Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Keluarga Cemara Perlu Jadi Film "Kadarkum"

6 Januari 2019   13:11 Diperbarui: 6 Januari 2019   13:34 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film Keluarga Cemara (bookmyshow.com)

Kemarin keluarga kompal nobar film yang membangkitkan nostalgia negerasi 90-an "Keluarga Cemara". Sajiannya sederhana dengan tema yang sama dengan novel dan sinetronnya. Mengenai kemampuan penerimaan dan adaptasi sebuah keluarga sejahtera untuk tetap berbahagia saat jatuh miskin.

Nilai positif Ara yang tetap bahagia meski mengubah menu dan gaya hidup, hanya Euis yang sedikit mengalami shock menjadi lebih muram, meski terbantu dengan teman-teman barunya yang malah menyemangatinya. 

Film ini juga no bully, jadi kemungkinan si Euis jadi remaja anxiety jauh lah. Soal plot hole, adegan yang terasa terlalu didramatisir mewarnai sepanjang film. Meski respon terhadap film ini sangat positif untuk memulai awal tahun, tetapi tidak sedikit yang menilai "so so".

Agak terganggu dengan pesan dari sponsor film ini yang selalu ada di setiap adegan penting. Pesan moral bahwa bahagia itu dimulai dari bahagia dengan hastag kembali ke keluarga tetap terdelivery dengan kemasan millenial.

Skenario dan latar waktu dan tempat itu penting dalam sebuah cerita. Saya yang penonton terganggu dengan lupa soal pake baju apa sangat terganggu dengan lupa jenis si Araba. Beda yang dikendarai saat mengantar Ara dan Euis. (Ah... lupakan mungkin saya yang lebay atau salah lihat adegan singkat itu).

Dari sekian banyak plot hole, saya akan sedikit bawel soal ranah hukumnya saja. Soal lain kuatir mengurangi kenikmatan para penikmat film yang punya harapan tinggi dengan film ini untuk dinikmati bersama keluarga.

Dramatisir film ini dimulai dengan para debt collector yang menyita rumah Abah, tepat di acara tiup lilin ultah. Meski awalnya rame karena tengah pesta kecil-kecilan, menjadi sepi mendadak, tidak ada pembelaan dari para tamu terhadap kesedihan emak atau yang menaruh empati menunggui Emak.

Penyitaan dengan memasang banner murahan oleh debt collector tanpa memberi kesempatan kepada keluarga abah mengambil harta di dalam rumah.
Saya ingin mengumpat.

Pertama, ini jelas pelanggaran pidana. Tidak ada satupun warga negara di Indonesia diperbolehkan menyita benda milik orang lain. Bahkan, dengan perintah pengadilan pun harus dengan tata cara. Apalagi kasus ini adalah hutang perusahaan,  yang uangnya dijalankan oleh ipar si Abah.

Ini berarti PT nya yang bermasalah,  pengusaha yang sadar hukum wajib paham soal pemisahan harta  PT sebagai badan hukum dan harta orang pribadi. Okelah, bisa jadi sebagai PT yang baru berdiri. Bisa jadi harta ini termasuk dalam jaminan hutang PT yang diserahkan dengan kuasa Abah kepada perusahaan. He he entah Abah jadi apa di situ.

Tepok jidat saat konsultasi ke Advokat, si Advokat ambil jalan praktis untuk gugat perdata aja, soal pidana si Debt collector yang ambil paksa harta benda si Abah dan bikin bonyok yang boleh jadi dikeroyok sang ipar , lupakan saja lah. Gak ada pengaduan sama sekali terhadap tindak kriminal demikian.

Ini bukan ikhlas, ini pembodohan. Sebuah film yang ditujukan untuk keluarga harus memberi pemahaman bahwa kita tidak akan membiarkan tindakan main hakim sendiri dan membiarkan pelaku kriminal sedemikian.

Surat perjanjian itu hanya alat bukti dalam proses pengadilan, jika terjadi cedera janji dan penyitaan terhadap jaminan, wajib proses melalui pengadilan. Tidak dapat disita begitu saja.Perampasan itu jelas kriminal.

Kedua,  si Abah yang sudah membuat surat kuasa kepada iparnya. Ini memang yang sering menjadi persoalan, seringkali kuasa diberikan sangat luas. Ini memang fatal, kadangkala alasan agar praktis menyebabkan seseorang membuat kuasa yang begitu luas, hati-hatilah karena tanggung jawab segala perbuatan hukum tetap pada pemberi kuasa.

Dalam pasal 1792 KUHPerdata yang mengatur soal kuasa (lastgeving/mandate) menegaskan bahwa Persetujuan (overeenkompst /Agreement) antara pihak ke-3  dengan Penerima Kuasa (lasthebber/mandatory) bertindak untuk dan atas nama (for and behalf) Pemberi Kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yang ditentukan dalam surat kuasa, sehingga dalam bertindak melakukan perbuatan hukim, Penerima Kuasa tidak atau bukan atas namanya sendiri, tetapi atas nama Pemberi Kuasa.

Jadi, saat menandatangani selembar surat kuasa, apalagi otentik di hadapan notaris, pahami dulu isinya serta ketahui konsekuensi hukumnya. Itu surat kuasa, apalagi perikatan lain ya.

Ketiga, bisa jadi ini sudah dimaklumi, demi servis maksimal, notaris datang ke tempat transaksi jual beli. Pembaca yang budiman, mohon maaf kita bukan konsumen notaris.

Notaris adalah pejabat negara yang kekuasaan umum (openbaar gezaag) berdasarkan perundang-undangan memberikan tugas kepada petugas yang bersangkutan untuk membuatkan alat bukti yang tertulis sebagaimana dikehendaki oleh para pihak yang mempunyai kekuatan otentik. Jadi kita yang wajib menghadap notaris di kantornya bukan sebaliknya.

Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 3 butir 14 Kode Etik Notaris "Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah"

Ini jelas pelanggaran kode etik notaris, memang hal ini tidak akan mempengaruhi keabsahan surat. Tapi membiarkan mempertontonkan pelanggaran kode etik suatu profesi terhormat dalam sebuah film keluarga ya gak etis juga menurut saya.

"Persoalan hukum itu rumit dan bikin mumet, selain itu ini kan cuma film, sebuah karya fiksi".

Uhuk...tampaknya ada kompasianer yang menggerutu demikian.

Anda adalah warga negara yang dalam konstitusinya menyatakan sebagai  negara hukum dan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum sudah sebaiknya paham hukum, bahkan di pelajaran kewarganegaraan anak SD pun sudah dipahamkan mengenai hukum.

Cobalah sekali-sekali menemani anak belajar mata pelajaran kewarganegaraan, jangan cuma panik denga pelajaran matematika dan bahasa Inggrisnya saja.

Generasi old mungkin tidak asing dengan istilah kadarkum (keluarga sadar hukum), selayaknya mahfum dengan istilah kelompencapir.

Program kadarkum itu tidak hilang, bahkan sampai ke tingkat RT kok dari program kementrian hukum dan HAM.

Skenario film yang bahkan menceritakan profesi hukum pun kadang membuat plot hole jika sudah terkait hukum, seolah hukum itu berada di sisi yang jauh dari para sineas juga keluarga Indonesia.

Padahal ada banyak tempat jika ingin konsultasi ada banyak lembaga bantuan hukum yang bersertifikasi termasuk yang disediakan perguruan tinggi yang yang dapat dijadikan tempat konsultasi tanpa kuatir dengan tarif per jam.

Ada baiknya ke depan sineas lebih membumikan penyadaran hukum, pun demikian kementrian hukum dan ham sebaiknya membuka diri untuk itu, jadikan film sebagai media pengajaran kepada warga.

Sungguh saya iri dengan perfilman hollywood meski genre komedi pun dalam menyusun skenario mengenai hukum tetap memberi penyadaran hukum

Kalo boleh ubah dialog abah "kita boleh miskin, tetapi tetap sadar hukum".

Selamat akhir pekan kompasianer. Paling penting dalam perbuatan hukum dalam keluarga "jangan ada dusta di antara kita". Jangan hancurkan kebahagiaan keluarga karena bukan kadarkum.

Kompal Kompak
Kompal Kompak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun