Apa saja yang disimpan?
Prangko lintas negara dan kurasi tematik yang memperlihatkan bagaimana visual kecil mengikat isu besar: fauna--flora, olahraga, kebudayaan, diplomasi. Perangkat telegraf dan telepon: kunci morse, pesawat telepon putar, hingga panel sambungan yang mengingatkan kita pada kerja senyap yang menjaga percakapan bangsa.Â
Peralatan kerja pos: timbangan, tas tukang pos, kotak surat klasik berlogo mahkota, rak sortir yang membuat kita memahami logika pengantaran.Â
Diorama AMPTT dan arsip foto---merekonstruksi ketegangan menjelang perebutan 27/9/1945.Â
Kunjungan keluarga akan menyukai jalur cerita yang mudah diikuti; pelajar akan menemukan bahan riset; pegiat sejarah akan betah berlama-lama membaca label. Tiket masuk: gratis (cek kanal resmi/IG sebelum berkunjung, terutama untuk rombongan). Jam operasional umumnya Senin--Jumat 09.00--15.00; beberapa sumber menambahkan Sabtu 09.00--13.00---kembali, konfirmasi terbaru disarankan.Â
Catatan Kunjungan Kompasiana (22 September 2025): Tiga "Insight" dari Dalam
Kami datang siang itu, 22 September 2025, saat Bandung terik; udara seperti menggantung di atas aspal. Namun begitu memasuki kompleks Gedung Postel, rimbun pepohonan menurunkan suhu dan menenangkan langkah. Di sebuah ruang pertemuan yang apik---hasil restorasi yang setia pada aslinya (bukan renovasi), bangunannya tetap orisinal hingga detail kayu; bahkan, kata mereka, rayap tak pernah ditemukan---kami disambut beberapa staff dan tiga narasumber kunci. Pak Heri Nugrahanto, VP Corporate Communication Pos Indonesia, membuka percakapan tentang warisan Postel sebagai modal sosial yang menumbuhkan kepercayaan publik lintas generasi.Â
Menyusul, Pak Andi Bintang, Manajer Public Relations, mengajak melihat museum sebagai ruang tamu bangsa---tempat siapa pun dipersilakan masuk, belajar, lalu pulang membawa cerita. Lalu Pak Zamzam Zamakhsyary Arrazby, Kurator Museum, memaparkan kurasi yang menghubungkan benda dengan pengalaman: prangko sebagai jendela sejarah, kunci morse sebagai alfabet yang menyelamatkan pesan. Usai obrolan, Pak Zamzam sendiri yang mendampingi kami berkeliling. Di lorong-lorong sejuk, di depan etalase prangko dan perangkat telegraf, penjelasannya membuat koleksi terasa hidup: bukan sekadar barang pajang, melainkan ide-ide yang pernah bekerja keras menjaga sambungan Republik. Kami meninggalkan Cilaki dengan satu kesan yang bulat: Museum Pos Indonesia mengajari kita cara mengingat tanpa menggurui.Â
Dari Loket ke Layar: Transformasi Pos Indonesia 2021--2025Â
Setelah era loket mendominasi wajah layanan, Pos Indonesia melompat ke ekosistem digital.Â