“Kami sudah mengidentifikasi beberapa kantong sejarah, budaya, dan kesenian. Di pusat, ini sudah dibahas serius,” kata Abdul Hafid. “Bima pernah jadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara timur. Ini jangan sampai dilupakan.”
Teluk Bima adalah teluk yang paling penting bagi Kerajaan Bima masa itu karena berada di dekat pusat pemerintahan (sekarang termasuk wilayah Kota Bima). Itupun berarti bahwa Teluk Bima memiliki banyak potensi, selain dukungan geografis yang memungkinkan terjadinya perdagangan lintas pulau.
Seorang tokoh Majelis Adat Mbojo, Mashulan, menyarankan agar seluruh potensi itu digali kembali. Menurutnya, pembangunan tak melulu harus melihat prospek masa depan tetapi juga mengaca dari kesuksesan masa lalu. “Ini kuncinya kalau mau bangun kejayaan seperti masa lalu.”
Di luar itu, Teluk Bima—yang membentang dari Kolo, Amahami, Lawata, Kalaki, Oi Niu, serta sebagian wilayah Bolo dan Soromandi (Kabupaten Bima) di bagian barat—sangat kaya akan hasil laut. Data Kota Bima tahun 2007 mencatat, tingkat produksi tangkapan ikan laut hampir 4 ribu ton, tambak 300 ton, perikanan payau 330 ton, serta budidaya rumput laut sebesar 123 ton. Angka itu menunjukkan peningkatan dalam lima tahun sebelumnya, rata-rata sebesar 52 persen per tahunnya.
Kecenderungan peningkatan itu tak lepas dari faktor sarana dan prasarana yang memadai, seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Tanjung serta dermaga-dermaga tradisional yang mengangkut hasil tangkapan lintas-pulau.
Pelabuhan Bima menjadi bagian yang tak kalah penting, sebagai pelabuhan laut utama di kawasan timur NTB yang diproyeksikan menjadi pelabuhan laut internasional. Pelabuhan ini memiliki dermaga samudera sepanjang 142 meter dan luas lantai 2.050 m2 serta terminal penumpang 200 m, yang memungkinkan kapal-kapal besar bisa berlabuh. Di sini juga terdapat dermaga rakyat sepanjang 50 meter dengan lantai 500 m2 yang menjadi pusat bongkar muat dan ekspedisi barang.
Di darat, Kota Bima tetap menjadi jalur lalu lintas yang padat; menghubungkan Pulau Lombok di bagian barat dengan Nusa Tenggara Timur di bagian timur. Faktor ini juga memperlancar terjadinya perdagangan hasil laut Teluk Bima ke luar daerah.
Berbagai peluang tersebut kini berkejaran dengan proyeksi dan semangat membangun. Juga, waktu. Seperti tokoh Sang Bima—dalam sebuah versi disebut sebagai pemahat Wadu Pa’a—telah mewariskan prasasti untuk masa depan. Maka, masa kini, pun tak berhenti mengajak berlari: mencari arah untuk masa depan.
(Selesai)