Mohon tunggu...
Kastrat IMS FTUI
Kastrat IMS FTUI Mohon Tunggu... #PRAKARSA

Pagi Sipil! Kastrat IMS FTUI kini hadir di Kompasiana untuk membagikan beberapa tulisan yang kami hasilkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradigma dalam Studi Mengenai "Tiger Parenting": Lawas atau Perlu Diterapkan?

28 April 2021   13:50 Diperbarui: 28 April 2021   13:52 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

oleh Florencia Rosalyn

"My goal as a parent is to prepare you for the future, not to make you like me" 

-- Amy Chua --

Mengenal Tiger Parenting

Tiger parenting merupakan salah satu pola pengasuhan yang berbentuk ketat dan cenderung menuntut. Pola asuh tiger parenting menerapkan cara ekstrem dan lebih mengontrol anak agar berhasil di kehidupan, khususnya di lingkup prestasi akademik dengan metode pengasuhan otoriter. Awal mula istilah tiger parenting ramai pada tahun 2011 setelah diperkenalkan oleh Amy Chua yang merupakan profesor fakultas hukum di Universitas Yale melalui terbitan bukunya yang berjudul "Battle Hymn of the Tiger Mother". Buku tersebut mengisahkan kisah Amy Chua membesarkan kedua anak perempuan dengan tradisi dan nilai-nilai keluarga Asia di tengah kebudayaan Amerika. Menurut Amy Chua, tiger parenting merupakan gabungan antara pola asuh otoriter dan kontrol ketat. Jenis pengasuhan seperti ini seringnya dipandang keras, terlalu menuntut sehingga mengabaikan perasaan anak.

Memang mungkin para anak yang dahulunya diasuh dengan pola tiger parenting kini menjadi orang yang berhasil, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka bahagia? Neologisme daripada tiger parenting ini berakar pada ajaran Konfusianisme kuno yang diartikulasikan melalui antologi klasik yang ditulis lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Konsep ini dipengaruhi oleh Konfusianisme, sebuah filosofi Tiongkok kuno yang dikembangkan oleh filsuf Confucius pada abad ke-5 SM yang mempromosikan atribut seperti kesalehan, nilai-nilai keluarga, kerja keras, kesulitan yang bertahan, kejujuran, dan dedikasi diri menuju keunggulan akademis melalui pengejaran pengetahuan.

Mayoritas keluarga Tionghoa kontemporer berusaha untuk menanamkan nilai dan pentingnya pendidikan pada anak mereka di usia muda. Pendidikan tinggi adalah masalah yang sangat sakral dalam masyarakat Tiongkok, di mana ia dipandang sebagai salah satu pilar fundamental dari budaya dan kehidupan Tiongkok. Pendidikan dianggap sebagai prioritas utama bagi keluarga Tionghoa karena keberhasilan dalam pendidikan memegang status budaya serta kebutuhan untuk meningkatkan posisi sosial ekonomi seseorang dalam masyarakat Tionghoa.

Dampak Pola Asuh Tiger Parenting dalam Mendidik Anak 

Dampak pola asuh tiger parenting terhadap anak umumnya memiliki beberapa dampak seperti meningkatkan motivasi anak, tiger parenting diyakini membuat anak lebih termotivasi untuk belajar lebih giat lagi. Dikarenakan harapan orang tuanya yang tinggi, maka terkadang anaknya yang tidak dapat memenuhi ekspektasi mereka akan dibantu oleh guru privat yang disediakan oleh orang tuanya. Karena itu tiger parenting bisa dikatakan meningkatkan motivasi anak. Dan juga mendapatkan apresiasi orang tuanya kepada anaknya yang membuat anak ingin menggapai lebih tinggi demi apresiasi dari orang tuanya.

Dampak kedua yaitu meningkatkan kepatuhan anak kepada orang tua, orang tua dengan pola asuh tiger parenting umumnya mendidik anaknya dengan keras. Tidak jarang orang tua untuk memberikan hukuman kepada anak mereka jika akademik sang anak tidak memenuhi ekspektasi. Ketika anak tidak memenuhi ekspektasi, orang tua akan menghukum. Maka dengan hal tersebut mereka memiliki dampak yang membuat anaknya lebih patuh.

Dampak ketiga adalah menyebabkan tekanan psikologi pada anak, anak dituntut untuk selalu mendapatkan nilai yang tinggi dan dididik untuk belajar lebih keras tentu berpengaruh terhadap psikologi anak. Banyak anak yang tertekan secara mental dikarenakan tekanan yang didapatkan saat harus memenuhi ekspektasi orang tuanya. Mengikuti les privat dan menghabiskan waktu belajar juga memiliki peran dalam tekanan yang dialami anak. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2016, tercatat ada 6.820 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia, 23% diantaranya merupakan kekerasan secara psikis.

Kebanyakan orang tua Asia biasanya menerapkan metode pengasuhan tiger parenting dan tidak jarang hal itu membuat banyak anak usia 10-17 tahun mengalami tingkat depresi yang tinggi dan merupakan penyebab wanita keturunan Asia-Amerika di negara Amerika berumur 15-24 tahun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dampak keempat terhadap anak adalah  membuat anak jadi terlalu perfeksionis kebanyakan orang tua mendidik anaknya untuk selalu mendapatkan nilai tinggi. Apabila anaknya mendapatkan dibawah ekspektasi mereka, maka sang anak akan dimarahi dengan banyak pertanyaan dan pada akhirnya berpikir bahwa mereka tidak belajar dengan baik.

Setelah itu, proses belajar mereka akan diperketat. Tiger parents memiliki pola pikir bahwa anaknya tidak boleh ada ruang untuk melakukan kesalahan. Dampak terakhir yang dapat terjadi terhadap orang tua adalah rasa empati dari orang tua mulai berkurang kepada anak, tiger parenting membuat orang tua berpikir bahwa prestasi sang anak adalah hasil dari usaha keras mereka. Dengan itu orang tua akan memberi kasih sayang dan cinta kepada anaknya tergantung prestasi mereka. 

Tiger parents yang suka menghukum anaknya dengan pukulan atau bentuk kekerasan fisik yang lainnya merupakan metode tiger parenting yang kurang tepat dikarenakan jika memakai pukulan yang berlebihan maka anak akan mengalami trauma yang sulit untuk dihilangkan yang dapat mengakibatkan anak takut bukan karena wibawa orang tua, melainkan karena takut akan pukulan. Dalam Children's Act 2004 ada batasan-batasan yang diperjelas bagi orangtua jika ingin memukul anaknya, yaitu tidak boleh menimbulkan bekas atau luka, tidak memukul dengan keras dan tidak boleh menyebabkan masalah kesehatan mental dalam jangka waktu panjang. 

Marjori Gunnoe, seorang profesor psikologi di Calvin College, Grand Rapids, Michigan, mengatakan bahwa orang tua tidak boleh memukul anaknya dengan sembarangan apalagi jika menggunakan alat. Gunnoe menjelaskan sebuah tepukan ringan seringkali menjadi cara paling efektif untuk mengajarkannya agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya atau merugikan orang lain. Pukulan ringan itu pun hanya berlaku sampai usianya 6 tahun.

Berdasarkan hasil penelitiannya, anak yang dipukul hingga usia 6 tahun memiliki sifat positif yang lebih baik di antaranya dalam hal akademis dan optimisme serta tidak memiliki sifat negatif yang buruk. Sedangkan anak yang masih sering dipukul hingga usia 11 tahun memiliki sifat negatif seperti terlibat dalam perkelahian. Penelitian ini melibatkan 179 remaja yang ditanya mengenai seberapa sering mereka dipukul saat masih anak-anak dan pada usia berapa terakhir kali orangtua memukulnya. Jawaban yang didapat dibandingkan dengan perilakunya termasuk kelakuan negatif seperti anti sosial, aktivitas seksual yang lebih dini, kekerasan, depresi, serta kelakuan positif lainnya. Hal yang boleh dilakukan oleh orangtua adalah hanya melakukan tepukan ringan, sementara jika lebih dari itu sudah termasuk dalam kekerasan dan merupakan cara mendidik anak yang salah.

Perbandingan Antara Pola Asuh Tiger Parenting, Elephant Parenting, dan Drone Parenting

Kali ini akan dibahas mengenai beberapa pola asuh yang kerap dipakai dikalangan orang tua yang masing-masing memiliki perbedaan, seperti pada Tiger Parenting Anak dilatih untuk  bekerja keras dan disiplin agar dewasa ia dapat berhasil dan mampu bertahan di dunia kedepannya. Dimana pada Elephant Parenting anak diberi kesempatan untuk menikmati masa kecil dengan bahagia. Drone parenting memiliki pola asuh pada anak dimana ia dapat lebih bisa mengekspresikan dirinya dikarenakan tidak dijaga ketat oleh orang tuanya.

Tiap pola asuh yang berbeda memiliki perbedaan yang sangat jauh. Dimana pada Tiger Parenting anaknya dijaga ketat dan disuruh mengejar Pendidikan, Elephant Parenting anaknya diberi kesempatan untuk menikmati masa kecilnya tanpa memikirkan untuk menggapai prestasi yang tinggi, Drone Parenting membiarkan anaknya untuk mengekspresikan dirinya tanpa campur tangan orang tua yang berlebihan.

Penutup

Menerapkan metode pola asuh tertentu sepenuhnya menjadi pilihan tiap-tiap orang tua. Namun, tidak dengan hanya mencontoh gaya pengasuhan orang tua lain kemudian langsung menerapkannya kepada anak. Sebaiknya orang tua mempertimbangkan apakah metode pola asuh yang dipilih sesuai dan cocok untuk anak. Metode pengasuhan tiger parenting ini tidak bisa dikatakan baik atau buruk, sifatnya relatif dan tergantung individu yang menerima perlakuan ini. Terpenting baik orang tua maupun anak tetap berada pada relasi yang sehat dengan menghargai haknya masing-masing.

Daftar Pustaka

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun