Mohon tunggu...
saka karunya
saka karunya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Semester 4 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Strategi Deterrence Maritim Indonesia Untuk Mencegah Eskalasi Konflik di Laut China Selatan

9 Mei 2024   10:33 Diperbarui: 9 Mei 2024   10:37 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dinamika konflik di Laut China Selatan memasuki babak baru dengan keputusan Amerika Serikat untuk meletakkan hulu ledak dengan kemampuan jelajah sedang  di Filipina. Peluncur rudal terbaru milik Amerika Serikat yang mampu meluncurkan rudal jelajah Tomahawk dan SM-6 muncul untuk pertama kalinya di kawasan Indo-Pasifik menjelang latihan militer bersama Amerika Serikat dan Filipina pada April 2024 (Lariosa, 2024). Pada bulan yang sama (April 2024), India mulai mengirimkan rudal jelajah supersonik BrahMos ke Filipina. Pengiriman rudal ini adalah bagian dari kesepakatan senilai $375 juta antara kedua negara pada tahun 2022 (Parischa, 2024). 

Kehadiran rudal jelajah di Filipina yang terkait erat dengan sengketa Laut China Selatan berpotensi menimbulkan tantangan bagi kedaulatan wilayah Indonesia. Dalam konteks ini, kemampuan rudal yang memiliki jangkauan yang jauh dapat menjangkau wilayah Indonesia, karena wilayah Indonesia seperti Pulau Natuna berbatasan langsung dengan wilayah sengketa dan rentan terhadap dampak dari kemungkinan aktivitas militer tersebut.

Untuk menghadapi tantangan yang mungkin timbul akibat peningkatan aktivitas militer di sekitar Laut China Selatan, Indonesia harus merancang berbagai strategi. Salah satu strategi yang dapat diambil adalah strategi deterrence. Deterrence, dalam hubungan internasional, adalah teori yang berpendapat bahwa untuk mencegah serangan, suatu negara harus meyakinkan pihak yang berpotensi melakukan serangan bahwa negara tersebut memiliki kemampuan militer yang efektif dan jika diserang. Negara tersebut dapat memberikan konsekuensi yang tidak dapat ditolerir bagi pelaku serangan, serta ancaman yang akan dilaksanakan jika negara itu diserang (Quackenbush, 2010). Deterrence merupakan strategi yang terkait dengan kekuatan militer. Oleh karena itu, Indonesia perlu meningkatkan kekuatan militernya agar dapat menghalangi kemungkinan serangan terhadap wilayah Indonesia di kawasan Laut China Selatan.

Indonesia sudah lama menerapkan strategi militer di wilayah Laut Natuna. Pada 2016, mengutip pernyataan Menteri Pertahanan saat itu yakni Ryamizard Ryacudu kepada CNN, menyatakan bahwa sebagian anggaran pertahanan yang disalurkan kepada Kementerian Pertahanan dan TNI pada waktu itu digunakan untuk memperkuat fasilitas militer di Natuna. Sebelumnya, Kementerian Pertahanan dan TNI telah mengajukan proposal anggaran tahun 2017 yang berkisar antara Rp104 triliun hingga Rp107 triliun kepada DPR-RI untuk mendukung penguatan kapasitas pertahanan tersebut (Gumilang, 2016). Pada 2021, di tengah situasi pandemi Covid-19, Kepala Staf TNI Angkatan Laut yaitu Laksamana TNI Yudo Margono secara resmi membuka stasiun bantuan (sionban) dan asrama perwira (Mess Tjiptadi) yang terletak di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada tanggal 5 April (Antara, 2021). 

Meskipun pembangunan fasilitas militer di Natuna telah meningkatkan kapabilitas tempur TNI di wilayah tersebut, hal itu masih perlu didukung upaya-upaya deterrence yang lain. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan diplomasi pertahanan melalui  latihan militer gabungan dengan beberapa negara. Salah satu latihan gabungan yang dilaksanakan adalah ASEAN Solidarity Exercise (ASEX) 2023 yang dilaksanakan pada September 2023. ASEX 2023 meliputi serangkaian latihan yang diselenggarakan di lokasi-lokasi strategis, dimulai dengan pembukaan di Batam dan berakhir dengan penutupan di wilayah Natuna. Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono menjelaskan bahwa ASEX 2023 bukanlah latihan militer yang melibatkan senjata, tetapi lebih fokus pada latihan non tempur seperti Operasi Patroli Gabungan Maritim, Evakuasi Medis, Search and Rescue (SAR), serta Humanitarian Assistance and Disaster Relief (HADR) atau bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana di wilayah yang disimulasikan terdampak bencana. Meskipun ASEX 2023 diselenggarakan tanpa melibatkan peralatan tempur, latihan bersama ini berhasil menunjukkan solidaritas dan kekuatan gabungan Indonesia bersama negara-negara ASEAN dalam menghadapi berbagai ancaman keamanan di kawasan, baik yang bersifat militer maupun non-militer. 

Di samping ASEX 2023, Indonesia juga melaksanakan Super Garuda Shield 2023 yang merupakan latihan militer berkala antara Indonesia dan negara-negara mitra. Super Garuda Shield 2023 diadakan oleh TNI bersama pasukan dari beberapa negara mitra seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Singapura, Prancis, dan Inggris Raya. Latihan gabungan ini dilaksanakan di Baluran, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur dan berlangsung mulai dari tanggal 31 Agustus hingga 13 September 2023. Sekitar 5.000 personel turut serta dalam latihan tersebut. Meskipun Super Garuda Shield 2023 tidak diadakan secara langsung di perairan Laut China Selatan, namun pelaksanaan latihan gabungan ini masih mampu meningkatkan kekuatan Indonesia dalam menghadapi potensi ancaman di wilayah tersebut. 

Selain itu, melalui Super Garuda Shield 2023, Indonesia juga dapat memperkokoh kerjasama militer dengan negara-negara mitra di kawasan Asia Pasifik. Hal ini dapat membantu memperkuat posisi Indonesia dalam menjaga stabilitas dan keamanan regional, serta memperkokoh hubungan diplomasi dengan negara-negara tetangga.

Penggunaan latihan militer bersama sebagai strategi detterence bukanlah suatu hal yang baru. Banka & Bussmann (2022) berpendapat bahwa latihan militer dapat menjadi penting dalam deterrence, yaitu jenis deterrence yang melibatkan lebih dari dua pihak. Oleh karena itu, Indonesia perlu menerapkan strategi deterrence di kawasan Laut Natuna untuk menjaga kedaulatan wilayah dengan efektif.

Untuk mencegah terjadinya insiden di Natuna, strategi deterrence  perlu difokuskan pada beberapa aspek yang penting. Pertama, peningkatan kapabilitas militer di Natuna menjadi hal yang sangat diperlukan. Dengan meningkatkan fasilitas, alutsista, dan  latihan gabungan, TNI AL akan memiliki daya saing dan daya tangkal yang lebih baik di perairan strategis ini. 

Kedua, diplomasi pertahanan dengan negara-negara sekutu juga perlu ditingkatkan. Melalui kerjasama yang erat dengan negara-negara mitra, Indonesia dapat menegaskan komitmen bersama dalam menjaga kedaulatan wilayah. Hal ini akan memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang berusaha menentang klaim Indonesia terhadap Natuna.

Ketiga, peningkatan aktivitas keamanan laut di kawasan juga menjadi langkah yang penting. Melalui latihan-latihan gabungan, patroli rutin, dan operasi pengamanan yang  lain, Indonesia dapat meningkatkan keamanan di perairan Natuna. Hal ini akan memberikan sinyal kuat kepada pihak-pihak yang ingin mengganggu keamanan di kawasan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun