Delapan tahun aku menjalani tugas sebagai pendamping lokal desa. Manis pahitnya sudah kujalani, dari menembus jalan desa yang dulu penuh lubang hingga kini mulus bak pipi artis ibu kota. Dari tumpukan kertas laporan Form 14 hingga ke aplikasi Sipede, sebuah sistem pelaporan kegiatan dana desa. Lalu bermanuver ke Monev DD, aplikasi monitoring dan evaluasi yang lebih komplit karena menyediakan fitur unggah APBDes serta realisasi sarpras dan non-sarpras. Namun, fokusnya tetap sama: mengawal kegiatan yang bersumber dari dana desa.
Untuk pelaporan kunjungan lapangan, dulu kami mencatat manual di kertas, lalu merekap setiap akhir bulan lengkap dengan dokumentasi. Kini semuanya lebih mudah berkat aplikasi DRP atau Daily Report Pendamping, laporan harian yang sudah dilengkapi fitur kegiatan dan unggah foto. Tak perlu lagi lembur merekap di penghujung bulan. Semua kemudahan itu tentu tidak datang sekejap mata, melainkan melalui perjalanan panjang dan kesabaran ekstra.
Begitu pula dengan urusan pendataan. Aku masih ingat betul ketika Kementerian Desa memperkenalkan aplikasi bernama eHDW---Electronic Human Development Worker, sebuah aplikasi untuk mendata sasaran pencegahan stunting: keluarga, balita, ibu hamil, calon pengantin, hingga remaja putri. Dari situlah kisah ini dimulai.
Awalnya, eHDW hanya bisa digunakan lewat HP Android. Kedengarannya mudah, tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Banyak KPM di desa yang HP-nya tidak memadai, sementara server sering bermasalah. Aku masih ingat satu malam, seorang KPM meneleponku sambil menangis. Data yang sudah ia input hilang begitu saja saat mencoba sinkronisasi. Aku hanya bisa menenangkan, menyuruhnya bersabar, dan berjanji akan mengonfirmasi ke atasan. Namun apa daya, hingga ke atas pun tidak ada solusi. Rasanya seperti berjuang dengan alat yang belum siap.
Waktu berjalan, Kementerian Desa memperbaiki sistem dan meluncurkan eHDW berbasis web. Harapan baru pun muncul. Aku mengajak empat KPM dari empat desa dampingan untuk memulai pendataan lagi. Mereka menyambut dengan semangat. Meski ada yang tak punya laptop, ia tetap rela menginput satu per satu sasaran lewat layar HP-nya. Bayangkan, mata harus bekerja ekstra menatap layar kecil itu, namun tak sedikit pun ia mengeluh. Inilah semangat yang membuatku bangga: mereka sadar betul bahwa data bukan sekadar angka, melainkan dasar untuk memajukan desa.
Namun ada satu persoalan yang terus membayang, yaitu soal anggaran. Dari dulu hingga kini, sulit sekali mengalokasikan dana desa untuk kegiatan pendataan. Padahal jelas, dalam Permendes No. 08 Tahun 2022 disebutkan bahwa penurunan stunting adalah prioritas penggunaan dana desa, dengan tiga hal pokok:
Pendataan keluarga berisiko stunting.
Dukungan kegiatan gizi spesifik dan sensitif di tingkat desa.
Penguatan peran KPM sebagai ujung tombak pendataan dan pemantauan.
Artinya, apa yang kami lakukan bukan sekadar rutinitas, melainkan amanat aturan. Namun tetap saja, ketika sampai di lapangan, selalu ada tembok kebijakan yang sulit ditembus. Pernah kami mencoba menganggarkan insentif untuk KPM melalui dana desa, tapi ditolak oleh dinas. Entah apa alasan yang rasanya tidak masuk akal.
Akhirnya aku mencari jalan lain, berbicara langsung dengan kepala desa. Jika desa punya PAD, aku minta sedikit saja untuk KPM. Alhamdulillah, ada yang setuju. Jumlahnya memang tak seberapa, tapi perhatian sederhana itu membuat hubungan antara pendamping, KPM, dan pemerintah desa semakin erat.
Tentu perjalanan ini tidak selalu mulus. Setelah beralih ke web, masalah baru muncul: server error. Banyak KPM memilih begadang hingga tengah malam hanya untuk bisa menginput data, karena hanya saat itu server bisa diakses dengan lancar. Namun kerja keras itu akhirnya membuahkan hasil. Awal tahun 2024, keempat desa dampinganku berhasil menyelesaikan inputan dan mendapatkan score card. Bahkan di kabupatenku, hanya empat desa inilah yang berhasil. Rasanya luar biasa bangga.
Namun akhir 2024 datang dengan rasa kecewa. Jerih payah yang kami lakukan ternyata seperti tidak dipakai. Aku sempat berhenti mengajak KPM untuk melanjutkan pendataan. Ada rasa lelah, ada rasa sia-sia. Tapi perlahan aku belajar mengesampingkan kekecewaan itu.
Tahun 2025, tepatnya bulan September, aku kembali merangkul KPM. Mereka pun menyambut dengan hati terbuka, melanjutkan pendataan tanpa mengeluh, meski score card triwulan 1 dan 2 tidak bisa dipantau lagi. Akibatnya, score card triwulan 3 menjadi rendah. Apakah itu membuatku patah arang? Tidak. Karena aku percaya, angka bisa rendah, tapi semangat tidak boleh ikut turun.
Perjalanan panjang mendampingi eHDW mengajarkanku banyak hal. Bahwa teknologi bisa berubah dari manual ke digital, dari HP ke web. Bahwa tantangan bisa datang dari mana saja, perangkat, server, bahkan aturan anggaran. Tapi ada satu hal yang tetap: semangat KPM dan pendamping desa.
Mungkin score card kami jatuh pada triwulan ini, tapi cerita kami belum selesai. Masih banyak kisah bersama para KPM yang belum sempat kuceritakan, masih ada janji yang belum sepenuhnya kutepati. Hari ini, perlahan aku kembali menabur semangat mereka---agar tetap tumbuh, agar bersama-sama kita bisa mengangkat citra desa yang mereka banggakan.
Karena jalan panjang pendampingan bukan hanya soal angka dalam data, melainkan soal keberanian untuk terus melangkah. Meski jalannya kadang terjal, kadang gelap, dan sering kali tanpa tepuk tangan, aku percaya setiap langkah kecil itu tetap berarti bagi desa, bagi mereka, dan juga bagi diriku sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI