Mohon tunggu...
Maya Kartikasari
Maya Kartikasari Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Semua berawal dari catatan buku harian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bemo

6 Oktober 2010   08:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:40 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_280611" align="alignleft" width="264" caption="warta kota/irwan kintoko"][/caption]

Pembatalan pertemuan les vokal minggu terakhir, yang dilakukan tanpa konfirmasi sebelumnya dari manajemen tempat anakku les, sungguh mengecewakan.Sore itu kami berangkat seperti biasa dengan semangat menyala-nyala, tapi akhirnya harus pulang dengan langkah gontai, layaknya orang kecele.

“Ya sudah nak, yuk kita pulang.” kataku.

“Naik apa Bun?” tanya Khya anakku.

Berekhya anakku, biasa kupanggil dengan Mbak Khya. Gadis kecil berumur 6 tahun, kelas satu SD yang berambut keriting, berpipi tembem, dan bermata bulat dengan bulunya yang lentik.

“Bagaimana kalau kita jalan kaki saja dari sini? Nanti kalau sudah sampai perempatan sana, kita naik bemo” tawarku sambil menunjuk ke arah perempatan yang kumaksud.

“Ya udah, aku mau Bun” Khya menyanggupi.

Setelah berjalankira-kira setengah kilometer hingga perempatan dan menunggu hampir setengah jam, si bemo lewat dengan suara khasnya.

Thrang thang thang thang thang thang thang thang!

Si bemo berhenti karena lambaian tangan kami berdua.

“Ke mane Bu?” tanya si sopir dengan logat Betawinya yang khas.

“Rusun ya Pak” jawabku.

Sambil terangguk-angguk, Khya melawan kantuk yang mendera. Suara bemo yang berima dan jalannya yang perlahan serta kadang terguncang-guncang karena jalanan yang tak rata, ditambah dengan angin sepoi yang bertiup masuk ke kabin belakang bemo malah menambah rasa kantuknya saja.

Tiba-tiba kami dikagetkan oleh kemunculan dua anak perempuan berumur belasan tahun yang tak beralas kaki, berpakaian lusuh, dan berkulit gosong karena terpanggang sinar matahari. Mereka berlari mengejar bemo yang sempat berhenti sesaat di lampu merah dan bergelantungan di bibir pintu bemo, persis di samping kami. Mereka tertawa terbahak dan menyeringai liar setelah berhasil mendapat bemo tumpangan. Salah satu dari mereka merebahkan badan di bangku di depan kami, dan yang lainnya duduk di lantai kabin bemo – tepatnya menduduki kaki kananku – dan menjulurkan kakinya keluar dari pintu bemo sambil menggoyang-goyangkannya hampir menyentuh aspal.

Alangkah terkejutnya kami dengan tingkah si anak yang sedang merebahkan diri di depan kami. Dia menyanyi dengan sumbang sembari berteriak-teriak dan mengangkat kakinya tinggi-tinggi hingga menyentuh langit-langit bemo. Dengan gerakan yang cepat, tiba-tiba dia menurunkan kakinya, duduk dan menatap mata kami dengan tajam.

“Bu, berape duit naek bemo?” tanyanya sambil menatapku liar.

“Dua ribu. Emang kenapa?” timpalku ketus dan bertanya balik padanya.

“Bagi duitnye dong Bu!” pintanya agak memaksa.

Permintaan anak itu mengingatkanku untuk segera membayar ongkos bemo. Biasanya aku membayar lima ribu rupiah untuk ongkos kami berdua naik bemo. Tapi kali ini tak seperti biasanya, bapak sopir bemo malah mengembalikan tiga ribu rupiah padaku.

“Sudah pak, buat bapak saja, kan biasanya juga segitu” paksaku.

“Kagak papa Bu, udeh” jawab sopir sembari menyodorkan uang.

Rupanyaanak yang duduk di depan kami memperhatikan gerak-gerikku sedari tadi. Melihat tatapannya yang memaksa, aku berikan uang dua ribu rupiah padanya. “Sebelum aku diapa-apain oleh anak-anak ini dan demi keselamatan kami berdua” pikirku. Kuperhatikan Khya sudah ketakutan dan bersembunyi di ketiakkusembari memegang erat lengan kiriku.

Tak terima dengan pemberianku pada temannya, anak yang lainnya protes padaku. Sambil menatapku penuh pinta tangannya ditengadahkan dan berkata,

“Aye dong Bu, bagi dong Bu, masak die doang yang dikasi”…

“Waduh, mulai nglunjak nih” pikirku. Aku diam saja tak bergeming. Untung saja perjalanan sudah membawa kami sampai di depan rumah susun. Hati kecilku mulai terusik “Kasih? Nggak? Kasih? Nggak?”. Akhirnya aku putuskan untuk tidak memberinya uang, karena aku pikir itu tidak mendidik, dan justru akan membuat tangan mereka menengadah terus. Saat kami akan turun, dengan masih dirongrong oleh anak itu tanpa henti, aku berkata “Berbagi dengan temanmu dong, uang dua ribu itu banyak, dan nyarinya susah. Lihat pak sopir bemo itu.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun