Mohon tunggu...
Mahbub Karumbu
Mahbub Karumbu Mohon Tunggu... lainnya -

Saya senang membaca meski bukan kutu buku, senang menulis meski belum bisa bikin buku. Mulai menulis sejak jadi wartawan tahun 2003, sejak itu pula mulai jarang membaca.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kebelet Anu...

20 Maret 2012   13:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:42 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MALAM Minggu, ketika hampir semua laki-laki yang ada dalam phonebook saya tiba-tiba mailbox, saya menguapkan satu liter bensin tanpa tujuan. Skutermetik berbokong besar yang saya tunggangi menyisir jalanan sambil meraung-raung halus seperti suara bebek yang kejepit pintu. Saya baru berhenti ketika merasakan ada yang bergetar di dalam kantong celana. Wah, sebersit harapan meloncat dari ubun-ubun saya. Ciiiiiiittt!

Benar saja. Di layar hape ada satu pesan yang masuk. Alamak, dari Bang Zakiy, laki-laki yang paling gampang bersimpati kalau mulut saya sedang berasa asam. Ya Tuhan, Maha Pengasih-Penyayang. Segelas kopi dan sebungkus rokok meliuk-liuk di kepala saya, sebentar melayang lalu jatuh berdebum! “...Setiap mlm sy kan harus jemput anak di gomong. Sy khawatir nanti ente nggak ketemu saya di rmh.”

Persis sedetik lewat, satu pesan lagi masuk. Yang ini dari BH, sahabatnya BF, paling sering berantem waktu kami masih kerja di koran yang sama, dulu. Hehe, inisial memang jadi bagian yang paling saya sukai dari kedua abang tersayang itu. “Rapat di masjid pak. Rapat maulid. Maklum, sayalah anak muda kampung ini yang berpikiran maju,” kata SMS itu. Anak muda? Ah, teganya dia memfitnah diri sendiri.

****

Malam Minggu, ketika PLN mencuri laga Persib versus Sriwijaya FC di ANTV yang dahsyat itu, saya ndak punya alasan lagi untuk membungkam hati yang perepet ini. Gelap menendang saya jauh ke kedalaman riak kali di belakang rumah. Otak saya kaku. Jempol kaki kaku. Seluruh arteri menghantarkan panas ke satu titik di balik dada saya. Panas yang siap meledak!Ah, saya butuh komputer dan keyboard-nya. Dan, sedetik kemudian, PLN mengusir saya dari rumah saya sendiri…

****

Tuhan Maha Mengetahui, karena itu doa saya hampir ndak pernah panjang: “Tuhan, Engkau tahu apa yang ingin hamba sampaikan kepada-Mu. Mohon kabulkanlah, Tuhan. Aamiiin.”

****

Malam Minggu, ketika saya tersesat dalam rimba silogisme yang cabuh, saya jatuh tersungkur di ubin yang dingin. Nyali saya menciut dijilati dingin yang mengalir dari ubin melalui jidad saya. Aduhai, Tuhan, sebenarnya hamba malu datang kepada-Mu dalam keadaan kalah. Kalau sudah begini, hamba jadi merasa ndak enak. Hamba memang suka meloncat-loncat sembarangan, mengabaikan proses untuk langsung membetot hasil.

Tapi, begini, ya Tuhanku, hamba ingin sekali menikah… Aamiiin.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun