofa diduga melakukan tukar-menukar tanah percaton (TKD) secara ilegal (menurut notaris dengan akta palsu), sehingga Martuli dilaporkan atas penyerobotan TKD. Martuli lalu menuntut balik Mustofa karena diduga membuat keterangan palsu dalam akta tukar guling tersebut. Pada Oktober 2019 Polres Sampang bersama BPPKAD memasang garis polisi di tanah sengketa (2.450m) sebagai langkah penyidikan. Hingga 2025 perkara ini masih dalam proses (penyidikan Polres dan perdata PN Sampang: Reg. No.2/Pdt.G/2025) tanpa vonis inkrah. Kerugian negara/desa berupa hilangnya pengelolaan TKD seluas 2,8ha; meskipun sampek sekarang belum ada angka kerugian keuangan yang diumumkan secara resmi namun ini menunjukkan betapa semarawutnya pengelolaan TKD yang ada di sampang.

TKD juga rentan menjadi "bancakan politik," yaitu sumber dana informal untuk membiayai kontestasi politik di tingkat lokal. Meskipun biaya Pilkades seharusnya diatur oleh pemerintah kabupaten , realitasnya menunjukkan bahwa TKD seringkali digunakan sebagai "uang di bawah meja" untuk membiayai kampanye atau memuluskan kepentingan elite lokal. Jika TKD menjadi alat untuk memenangkan Pilkades, maka hasil dari pengelolaannya tidak akan pernah dinikmati oleh masyarakat. Sebaliknya, pendapatan dari TKD akan dialirkan kembali untuk mengembalikan "modal politik" para elite , memperkuat oligarki desa, dan menciptakan siklus korupsi yang tak berujung.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga yang seharusnya menjadi "mata dan telinga" masyarakat dalam mengawasi kinerja kepala desa. Namun, dalam praktiknya, fungsi pengawasan ini sering tidak berjalan optimal. Terdapat beberapa kendala struktural yang melemahkan BPD, di antaranya adalah rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM). Anggota BPD seringkali tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai tata kelola keuangan dan aset desa, yang membuat pengawasan mereka tidak efektif.

Selain itu, BPD seringkali terjebak dalam pusaran politik desa yang kompleks. Hubungan kekeluargaan atau "rasa kekeluargaan" yang terlalu dekat antara BPD dan perangkat desa membuat pengawasan menjadi tidak objektif dan berat sebelah. BPD memiliki mandat hukum untuk mengawasi, tetapi secara struktural dan operasional mereka tidak diberi daya untuk melakukannya, sehingga mereka menjadi "macan ompong". Lemahnya BPD ini menyebabkan mereka tidak mampu menindaklanjuti penyimpangan yang terjadi, yang pada akhirnya meniadakan fungsi kontrol internal di tingkat desa.

Di tingkat kabupaten, Inspektorat memiliki peran strategis sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) untuk membina dan mengawasi pengelolaan keuangan desa. Namun, wewenang mereka seringkali terbatas. Inspektorat kerap hanya memberikan rekomendasi perbaikan tanpa mampu memberikan sanksi yang tegas. Akibatnya, sistem akuntabilitas tanpa konsekuensi tercipta. Para perangkat desa yang nakal tidak merasa terancam, karena mereka tahu bahwa sanksi yang paling berat sekalipun hanya berupa rekomendasi, bukan tindakan hukum yang mengikat.

Ini adalah titik lemah sistemik di tingkat kabupaten yang memungkinkan korupsi di desa merajalela. Inspektorat tidak memiliki "gigi" untuk memaksa perubahan, yang secara efektif memberikan 'lampu hijau' bagi para pelaku untuk melanjutkan praktik mereka, karena mereka tahu risikonya minimal.

Langkah pertama dan paling fundamental untuk mengatasi masalah TKD adalah melakukan inventarisasi dan sertifikasi ulang secara menyeluruh. Program seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digalakkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah kunci untuk memberikan kepastian hukum. Tanpa kepastian hukum melalui sertifikasi yang jelas, sulit untuk menentukan luas, batas, dan status kepemilikan TKD. Dengan demikian, upaya audit, transparansi, dan pencegahan alih fungsi ilegal menjadi tidak mungkin. Sertifikasi bukan sekadar prosedur administratif, tetapi fondasi bagi setiap perbaikan tata kelola di tingkat desa.

Transparansi adalah kunci untuk membangun kepercayaan. Kontrak sewa TKD harus diumumkan secara transparan kepada publik. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui tujuan, sasaran, dan hasil pengelolaan aset desa. Di samping itu, penting untuk melibatkan lembaga pengawas eksternal. Di satu sisi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki wewenang untuk mengaudit dana desa yang berasal dari APBN. Namun, wewenang mereka terhadap pengelolaan TKD yang merupakan PADes masih seringkali tidak spesifik, menciptakan "ruang kosong" pengawasan. Ruang ini harus diisi oleh auditor independen, termasuk dari lembaga nonpemerintah, yang berfokus pada aset desa.

Mengalihkan pengelolaan TKD ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) memiliki potensi besar untuk meningkatkan akuntabilitas dan profesionalisme. BUMDes dapat menjadi entitas yang lebih fokus pada optimalisasi aset untuk menghasilkan keuntungan bagi desa. Namun, ini bukanlah jaminan keberhasilan. Kasus-kasus korupsi yang terjadi di BUMDes, seperti di Desa Trosobo, Sidoarjo dan BUMDes Berjo, Karanganyar , menunjukkan bahwa BUMDes sendiri dapat menjadi wadah baru untuk korupsi jika tidak dibarengi dengan tata kelola yang baik, SDM yang kompeten, dan pengawasan internal yang kuat. BUMDes hanyalah mekanisme; keberhasilannya sangat bergantung pada integritas dan kompetensi para pengelolanya

Tanah Kas Desa bukan sekadar sebidang tanah; ia adalah jiwa dari kemandirian desa, pilar ekonomi, dan warisan untuk generasi mendatang. Namun, keberadaannya kini di ambang kehancuran, terperangkap dalam pusaran korupsi dan penyalahgunaan yang terstruktur. Mengembalikan kedaulatan TKD ke tangan rakyat bukanlah tugas yang mudah. Ia membutuhkan tindakan yang holistik, dimulai dari fondasi paling dasar seperti sertifikasi ulang, hingga langkah-langkah strategis seperti transparansi, audit independen, dan pengalihan pengelolaan ke entitas yang lebih profesional. Yang terpenting, ini membutuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun