Namun, sekali lagi amat sangat disayangkan. Terlalu banyak oknum yang malah memanfaatkan buzzer demi melancarkan akal bulusnya dan rela masyarakat terpolarisasi diatas ketidakpastian dan ketidaktahuan. Pemerintah cenderung memilih jalan praktis dibandingkan memilih jalan berproses yang panjang untuk mencerdaskan masyarakatnya.
Disaat ada kekuasaan untuk menjalin persatuan seluruh rakyat Indonesia, tapi malah memilih jalan kehancuran dan penghamburan masyarakat.
Mereka memang peduli akan persatuan, tapi persatuan akan golongannya dan kolega-koleganya. Membuat masyarakat terpolarisasi adalah hobinya. Dikutip dari ICW bahwa total anggaran belanja pemerintah pusat sebesar total Rp 90,45 M untuk aktivitas yang melibatkan influencer/buzzer selama 4 ta
hun kebelakang. Kemudian untuk aktivitas digital yang meliputi kampanye digital, media online dan kampanye digital yang tidak menutup kemungkinan pastinya melalui portal media sosial, pemerintah pusat sudah menghabiskan sekitar Rp 1,29 T dari total anggaran belanja (ICW, 2020).
Buzzer seharusnya dapat menjadi wadah dalam pergerakan peradaban masyarakat Indonesia yang lebih terstruktur, masif dan sistematis dengan objektif kemandirian, kemajuan yang positif dan progresif. Penyebaran informasi terkait kebijakan terkini pemerintah, keadaan kondisi nasional dan internasional, pendidikan dan teknologi serta hal-hal yang seharusnya merupakan informasi yang bukan “hoaks” atau “kepentingan golongan” dapat disebarkan dan menjadi pengetahuan bagi masyarakat.
Mungkin dengan adanya buzzer justru ruang diskusi terbuka lebar, bukan malah dengan hadirnya buzzer ruang ediskusi dipersempit karena opini dari masyarakat/netizen bersebrangan dengan informasi yang disebarkan oleh buzzer. Apalagi dengan hadirnya UU ITE, buzzer kebal akan hal tersebut, tapi tidak dengan masyarakat biasa yang mencoba menyuarakan dalam bentuk kritikan maupun saran kepada pemerintah atas suatu kebijakan atau informasi yang diterimanya.
Masyarakat semakin ditutup ruang berdemokrasi dan ruang bermusyawarah untuk meraih persatuan, tapi tidak dengan buzzer yang semakin bebas melalang buana. Pada tahun 2020, ada 84 kasus pemidanaan warganet di mana 64 di antaranya terkena jerat UU ITE. Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas, menuturkan dalam praktiknya banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat dan pemodal (CNN, 2021).
Di era disrupsi 4.0, apalagi saat ini kita sedang menghadapi pandemi global covid-19. Sudah seharusnya masyarakat saling bersatu dan bersama. Bukan malah saling sikut sana sikut sini demi kepentingan pribadi.
Koreksi dan kritik mendalam juga kepada aparat pemerintahan yang memiliki wewenang besar, seharusnya sadar akan kewajiban yang besar juga. Masyarakat yang semakin terpolarisasi sudah seharusnya bisa disadarkan dan satukan untuk kepentingan bersama serta dapat diberikan contoh yang tepat.
Disaat yang lain kesulitan, oknum pemerintah malah memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi. Hal ini sangat disayangkan ketika negara Indonesia menjunjung demokrasi yang akan kembali lagi kepada rakyat, namun pada praktiknya semua itu kembali lagi ke kepentingan penjabat dan segelintir orang.
Sila ke-3 dalam praktiknya selalu dikesampingkan oleh mereka yang haus akan kepentingan. Mereka oknum pemerintah) memperlakukan orang yang berdemonstrasi layaknya penjahat, seakan-akan demonstrasi merupakan tindakan terlarang. Sudah seharusnya pemerintah segera berbenah dalam komunikasi publiknya yang amat buruk dan bagaimana cara menangani opini publik yang sangat kurang optimal demi mencapai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.