Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

ERP dan Cipta Kerja: Embrio Masalah Baru di Jakarta

28 Februari 2023   21:25 Diperbarui: 28 Februari 2023   21:29 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.databoks.katadata.co.id

Permasalahan kemacetan merupakan hal telah menjadi momok sejak lama di Provinsi DKI Jakarta. Permasalahan ini selalu terjadi di setiap tahunnya. Berbagai kebijakan telah diterapkan demi meminimalisir masalah ini namun, hasilnya tidak terlalu signifikan. Beberapa kebijakan yang pernah diterapkan diantaranya adalah Three In One dan juga kebijakan ganjil genap. 

Kebijakan Three in One  merupakan kebijakan yang diterapkan pada masa Gubernur Sutiyoso yang mengharuskan mobil berisikan 3 orang untuk melewati jalan-jalan tertentu di ibukota. Kemudian terdapat juga kebijakan ganjil genap yang mengharuskan pengendara menyelaraskan antara tanggal dan juga angka pada plat nomor yang terpasang di kendaraannya. 

Berbagai kebijakan tersebut telah dilakukan meskipun hasilnya masih belum dirasakan secara maksimal oleh masyarakat DKI Jakarta yang masih terus merasakan kemacetan di berbagai tempat sehingga menghambat mobilitas mereka. Kebijakan Pembatasan bagi sepeda motor untuk melintasi daerah Jalan Sudirman hingga M.H. Thamrin yang diatur dalam Pergub No. 195 Tahun 2014 juncto Pergub DKI No. 141 Tahun 2015 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda motor tersebut dicabut melalui mekanisme judicial review dengan putusan bernomor 57 P/HUM/2017 dalam putusan tersebut majelis hakim menyatakan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi. Hasil dari berbagai kebijakan yang dirasa belum maksimal tersebut mendorong pemerintah DKI Jakarta merencanakan untuk memberlakukan kebijakan ERP (Electronic Road Pricing) dengan harapan agar dapat meminimalisir kemacetan di jakarta secara signifikan.

ERP atau Electronic Road Pricing merupakan skema tol elektronik untuk mengatur lalu lintas melalui road pricing sebagai mekanisme penggunaan berbasis perpajakan (Cristiarina, 2011). Kebijakan ini merupakan kebijakan yang telah lama dirumuskan terutama oleh pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta terutama pada jam jam krusial seperti pagi hari dan sore hari. Kebijakan ini direncanakan akan diterapkan di jalan-jalan utama untuk mengurangi kepadatan sehingga dapat memperlancar mobilitas masyarakat khususnya warga DKI Jakarta.

Namun, rencana penerapan kebijakan tersebut tidak berjalan dengan mulus. Banyak pihak yang merasa penerapan kebijakan tersebut malah memberatkan masyarakat di berbagai golongan. Masyarakat merasa bahwa jalanan adalah hak mereka selaku pihak yang membayar pajak sehingga tidak perlu lagi dilakukan “pemerasan di jalanan” untuk melewati jalan-jalan yang ada di DKI Jakarta.

Meskipun demikian,Pemerintah DKI Jakarta dan juga DPRD DKI Jakarta terus mendorong agar Perda terkait kebijakan ERP ini akan segera tuntas pada tahun 2023 sehingga penerapan ERP dapat dilakukan sesegera mungkin. Hal itu seperti memperlihatkan bahwa pemerintah DKI Jakarta “tuli” akan aspirasi masyarakat yang akan sangat berdampak apabila kebijakan ini direalisasikan. Berbagai golongan salah satunya dari kalangan ojek online telah melakukan demonstrasi yang seharusnya menjadi pertimbangan bahwa kebijakan ini tidak mewakili kebutuhan masyarakat dan perlu dikaji ulang termasuk terkait kesiapan infrastruktur dan  berbagai hal lainnya sehingga kebijakan ini dapat mencapai target utamanya tanpa menyulitkan kebutuhan mobilitas masyarakat.

Pantaskah ERP Diaplikasikan di Jakarta?

Pejabat Pemerintah Provinsi selaku aparatur Negara sejatinya bertanggungjawab untuk memberikan segala kebutuhan yang diperlukan masyarakat dalam bentuk penerapan berbagai kebijakan yang dirasa pantas dan tepat untuk diaplikasikan di masyarakat. Segala macam usaha yang dilakukan oleh pemerintahan haruslah mewakili keresahan di masyarakat tanpa melahirkan masalah yang lebih mendasar dan segala usaha tersebut dirumuskan dalam kebijakan publik (Joko Widodo, 2021). Kebijakan publik adalah  serangkaian  rencana program, aktivitas, aksi, keputusan, sikap, untuk bertindak maupun tidak bertindak yang dilakukan oleh para pihak (aktor-aktor kebijakan), sebagai tahapan untuk penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi dan segala tindakan itu didasarkan pada kepentingan masyarakat (iskandar, 2012).

ERP atau Electronic Road Pricing merupakan salah satu bentuk wacana dari kebijakan publik terkait keresahan masyarakat akan kemacetan. Akan tetapi, kebijakan ini dirasa membebani masyarakat di berbagai tingkatan dan hanya menyelesaikan masalah dengan masalah baru sehingga dipertanyakan keefektifitasannya untuk menyelesaikan problematika kemacetan yang sudah menjadi darah daging DKI Jakarta. Banyak pihak yang merasa bahwa kebijakan ini perlu dilakukan riset yang lebih mendalam sebelum direalisasikan dalam bentuk kebijakan yang tentunya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Perumusan kebijakan ini pun dinilai sangat minim terkait partisipasi masyarakat didalamnya dan dilakukan dalam keadaan yang terlalu terburu-buru (Meaningful Participation) padahal berdasarkan Pasal 96 Undang-undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan telah mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda tersebut. Hal ini tercerminkan dalam demonstrasi yang dilakukan oleh pengemudi ojek online di depan balaikota pada tanggal 8 Februari 2023. Demonstrasi itu menggambarkan bahwa proses sosialisasi dan juga ruang partisipasi yang diberikan Pemerintah kepada masyarakat dalam hal perumusan wacana kebijakan ini sangatlah kurang dan hal ini merupakan hal yang mendasar karena pada dasarnya kebijakan ERP ini merupakan bentuk kebijakan publik yang perlu melibatkan masyarakat dalam proses pembentukannya. Sehingga, kebijakan ini tidak seakan-akan “mencuri uang masyarakat melalui kedok kebijakan publik” yang akan sangat merugikan masyarakat terutama sekarang masih dalam suasana pemulihan pasca pandemi covid-19.

Selain ruang partisipasi masyarakat yang kurang, para pengamat salah satunya melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menilai bahwa proses perumusan kebijakan ini perlu diikuti oleh pembentukan beberapa kebijakan lainnya sehingga mendukung keberhasilan capaian dari kebijakan ERP ini. Salah satu yang dipertanyakan oleh LBH adalah bagaimana usaha yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta untuk mengintegrasikan transportasi publik untuk kebutuhan mobilitas warga DKI Jakarta ketika ERP ini direalisasikan. Karena berdasarkan pernyataan Pemprov DKI Jakarta yang menjadi sasaran adalah bahwa apabila pengendara merasa keberatan dengan tarif yang dikenakan di jalan-jalan tertentu akan beralih menggunakan transportasi umum yang telah disediakan namun kebutuhan transportasi massal pun belum siap untuk menampung hal tersebut. Pemerintah DKI Jakarta perlu memperhatikan aksesibilitas dan juga ketersediaan bagi masyarakat yang termarjinalkan. Akan tetapi, Pemprov DKI Jakarta justru berencana memotong subsidi PSO Transjakarta dan menghapuskan anggaran pembangunan jalur sepeda dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2023 Pemprov DKI yang kontradiktif dengan tujuan tersebut.  Selain itu, wacana kebijakan akan naiknya tarif dari KRL juga menjauhkan masyarakat yang rentan dari aksesibilitas terhadap transportasi publik untuk mobilitas mereka di ibukota. Hal ini tentu saja bertolak belakang dari apa yang diharapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta yang berharap agar masyarakatnya dapat pindah dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum demi mengurangi kemacetan sehingga Pemerintah juga perlu memperhatikan kebijakan ini sebelum meresmikan peraturan ERP. selain itu, ketidaktersediaannya transportasi umum yag memadai dan ramah bagi masyarakat kemudian akan menimbulkan masalah baru karena masyarakat yang tetap bersikeras menggunakan kendaraan pribadi akan pindah ke jalan yang tidak berbayar dan hal tersebut tidak akan menyelesaikan kemacetan namun, hanya memindahkan kemacetan ke tempat lain dan hal tersebut membuat ERP ini tidak akan efektif.

Dalam merumuskan kebijakan ini pemerintah juga perlu memperhatikan bagaimana kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi covid-19 sehingga banyak masyarakat yang masih kesulitan secara ekonomi terutama kelompok menengah kebawah. Demonstrasi yang dilakukan oleh ojek online kemarin juga mewakili kaum pekerja yang memiliki perlindungan hukum pekerja yang lemah. Meskipun Pemprov telah menyatakan bahwa ERP tidak diberlakukan kepada para pengendara ojek online akan tetapi perlu juga memperhatikan para pekerja dalam kategori terkait di bidang lainnya dan itu perlu waktu sehingga apa yang ditargetkan oleh ERP ini terealisasikan dengan baik tanpa memberatkan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun