Mohon tunggu...
Muhammad Fahroji
Muhammad Fahroji Mohon Tunggu... Ilmuwan - If my mind can conceive it, and my heart can belive it, then i can achieve it.

Hanya pembelajar yang fakir ilmu. Ingin kenal lebih dekat? mungkin bisa dimulai dengan mengunjungi instagram saya @fhroo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Optimalisasi Pemberdayaan Buzzer sebagai Pemersatu Bangsa

27 Juli 2021   10:05 Diperbarui: 27 Juli 2021   10:38 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Peradaban manusia akan selalu berkembang dan berjalanan beriringan dengan perkembangan teknologi. Kehidupan manusia yang semakin kompleks dan didorong juga dengan hadirnya penyebaran informasi di era disruptif yang begitu pesat, membuat kita sebagai masyarkaat harus lebih cerdas dalam memilah dan menerima segala bentuk informasi, terutama yang melalui media digital atau media sosial. 

Sehingga, secara tidak langsung ataupun langsung dan secara sadar ataupun tidak sadar masyarakat dituntut untuk lebih peka, lebih peduli, lebih open minded dan lebih tangkas dalam perubahan yang terjadi di lini kehidupan ini, salah satunya dalam menanggapi isu/informasi yang beredar. 

Kita sekarang lebih sering menemui tentang ketidakjelasan dan ketidakpastian atas suatu hal. Kita harus lebih waspada bukan curiga, waspada agar tidak tersesat dan mudah terpolarisasi atas suatu informasi. Perihal informasi memang sangatlah krusial, karena ketika informasi adalah gerbang pertama dan utama sebagai insan dalam melakukan sesuatu. Ketika informasi sudah meresap kedalam tubuh, menjadi pondasi dalam berfikir, maka akan berdampak pada pemikiran, ucapan dan tindakan. 

Kualitas literasi masyarakat yang minim dalam proses penerimaan, pencarian dan pengolahan informasi yang ada. Kecenderungan menerima informasi mentah-mentah atau sekadar meng-”iya”-kan informasi, sudah menjadi hal yang dibiasakan didalam pendidikan Indonesia.  yang cenderung dituntut “menghafal” dibandingkan belajar konsep dan dilatih cara berfikirnya. 

Hal tersebut sangat berdampak dalam tumbuh kembang pelajar Indonesia, mungkin hanya segelintir orang saja yang memahami bahwa betapa pentingnya berfikir dan bertindak analitis dibandingkan pragmatis. Dampak dari pendidikan yang kurang optimal tersebut terlihat pada hasil PISA Indonesia pada tahun 2018 untuk kategori kemampuan membaca Indonesia memperoleh skor rata-rata yaitu 371 berada di peringkat ke 74 dari 77 negara (Schleicher, PISA 2018). Menjadi suatu keniscayaan, ketika masyarakat kita cenderung mudah untuk terpolarisasi karena adanya disinformasi di dunia maya “media sosial”.

Fenomena penyebaran arus informasi yang begitu cepat di media sosial, tak luput dengan hadirnya buzzer turut hadir sebagai pembawa dan penggiring informasi. Buzzer berasal dari Bahasa Inggris yang berarti lonceng, bel, atau alarm. Dikutip dari Oxford Dictionaries, buzzer diartikan sebagai ‘An electrical device that makes a buzzing noise and is used for signalling’ yaitu perangkat elektronik yang digunakan untuk membunyikan dengungan guna menyebarkan sinyal atau tanda tertentu. 

Buzzer pada awalnya digunakan untuk mempromosikan suatu produk tertentu dengan atau tanpa imbalan tertentu. Namun, sejak tahun 2014, ketika pemilihan umum (pemilu) dilangsungkan di Indonesia, jasa buzzer mulai dilirik oleh aktor-aktor politik. Dilansir dari Kumparan.com, profesi buzzer memiliki dua kategori yakni, buzzer yang dilakukan secara sukarela dan buzzer sesuai permintaan. Biasanya buzzer sesuai permintaan ini dilirik oleh para aktor politik seperti untuk memenangkan pilkada, pileg, hingga pilpres (KumparanNews, 2018). 

Tapi pada kenyataannya buzzer secara implisit ataupun eksplisit berfungsi untuk mempertahankan kestabilan politik atas suatu kedudukan yang ingin dicapai dan/atau sudah diperoleh agar terus kokok dan stabil berjalan. Hal ini sering digunakan oleh para pemegang kekuasaan politik yang senantiasa menjalankan aksinya dengan polesan buzzer agar berbagai macam kebijakan yang dijalankan berjalan mulus. 

Jikalau kebijakan yang dijalankan memang benar-benar baik dan sesuai kenyataan, sangatlah tidak masalah jikalau buzzer turut menyebarkan informasi sebagai media untuk menggerakan massa yang lebih besar dalam melakukan tindakan positif dan progresif. 

Namun, sangat disayangkan pada kenyataannya banyak hal yang tidak sesuai dilakukan oleh buzzer. Dimana buzzer dibudidayakan untuk kepentingan politik praktis dan demi kestabilan politik para oknum yang memiliki egosentris yang tinggi akan kedudukan dan jabatan. 

Proses yang dilakukan buzzer menyebabkan penyebaran informasi antara fakta dan hoaks bercampur dihamburkan. Seakan-akan yang fakta adalah hoaks dan yang hoaks adalah fakta. Disamping fenomena group whatsapp keluarga yang sering menyebarkan berita/informasi yang diragukan validitasnya. Perlu kita ketahui, para penjabat di pemerintahan memiliki kekuasaan yang amat besar dalam mengkoordinir, menggerakan dan menyatukan massa dalam relung pesatuan melalui penyebaran informasi. 

Namun, sekali lagi amat sangat disayangkan. Terlalu banyak oknum yang malah memanfaatkan buzzer demi melancarkan akal bulusnya dan rela masyarakat terpolarisasi diatas ketidakpastian dan ketidaktahuan. Pemerintah cenderung memilih jalan praktis dibandingkan memilih jalan berproses yang panjang untuk mencerdaskan masyarakatnya. 

Disaat ada kekuasaan untuk menjalin persatuan seluruh rakyat Indonesia, tapi malah memilih jalan kehancuran dan penghamburan masyarakat. 

Mereka memang peduli akan persatuan, tapi persatuan akan golongannya dan kolega-koleganya. Membuat masyarakat terpolarisasi adalah hobinya. Dikutip dari ICW bahwa total anggaran belanja pemerintah pusat sebesar total Rp 90,45 M untuk aktivitas yang melibatkan influencer/buzzer selama 4 ta

hun kebelakang. Kemudian untuk aktivitas digital yang meliputi kampanye digital, media online dan kampanye digital yang tidak menutup kemungkinan pastinya melalui portal media sosial, pemerintah pusat sudah menghabiskan sekitar Rp 1,29 T dari total anggaran belanja (ICW, 2020).

Buzzer seharusnya dapat menjadi wadah dalam pergerakan peradaban masyarakat Indonesia yang lebih terstruktur, masif dan sistematis dengan objektif kemandirian, kemajuan yang positif dan progresif. Penyebaran informasi terkait kebijakan terkini pemerintah, keadaan kondisi nasional dan internasional, pendidikan dan teknologi serta hal-hal yang seharusnya merupakan informasi yang bukan “hoaks” atau “kepentingan golongan” dapat disebarkan dan menjadi pengetahuan bagi masyarakat. 

Mungkin dengan adanya buzzer justru ruang diskusi terbuka lebar, bukan malah dengan hadirnya buzzer ruang ediskusi dipersempit karena opini dari masyarakat/netizen bersebrangan dengan informasi yang disebarkan oleh buzzer. Apalagi dengan hadirnya UU ITE, buzzer kebal akan hal tersebut, tapi tidak dengan masyarakat biasa yang mencoba menyuarakan dalam bentuk kritikan maupun saran kepada pemerintah atas suatu kebijakan atau informasi yang diterimanya. 

Masyarakat semakin ditutup ruang berdemokrasi dan ruang bermusyawarah untuk meraih persatuan, tapi tidak dengan buzzer yang semakin bebas melalang buana. Pada tahun 2020, ada 84 kasus pemidanaan warganet di mana 64 di antaranya terkena jerat UU ITE. Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas, menuturkan dalam praktiknya banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat dan pemodal (CNN, 2021).

Di era disrupsi 4.0, apalagi saat ini kita sedang menghadapi pandemi global covid-19. Sudah seharusnya masyarakat saling bersatu dan bersama. Bukan malah saling sikut sana sikut sini demi kepentingan pribadi. 

Koreksi dan kritik mendalam juga kepada aparat pemerintahan yang memiliki wewenang besar, seharusnya sadar akan kewajiban yang besar juga. Masyarakat yang semakin terpolarisasi sudah seharusnya bisa disadarkan dan satukan untuk kepentingan bersama serta dapat diberikan contoh yang tepat. 

Disaat yang lain kesulitan, oknum pemerintah malah memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi. Hal ini sangat disayangkan ketika negara Indonesia menjunjung demokrasi yang akan kembali lagi kepada rakyat, namun pada praktiknya semua itu kembali lagi ke kepentingan penjabat dan segelintir orang. 

Sila ke-3 dalam praktiknya selalu dikesampingkan oleh mereka yang haus akan kepentingan. Mereka oknum pemerintah) memperlakukan orang yang berdemonstrasi layaknya penjahat, seakan-akan demonstrasi merupakan tindakan terlarang.  Sudah seharusnya pemerintah segera berbenah dalam komunikasi publiknya yang amat buruk dan bagaimana cara menangani opini publik yang sangat kurang optimal demi mencapai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun