Mohon tunggu...
Metanoia Abelard Numinous
Metanoia Abelard Numinous Mohon Tunggu... Mahasiswa - Artikel Opini Metanum

Artikel Opini Metanum

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Rokok Elektrik Tak Mematikan, Bisakah Menggantikan Rokok Konvensional?

13 Desember 2021   23:01 Diperbarui: 13 Desember 2021   23:31 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia saat ini tengah banyak mengalami kemajuan, utamanya kemajuan teknologi. Banyak hal yang saat ini perlahan mengalami transisi, yang pada mulanya masih menggunakan produk konvensional, kini pelan-pelan berpindah ke produk yang lebih technology-based. Salah satu produk yang ikut mengalami pergeseran adalah rokok. Rokok konvensional seperti sigaret dan cerutu kini memiliki pesaing baru yaitu rokok elektrik. Hal yang saat ini kehadirannya tengah ramai utamanya pada kalangan remaja dan dewasa muda tersebut dianggap lebih 'kekinian' dan keren ketimbang rokok konvensional. Banyak yang akhirnya menganggap bahwa rokok elektrik ini dapat menjadi pengganti rokok dan dapat membuat orang berhenti kecanduan merokok. Padahal hingga saat ini, rokok masih tetap merajalela di berbagai kalangan.

Merokok seakan telah menjadi kebiasaan yang sangat dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari. 

Dari waktu ke waktu, jumlah perokok senantiasa terus bertambah. Menurut WHO, terdapat 1 miliar orang yang kini mengonsumsi rokok secara aktif. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan konsumsi rokok tertinggi di dunia. Dilansir dari The Tobacco Atlas, Indonesia kini menempati negara ketiga tertinggi pengonsumsi rokok dengan jumlah total perokok aktif sebanyak lebih dari 60 juta penduduk.

Padahal, kandungan yang ada di dalam rokok dapat dikatakan sangat berbahaya dan dapat memengaruhi kondisi kesehatan manusia.

Terdapat zat yang memiliki sifat adiktif seperti nikotin yang memberikan efek langsung terhadap otak dan zat-zat yang bersifat karsinogenik seperti karbon monoksida, arsenik, formaldehid, amonia, hidrogen sianida, timbal, bahan radioaktif seperti polonium-210, Tobacco-specific nitrosamines (TSNAs), dan Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). Kandungan-kandungan tersebut dapat memicu kanker melalui asap rokok yang dikeluarkan. Selain kanker, beberapa kandungan rokok tersebut juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular, penyakit paru-paru, dan masalah kesehatan serius lainnya. Fakta yang mengejutkan adalah, bahan tersebut dapat timbul langsung dari daun tembakau yang dibakar dan tanpa perlu adanya tambahan bahan kimia lainnya.

Ketika asap tembakau atau uap nikotin dihirup, obat masuk ke otak dan membanjiri reseptor dalam waktu 10 detik, memberikan dengungan yang hampir seketika. Ada reseptor nikotin di hampir setiap wilayah dan jenis sel di otak, itulah sebabnya nikotin memiliki efek yang beragam dan luas. Misalnya, ada reseptor pada neuron dopamin di area otak yang disebut nucleus accumbens, yaitu pusat utama kecanduan. Ketika reseptor nikotinik di sana diaktifkan, neuron melepaskan dopamin, zat kimia saraf yang penting untuk pelepas stres

Semakin berkembangnya zaman, tentunya semakin banyak pula inovasi yang hadir. Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, rokok pun kini sedikit demi sedikit telah mengalami pergeseran karena hadirnya pesaing baru yaitu rokok elektrik. Sebenarnya jika ditinjau melalui sejarah, rokok elektrik atau yang secara global dikenal dengan nama e-cigarettes telah diciptakan sejak tahun 1960an oleh Herbert A. Gilbert. Namun, sayangnya Herbert gagal mengomersilkan temuannya karena kehidupan masyarakat yang terlalu dekat dengan tembakau pada era tersebut. Setelah kegagalan yang cukup panjang, akhirnya rokok elektrik berhasil dikomersialisasi oleh seorang apoteker dan perokok aktif di Beijing, China bernama Hon Lik, yang ayahnya meninggal karena kanker paru-paru yang diakibatkan oleh kebiasaannya merokok. Kemudian pada tahun 2006, perlahan rokok elektrik mulai masuk ke Eropa. Perkembangannya yang cukup pesat kemudian akhirnya bisa membawa rokok elektrik masuk ke Indonesia pada tahun 2012.

Alasan sebagian besar masyarakat memilih bergeser dari rokok konvensional ke rokok elektrik adalah karena mereka ingin berhenti kecanduan rokok dan merasa rokok konvensional memiliki pengaruh yang sangat buruk bagi kesehatan. Namun, hal tersebut hingga kini masih menuai perdebatan. Apalagi setelah Inggris menjadi negara pertama yang mengumumkan bahwa mereka kini telah meresepkan vape salah satu jenis rokok elektrik sebagai pengganti rokok. Inggris kini telah memiliki pedoman baru yang dikeluarkan oleh Medicines and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA) sehingga  National Health Services (NHS) kini bisa meresepkan rokok elektrik yang kemudian dapat dijumpai di apotek-apotek untuk dibeli oleh mereka yang ingin berhenti mengonsumsi rokok konvensional. Menurut Committee on Toxicity of Chemicals in Food, Consumer Products and the Environment (COT), menyimpulkan bahwa risiko efek kesehatan yang merugikan dari produk vaping diperkirakan jauh lebih rendah daripada rokok. Mereka mengemukakan bahwa dari hasil tinjauan yang ada, tidak ada kepastian hubungan yang ditemukan antara paparan partikel dan nikotin yang dapat dikaitkan dengan efek kesehatan yang merugikan dan efek menghirup bahan penyedap pada vape. Namun, mereka juga tetap memberikan argumen bahwa orang yang belum pernah merokok tapi mencoba mengonsumsi vape, kemungkinan akan tetap mengalami masalah pada kesehatan.

Hal tersebut dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh American Journal of Preventive Medicine, yang menyebutkan bahwa rokok elektrik dinilai mungkin memiliki risiko lebih rendah daripada rokok konvensional, tetapi mereka yang mengonsumsi rokok elektrik tetap memiliki kemungkinan 30% lebih besar untuk memiliki masalah paru-paru kronis dalam waktu yang sangat singkat yaitu 3 tahun. Belum lagi orang yang mengonsumsi keduanya secara bergantian, risiko penyakitnya bisa mencapai hingga 3,3 kali lebih besar daripada yang tidak merokok. Selain itu, meskipun tanpa adanya nikotin yang memicu kecanduan, rokok elektrik tetaplah berbahaya bagi kesehatan. Hal yang perlu diwaspadai adalah dampak dari bahan kimia penambah rasa, terutama pada sel-sel kekebalan tubuh, yang mana belum pernah diteliti secara luas.

Meskipun begitu, masyarakat Indonesia juga tetap menunjukkan ketertarikannya kepada rokok elektrik. Menurut Riskesdas 2018, sebanyak 2,8% masyarakat Indonesia mengonsumsi rokok elektrik. Angka tersebut memang masih sangat kecil jika dibandingkan dengan rokok konvensional, tapi besar pula kemungkinan bahwa hingga saat ini angka tersebut kian bertambah besar, utamanya di kalangan anak dan remaja. Masih berasal dari sumber yang sama, didapati bahwa jumlah pengguna rokok elektrik terbanyak terdapat pada kelompok umur 10-14 tahun sebesar 10,6%, kelompok umur 15-19 tahun 10,5%, dan kelompok umur 20-24 tahun sebanyak 7%.

Hingga saat ini, belum ada regulasi yang memberikan keterangan tegas tentang peredaran rokok elektrik di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun