Mohon tunggu...
kasimiro ganggur
kasimiro ganggur Mohon Tunggu... -

Nama kasimiro ganggur. saat sedang studi dan sambil kerja di luar negeri australia dan east Timor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Spiritualitas Hidup Alif dan Jasmin

27 Maret 2012   04:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:25 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tengah badai kehancuran menghantam dan mengerdilkan republik ini, dua bocah kawakan, Alif dan Jasmin, muncul ke publik Indonesia. Alif,pesebakbola cilik dan Jasmin, pemerhati masalah sosial, muncul bak fresh air yang kalaupun tidak sepenuhnya memuaskan dahaga warga republik ini, paling kurang bisa memberikan penghiburan di tengah duka lara kian melambung. Kemunculan mereka sekiranya mempengaruhi opini publik bahwa sebuah tunas (harapan) baru sedang bermekar di Republik tercinta ini.

Kemunculnya dua bocah yang belum ternoda ini persis di tengah kegalauan mencoreng citra pesepakbola Indonesia dan kelambanan serta ketidakgubrisan pemerintah dalam menangani permasalahan sosial kemasyarakatan.

Sebut saja Alif, penggocek brilian, yang menyita perhatian publik Indonesia, muncul di tengah timnas Indonesia yang kian amburadul di ambang kehancuran. Masih ingat tragedi memalukan ketika Tim nasional kalah dengan skor bombastis 0-10 dari Bahrain dalam kualifikasi piala dunia 2014. Sebuah kekalahan telak yang tidak hanya mencerminkan kualitas (skill) pesepakbola tanah air tetapi juga sebuah kekalahan yang mencerminkan kinerjakomisi (pemerintah) sepak bola Indonesia yang hingga detik ini belum menyugguhkan prestasi gemilang dalam bidang olahraga yang paling bergensi itu. Lebih menyakitkan lagi ketika unsur politis disinyalir sebagai salah satu faktor penyebab kekalahan. Ujung-ujung kinerja pemerintahan yang tidak becus.

Lain kisahnya dengan Jasmin, pecinta pendidikan, pencinta kehidupan. Ia muncul bak hero yang siap menyelamatkan nasib mereka yang tidak mendapat tempat di hati pemerintah. Ia lebih respondif dari para pejabat yang seharusnya bertanggungjawab atas kasus semacam ini. Jasmin yang masih berumur delapan tahun itu, menaruh iba menyaksikan kehancuran gedung-gedung sekolah akibat amukan badai puting beliung di beberapa kota di Republik ini. Hatinya terusik tatkala pemerintah mengambil sikap diam menyaksikan insiden-insiden itu. Sebagai anak negeri yang baru saja memulai petualangannya di negeri ini, ia terpanggil untuk mengalami penderitaan mereka. Sebagai bukti kecintaannya yang tulus, dan kepekaannya yang mendalam, ia melakukan aksi kemanusiaan mengumpulkan koin untuk memperbaiki gedung-gedung sekolah yang telah roboh diterpa badai ataupun yang sudah usang termakan usia.

Alif: Finger Cross

Alif memang belum menunjukan kebolehannya kepada publik Indonesia. Apalagi ia belum bertanding mengatasnamakan bangsa ini. Kehadirannya dengan sebuah gocekan brilian, yang mendapat antusiasme dari peminat situs youtube, seolah mengobati kerinduaan warga Indonesia yang sudah lama haus menyaksikan sebuah keindahan dalam mengolah si kulit bundar (the beauty of play).

Kemunculannya ke tengah publik membawa sejumput harapan baru dalam dunia persepakbolaan kita. Mengapa? Karena ia hadir persis di tengah kekrisisan sepak bola tanah air. Ia hadir serentak menyakinkan kesuraman wajah sepak bola kita bahwa di tengah kehancuran ini masih ada pucuk harapan baru yang bakal bersemi di negeri ini. Kehadirannyamenegaskan sebuah filosofi klasik ini di tengah kemerosotan itu masih ada Alif-Alif baru yang akan memperbaiki citra sepak bola Nusantara.

Alif si bocah ini, oleh karena itu, tidak hanya representatif dari skilfull players yang belum terpromosikan. Ia juga menyuarakan harapan yang tak terungkapan (unrevealing hope) dari segelintir penghuni republik ini. Dengan kata lain, Alif, di satu sisi memperkenalkan pemain-pemain muda (baru) yang belum direkrut, (belum muncul kepermukaan), dan di sisi lain mengkampanyekan suatu spirit Pantang Menyerah (Finger Cross) bagi seluruh warga republik ini.

Jasmin: Penderitaan sebagai Locus Keprihatinan

Fenomena Jasmin menyita perhatian saya. Serasa tidak percaya, seorang bocah berumur delapan tahun, sudah mampu menanggapi secara serius masalah sosial yang terjadi di negara kita. Lebih mengherankan lagi, ketika ia membulatkan tekadnya dengan berani mengumpulkan koin untuk nantinya dikirim ke sekolah-sekolah yang mengalami kerusakan akibat bencana alam. Modus tindakan Jasmin adalah keprihatinannya akan kehidupan. Kehidupan persekolahan yang menurut Jasmin seharusnya tampil layak, tidak dilihatnya. Keprihatinannya yang mendalam menggunung ketika pendidikan sebagai agen dasar perubahan justru tidak diprioritaskan dalam penanganan kasus-kasus di Indonesia. Jasmin menginisiatif dengan melakukan aksi kemanusiaan, mengumpulkan koin, melampaui semua kemungkinan yang dipikirkan oleh orang-orang dewawa (baca:pemerintah).

Seperti halnya Alif, Jasmin hanyalah sebagian dari pemerhati masalah sosial yang ada di negara kita. Tindakan Jasmin merupakan sebuah kritikan pedas kepada kita semua, terutama kepada pemerintah yang enggan untuk berkata dan mengambil aksi terhadap persoalan yang ada. Kalaupun ada aksi selalu molor. Jasmin tampil dengan filosofinya bahwa kehidupan persekolahan (baca:gedung-gedung yang layak pakai) harus diprioritaskan. Baginya, ketidakadilan terus menggunung ketika banyak anak-anak di negeri ini mengenyam pendidikan pada tempat yang layak, sementara yang lain masih ‘terkapar’ dalam gedung-gedung usang beratapkan awan dan berdindingkan angin.

Di matanya mereka adalah para penderita yang mesti diselamatkan. Penderitaan mereka berkepanjangan tatkala tak ada hati dan tangan untuk membantu. Drama penderitaan merekapun semakin menjadi-jadi ketika pemerintah lebih mementingkan bussines-bussines primordial mencari popularitas diri, daripada menyelamatkan sesama warga yang melarat. Situasi inilah yang menjadi locus keprihatinannya bukan hanya menjadi alasan membuat refleksi mengenai penderitaan sesamanya, melainkan mendorong aksi keberpihakannya kepada sesama yang lain. Yang lain, yang adalah versi lain dari dirinya, memaksa Jasmin bersolider dengan mereka yang menderita.

Hemat saya, kemunculan dua bocah ini ke ranah publik setidaknya merefleksikan dan mengafirmasi sebuah pedagogisme klasik: di tengah kehancuran dan ketidakjelasan menghantui tanah air tercinta, masih ada sebersit harapan, melalui tunas-tunas muda seperti Alif dan Jasmin. Semoga spiritualitas hidup yang ditampilkan kedua bocah ini dapat merasuki jiwa dan kehidupan kita semua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun