Masih dalam pembahasan mengenai kondisi sosial politik, intoleransi juga merupakan salah satu polemik yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia. Dalam pelaksanaannya, Gerakan Nasional Revolusi Mental masih belum dapat mengatasi intoleransi, baik secara agama, pandangan politik, maupun perbedaan cara pandang dan pemikiran. Merebaknya persekusi terhadap agama minoritas dan ujaran kebencian di antara umat beragama, partai politik, dan masyarakat pada umumnya menjadi sebuah tanda bahwa kemajuan bangsa Indonesia masih terganjal oleh perbedaan, yang bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.Â
Padahal, semangat ini menjadikan perbedaan sebagai kekuatan. Kemudian, kecenderungan masyarakat Indonesia untuk bersikap agresif dalam berargumen, terutama ketika politik sudah menjadi pembahasan, merupakan salah satu penyebab utama intoleransi. Menumbuhkan sikap asertif yang menjadi prasyarat untuk berdialektika mengenai politik bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah melalui pendidikan dan Gerakan Nasional Revolusi Mental, melainkan juga menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk memulai dari diri sendiri.
Geliat bisnis di Indonesia yang pada beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan relatif pesat, ditandai dengan bermunculannya usaha-usaha start-up baik digital maupun di sektor lain, juga perlu diperhatikan sebagai salah satu bentuk Revolusi Mental. Pertumbuhan pesat di berbagai sektor seperti e-commerce (Tokopedia, Bukalapak), teknologi finansial (OVO, GoPay), pendidikan (Ruang Guru), kesehatan (halodoc) , dan digital (GoJek) telah menjadi tonggak baru dunia bisnis di Indonesia. P
otensi pertumbuhan usaha-usaha startup juga diperkirakan akan menjadi semakin pesat di masa mendatang. Sebagai contoh, dalam fase triwulan pertama tahun 2019, Gojek telah mengumumkan pendanaan seri F (Dailysocial, 2018) dan telah mencapai valuasi $9.5 miliar per Januari 2019. Per April 2019, Gojek telah menyandang status decacorn. Berbagai start-up lainnya juga mengikuti langkah Gojek dalam peningkatan valuasi yang ditandai dengan bertambahnya start-up yang mencapai valuasi level centaur atau $100 juta dan level unicorn atau $1 miliar. Berbagai start-up yang berorientasi pendidikan, sosial, dan pembiayaan P2P seperti RuangGuru, Kitabisa, Amartha, dan iGrow juga bermunculan mengiringi kesuksesan pendahulu-pendahulunya. Hal ini dapat dikatakan sebagai bukti nyata Revolusi Mental yang muncul dari keinginan kuat untuk membuat perubahan dan keberhasilan menginternalisasi nilai-nilai yang menjadi tujuan revolusi mental itu sendiri.
Pada lini pemerintahan, agaknya efek bandwagon juga berlaku di antara kalangan pejabat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya tingkat penyelewengan dan korupsi. Pada tahun 2018 kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp5.6 triliun walaupun jumlah ini mengalami penurunan dari Rp6.5 triliun pada tahun 2017 (ICW,2018). Perlu diperhatikan juga walaupun terjadi penurunan dalam kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, dibandingkan dari tahun 2015-2016, tingkat kerugian negara akibat tindak pidana korupsi cenderung meningkat secara signifikan. Integritas dalam birokrasi negara agaknya masih tersendat dengan adanya kecenderungan untuk menjustifikasi korupsi dengan alasan-alasan generik seperti kondisi keuangan mendesak, lingkungan pekerjaan yang mentolerir, maupun minimnya kontrol internal.Â
Implementasi teknologi juga masih belum dapat memangkas birokrasi dengan adanya penyelewengan pada penyediaan dan penggunaannya. Sektor pemerintahan merupakan salah satu tugas berat bagi Gerakan Nasional Revolusi Mental, karena untuk menyelaraskan sektor tersebut dengan nilai-nilai Revolusi Mental diperlukan usaha lebih, terutama dalam secara progresif mengikis sistem lama yang terlalu kompleks, berbelit-belit, dan hierarkis.