Di tengah hiruk-pikuk perkotaan yang penuh polusi udara dan suara, tren green living hadir sebagai oase yang menjanjikan. Dari taman vertikal di apartemen hingga tren membawa tumbler sendiri ke kafe kekinian, gaya hidup ramah lingkungan ini seolah menjadi jalan keluar dari kerusakan bumi yang makin parah. Namun, apakah green living benar-benar membawa perubahan positif atau hanya menjadi tren konsumtif yang membungkus kapitalisme dengan warna hijau?
Harapan di Tengah Polusi
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim dan krisis lingkungan, kota-kota besar mulai berlomba mengadopsi konsep green living. Anda pasti pernah melihat tetangga yang rajin memilah sampah organik dan non-organik, atau influencer Instagram yang mempromosikan produk ramah lingkungan seperti sabun batang tanpa kemasan plastik.
Di atas kertas, dampak positifnya jelas. Semakin banyak orang mulai peduli pada keberlanjutan lingkungan. Pembangunan gedung berkonsep eco-friendly mengurangi jejak karbon, dan komunitas urban farming membantu warga kota menghasilkan bahan pangan sendiri.
Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan besar: apakah tren ini benar-benar didorong oleh kesadaran lingkungan atau hanya menjadi bentuk baru dari gaya hidup konsumtif?
Dari Konsep Mulia ke Komoditas Mahal
Coba kita telaah lebih jauh. Tidak sedikit produk ramah lingkungan yang dijual dengan harga selangit. Botol minum berbahan bambu, misalnya, bisa seharga ratusan ribu rupiah. Ironisnya, banyak orang membeli produk-produk ini lebih karena faktor estetika atau status symbol ketimbang alasan keberlanjutan.
Di sinilah kritik terhadap tren green living muncul. Alih-alih menjadi solusi, gaya hidup ini malah menciptakan segmen pasar baru yang eksklusif dan sering kali tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah. Bagaimana nasib tukang ojek online yang mengandalkan plastik sekali pakai untuk membungkus nasi bungkusnya?
Kita juga tidak bisa mengabaikan dampak lingkungan dari produksi barang-barang yang katanya "hijau". Proses pembuatan tas kanvas, misalnya, membutuhkan lebih banyak air dan energi dibandingkan plastik sekali pakai. Apakah ini berarti kita mengorbankan satu sisi lingkungan demi sisi yang lain?
Perubahan Kecil dengan Dampak Besar