Selanjutnya, Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 100.3.5.5/2625/SJ yang mengarahkan penundaan Pilkades juga sering dijadikan sandaran. Padahal, berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, SE tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum bagi pemerintah daerah atau masyarakat, melainkan instrumen kebijakan administratif internal. Meskipun SE ini memiliki pengaruh politis dan administratif yang signifikan, ia tidak dapat menciptakan larangan absolut yang mengalahkan amanat UU.
Alasan lain yang muncul adalah perlunya merevisi Peraturan Bupati (Perbup) Sampang Nomor 27 Tahun 2021 agar selaras dengan UU Desa yang baru. Kebutuhan revisi ini adalah fakta, namun ini merupakan kewajiban internal Pemkab Sampang dan bukan alasan pembenar untuk menunda Pilkades tanpa batas waktu. Asas lex superior derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah) berlaku, di mana ketentuan Perbup yang bertentangan dengan UU baru otomatis tidak berlaku. Kelalaian atau kelambanan dalam merevisi peraturan lokal tidak bisa dijadikan tameng untuk menunda hak demokrasi warga.
Ironisnya, Pemkab dan DPRD Sampang sebelumnya telah menyetujui alokasi anggaran Pilkades 2025 sebesar Rp 23 miliar. Komitmen anggaran yang signifikan ini menunjukkan adanya perencanaan dan niat awal untuk menyelenggarakan Pilkades. Fakta ini membuat argumen-argumen yuridis yang muncul belakangan terkesan kurang tulus atau sebagai justifikasi yang dicari-cari. Pemkab Sampang memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memfasilitasi hak demokrasi warganya , sebuah tanggung jawab yang seharusnya lebih diutamakan ketimbang kendala prosedural yang masih bisa diperdebatkan.
Alokasi anggaran sebesar Rp 23 miliar sebelum munculnya argumen yuridis baru untuk penundaan mengindikasikan bahwa kekhawatiran hukum tersebut kemungkinan tidak diantisipasi (menunjukkan kurangnya kesiapan hukum) atau digunakan secara oportunistik untuk membenarkan penundaan yang mungkin diinginkan karena alasan lain yang tidak diungkapkan. Disparitas antara komitmen finansial awal dengan alasan penundaan yang muncul kemudian membuat dalih hukum tersebut tampak kurang sebagai kendala nyata, melainkan lebih sebagai alasan yang nyaman. Selain itu, argumen bahwa Pemkab hanya "mematuhi peraturan yang lebih tinggi" dengan menunggu PP/Permendagri , meskipun tampak patuh, bisa juga merupakan langkah strategis untuk melimpahkan akuntabilitas ke pemerintah pusat. Ini memungkinkan pejabat lokal untuk menghindari tanggung jawab langsung atas penundaan yang tidak populer. Kelemahan argumen yuridis ini juga menyiratkan bahwa Pemda Sampang mungkin lebih memprioritaskan formalitas prosedural atau kenyamanan administratif daripada hak-hak demokrasi substantif warganya, mencerminkan pola pikir birokratis yang dapat merugikan tata kelola pemerintahan yang responsif.
Mengurai Benang Kusut Krisis Komunikasi Pemda Sampang
Jika ditelaah melalui kacamata teori komunikasi krisis, penanganan isu Pilkades oleh Pemda Sampang menunjukkan sejumlah kegagalan fundamental. Pertama, terjadi kegagalan dalam aspek transparansi dan kejujuran. Narasi yang berubah-ubah dan justifikasi yang dirasa lemah bertentangan dengan prinsip "kejujuran dan keterbukaan informasi untuk mengurangi rumor," salah satu kunci komunikasi efektif di masa krisis menurut Seeger. Kedua, Pemda Sampang gagal memposisikan diri sebagai sumber informasi yang kredibel. Inkonsistensi dalam penyampaian alasan merusak kredibilitas institusi, padahal sumber informasi yang kredibel adalah kunci utama lainnya dari Seeger.
Ketiga, terlihat buruknya kontrol dan konsistensi pesan. Pemda Sampang tampak kehilangan kendali atas narasi yang berkembang, sebuah tantangan yang sering dihadapi Humas pemerintah dalam situasi krisis. Keempat, terjadi kegagalan dalam mengelola ekspektasi publik. Prinsip-prinsip pengelolaan ekspektasi, seperti "menjanjikan kualitas layanan lebih rendah dari yang sebenarnya bisa diberikan" atau "menjaga konsistensi" , jelas tidak diterapkan. Sebaliknya, Pemda menciptakan siklus harapan dan kekecewaan. Kelima, minimnya empati dan dialog yang genuin. Protes massa mengindikasikan komunikasi yang cenderung monolog dari Pemda, bukan dialog yang melibatkan pendengaran empatik.
Kegagalan-kegagalan komunikasi ini secara signifikan memperburuk krisis. Dampaknya meliputi erosi kepercayaan publik, sebagaimana teori komunikasi krisis menekankan pentingnya transparansi untuk membangun kepercayaan. Terciptanya vakum informasi yang kemudian diisi oleh "isu miring" dan spekulasi , rusaknya reputasi dan legitimasi Pemda, serta meningkatnya tensi sosial yang berpotensi menimbulkan konflik lebih lanjut. Respons Pemda Sampang dapat dikategorikan sebagai strategi "penyangkalan" (denial) atau "mencari alasan" (excuse) dalam terminologi Coombs mengenai strategi pemulihan citra , yang seringkali tidak efektif dalam membangun kembali kepercayaan.
Pelanggaran terhadap berbagai prinsip inti komunikasi krisis secara simultan ini menunjukkan adanya masalah yang lebih mendasar, yakni kesalahpahaman atau pengabaian terhadap praktik terbaik komunikasi krisis pada level institusional. Kegagalan mengelola ekspektasi publik secara efektif telah mengubah tantangan administratif (penyesuaian terhadap undang-undang baru) menjadi krisis kepercayaan penuh. Dengan tidak mempersiapkan publik untuk kompleksitas atau potensi penundaan sejak awal, Pemda membiarkan harapan tumbuh, sehingga kekecewaan berikutnya menjadi lebih merusak. Model komunikasi yang tampaknya satu arah dan reaktif, sebagaimana tercermin dari perlunya protes untuk menyuarakan keprihatinan dan saran dari Ketua AKD , bertentangan dengan komunikasi sektor publik modern yang menekankan dialog dan responsivitas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI